Rabu, 10 Oktober 2007

Rumpun Bambu PKI

Siapa Menipu Siapa: DN Aidit(kanan),
TNI tangkap Simpatisan PKI (tengah,
dan Soeharto (bawah)





HINGGA hari ini, milis-milis masih memperguncingkan DN Aidit, komunis dan PKI, barang 'haram' di Indonesia. Kata yang sepertinya hanya monopoli pemerintah, sehingga dia tidak sama dengan parpol, lembaga terhormat yang mengantarkan para bapak/ibut terhotmar ke DPR, presiden, gubernur, walikota, bupati dan bahkan lembaga negara lainnya. PKI berkonotasi negatif, sedangkan PNI, Golkar, PDIP, PKB, PD, PAN, PKS, PPP, PBB, PDS dan sebagainya positif.

Pelajaran sejarah nonkurikulum pendidikan formal banyak beredar di tengah masyarakat. Mungkin jumlahnya tak sebanding dengan pelajaran di sekolah. Walupun faktanya mungkin sangat layak masuk sejarah, namun karena dilarang penguasa, maka dia tinggallah obrolan dari mulut ke mulut yang dari hari ke hari kian berkurang, kemudian sekadar mitos, atau paparan kata-kata 'konon'.

Banyak fakta dan data di dalamnya, berupa kesaksian, pengalaman pribadi orang-orang dari berbagai elemen warga bangsa. Seputar komunis atau Gerakan 30 September/PKI, misalnya. Hingga sewindu silam, sejarah versi pemerintah banyak dipublikasi. Film dokumenter G 30 S/PKI menjadi tontonan wajib saban malam 30 September.

Kita dapat menyaksikan keganasan gerombolan bersenjata yang dicitrakan pasukan Partai Komunis Indonesia, menghabisi para perwira tinggi tentara. Tujuh orang jenderal tewas. Film yang sama mempertontonkan fase awal kontra G 30 S/PKI. Versi masyarakat juga banyak. Sebagai kalangan bawah, yang jauh dari elite penguasa, sejarah yang mereka saksikan pun tentu yang terjadi di lapangan.

Beberapa kesaksian istri atau pewaris korban dalam penumpasan sisa-sisa PKI pascapembunuhan Pelda Sujono, prajurit TNI AD yang dikaryakan di PT PPN Karet IV di Bandar Betsi, Pematang Siantar (Sumut), 14 Mei 1965, menyebutkan pembalasan bagi tewasnya Pelda Sujono, lebih dahsyat.

Penumpasan bergerak cepat dan terbuka. Mereka menyisir desa lepas desa, mencari anggota PKI dan simpatisan. Mati sanksinya. Tidak ada data yang mencatat angka korban.

Jangankan menemukan prasasti, kuburan pun tak diketahui. Namun cerita orang tua menyebut ada tanda pembantaian, yakni rumpun pohon bambu yang tumbuh di bawah jembatan, di tepi jalan raya, adalah kuburan massal korban anti-PKI. Korban biasanya dilempar ke lubang, lalu pusaranya ditanami bambu.

Waktu saya mudik, dan mandi di Sungai, kata-kata 'merinding' masih sering terdengar dari warga desa ketika melintasi rumpun bambu di sisi jembatan, yang tumbuh subur di tepi sungai. Di bawah bambu itu, konon, ditumpuk mayat-mayat korban kontraPKI. Oleh pasukan TNI-pro Soeharto, mereka dicari ke kampung-kampung, dari gang ke gang, dari rumah ke rumah.

Kalau kedapatan pernah aktif dalam organisasi underbow PKI, atau sekadar orang buta huruf yang masuk list orang penerima bantuan cangkul atau alat tani dari barisan tani, maka dia diseret. Digiring bak binatang, disiksa atau ditembak. Kemudian mayat-mayat atau orang yang masih hidup dibawa ke kuburan massa di tepi sungai. Sebagai pertanda, orang desa, yang ingin agar kuburan ayah atau orang-orang yang mereka cintai tidak hilang ditelan masa, pusaran kuburan massal itu ditanami pohon bambu.

Bukan hanya di satu tempat. Konon di banyak lokasi, praktinya rata-rata sama. Maka saya pun kesetrum, ikut-ikutan merinding jika sekali waktu pergi ke sungai yang ditumbuhi rumpun bambu lebat. Jangan-jangan tulang-belulang mereka korban keberingasan kontraPKI terkubur di bawah sana. Jangan-jangan ... Entahlah. Walaupun fakta menunjukkan, tanamam bambu dan tumbuhan lainnya memang memiliki habitat yang baik di tepi sungai.

Di Blitar, Jawa Timur, Operasi Trisula, 6 Juli 1968, yang menumpas sisa-sisa PKI meringkus 850 orang aktivis PKI. Tahun lalu, sejumlah keluarga korban menuntut pemerintah agar meluruskan sejarah, sambil mengusut tuntas penembakan ratusan orang di gua-gua di kawasan Blitar Selatan.

Di era reformasi ini, banyak analisis yang menyebut G 30 S/PKI adalah peristiwa perebutan kekuasan RI yang disponsori asing, di antaranya Amerika.

Kebencian terhdap komunis tidak hanya berlangsung di Indonesia. Bekas provinsi ke 27 RI, Timor Timur, contoh lain. Hari-hari terakhir, negara muda itu bekecamuk. Perang saudara. Baku tembak, saling bunuh. Belakangan mencuat analisis yang menyebut pihak asing di antaranya Amerika dan Australia tidak suka terhadap sosok Perdana Menteri, Mari Alkatiri. Ia dituding berhaluan komunis, so segera diamputasi.

Amerika mencitrakan komunis dengan seterunya saat Perang Dingin yakni Rusia (plus Cina). Kalau kita menuduh komunis sebgai pembunuh, tak beradab, tak ber-Tuhan, mari kita bandingkan kekejaman liberal-kapitalis.

Berapa orang yang telah dibunuh regim negara komunis China dan Rusia. Rasanya tidak banyak jika dibandingkan dengan korban keserakahan liberalis-kapitalis di Abepura dan Timika terkait pertambangan Freeport. Juga penindasan di Irak dan Afganistan, dan sebentar lagi mungkin Iran. Amerika pintar membiaskan isu, termasuk ideologi, padahal tujuan akhirnya mengeruk keuntungan, seperti melimpahnya minyak dari Timur Tengah.

Dalam persaingan ekonomi-teknologi global, terbersit betapa ketatnya persaingan bangsa-bangsa. Diramalkan terjadi pergeseran hegemoni Amerika dan Eropa ke Asia, yakni Cina dan India. Hal inilah yang ditakutkan Amerika selama ini. Memusuhi Cina dengan stigma komunis, lebih kental muatan ekonomi. Kalau bagitu, masihkah layak kita memperdebatkan ideologi Komunis atau Pancasila. Masihkah ada bahaya laten komunis?

Rasanya tidak. Setahun lagi atmosfer politik Indonesia akan kembali panas. Pemilu dan Pilpres atau Pilkada akan digelar. Kita mesti lebih waspada terhadap bahaya yang ditebar orang-orang ambisius politik dan kekuasan. Terbukti dalam banyak peristiwa, pergolakan di masyarakat adalah ulah segelintir elite politik atau penguasa yang bersaing merebut kue kekuasaan. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 09 Oktober 2007

Tak Bergeming, Bukan Diam




SEORANG kawan yang sangat aktif menulis pada milis "Wartawan Lingkungan", jurnalis di Kendari memosting berita tentang lingkungan, Selasa (9/10/07) sore. Tiga paragraf di bawah ini antara lain cuplikannya (huruf miring).


Pemda Konawe Utara Diminta Tindak Tegas Perusahaan Sawit

RIC,Kendari- Maraknya pembakaran kawasan hutan di Kabupaten Konawe Utara membuat para aktifis lingkungan hidup di Sultra angkat suara. Mereka meminta intervensi pemerintah kabupaten konawe utara segera dilakukan. Jika perlu menindak tegas pemilik perusahaan sawit yang diduga sebagai penyebab kebakaran hutan di wilayah asera-wiwirano.

Keprihatinan ini disampaikan Sahrun Karim Deputy Direktur Walhi Sultra yang melihat tidak bergemingnya pemerintah sebagai pertanda buruk.

"Apabila pemerintah Kabupaten Konawe Utara tidak segera mengembil sikap tegas, maka akan memperparah kerusakan lingkungan. Kebakaran diakibatkan oleh pembakaran lahan untuk perkebunan sawit," kata Sahrun Karim.


Saya ingin berbagi pemikiran, atau tepatnya mendiskusikan pemakaian kata "tidak bergeming", atau "tak bergeming".

"Tak Bergeming" kerap kali diartikan sebagai idle, statis, berdiam diri, pasrah, tidak melakukan sesuatu, berdiam diri.

Kita simak misalnya kutipan berikut "Keprihatinan ini disampaikan Sahrun Karim Deputy Direktur Walhi Sultra yang melihat tidak bergemingnya pemerintah sebagai pertanda buruk."

Agar lebih jelas, sekali lagi saya ulang "... melihat tidak bergemingnya pemerintah sebagai pertanda buruk."

Dari kalimat ini tersirat, pemerintah tidak bereaksi akan suatu aksi perkebunan/pengusah a lahan sawit, sehingga dianggap menjadi persoalan. Padahal penulis mungkin tidak sadar, terjadi kontaminasi kata yang luar biasa dalam kalimat itu.

Sejatinya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:

ge.ming,
ber.ge.ming: tidak bergerak sedikit juga; diam saja
ter.ge.ming: terdiam

Kesan saya, geming/bergeming itu bermakna negatif. Maka ketika ditambah kata tidak, artinya jadi positif, negatif "tidak/tak) maka sesuai rumus mati-matika "negatif" kali "negatif", sama dengan positif. Seperti "tidak mustahil" = "Tidak tidak mungkin = masih mungkin", "Bukan tidak percaya" = "percaya" dll.

Jika diimbuhkan dengan "Tidak Bergeming", berarti pemerintah tidak tinggal diam, tidak pasrah, telah melakukan suatu usaha pencegahan, tetapi kok dianggap sebagai pertanda buruk. Mustinya, maknanya positif, bukan negatif.

Kalau yang dimaksudkan adalah pemerintah setempat tidak melakukan usaha apa-apa, maka kata yang tepat adalah bergeming saja, tidak perlu kata tidak atau tak. Andai masih rancu, marilah kata tak bergeming kita carikan padanan kata, seperti tidak merespons, tidak mereaksi, tidak menanggapi, membiarkan saja, tidak menghiraukan, tanpa upaya pencegahan, tanpa perlawanan, dan lain-lain.

Salah kaprah yang sama sering kita dapati di masyarakat, umumnya di media massa, adalah mengai acuh. Kelaziman, acuh disamartikan dengan atau dipakai pengganti cuek, dan abai. "Acuhkan saja!" seakan = "Cuekkan saja!" atau "Abaikan saja!", "Biarkan saja!". Padahal arti acuh justru sebaliknya, "Turuti saja!" Dengan demikian, acuh tak atuh berarti, sesekali peduli sedangkan pada lain kesempatan cuek/tidak peduli atau dapat diartikan tidak stabil, tidak konsisten.

Inilah beberapa kekeliruan mendasar jusnalistik, kendatipun sudah wartawan senior belum tentu memahami secara sempurna. Sama sulitnya membedakan kapan menempatkan di- ke- sebagai awalan/gabungan atau kata keterangan. Bahasa Indonesia memang sulit, karena tidak baku seprti bahasa Inggris. Namun kalu bukan kita, lalu siapa lagi yang peduli? (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 08 Oktober 2007

Tahan Diri

LILY WIDJAYA
Komisaris BEJ/
Direktur Utama PT Merrill Lynch Indonesia




NEWS ANALYSIS

PASAR modal Indonesia sedang penuh gairah. Semua harga saham
mempunyai tren naik, sehingga mengantarkan indeks harga saham gabungan (IHSG) ke
level tertinggi sepanjang sejarah, selama 30 tahun pasar modal Indonesia dibuka. Jumat (5/9), IHSG menorehkan rekor baru 2.500 lebih. Melihat lonjakan yang luar biasa tinggi dalam dua bulan itu, pelaku pasar sebaiknya mampu menahan diri. Sebab kemungkinan harga bisa berubah seaktu-waktu.

Dengan menahan diri, andai jika indeks saham mengalami koreksi pun, pelaku pasar tidak akan kaget. Pelu juga diingat, awal Agustus lalu, pasar modal dunia bergolak. Mata uang rupiah, dan kebanyakan mata uang di berbagai negara anjlok luar biasa disebabkan sentimen negatif bangkrutnya perusahaan properti, American Home Mortage Investment Corp yang listing di bursa Amerika Serikat, Wall Sreet dan berimbas anjloknya indeks Dow Jones.

Sejak itu, pasar modal global bergolak, dan memiliki efek domino pada pasar uang. Bukan hanya rupiah, indeks harga saham gabungan pun melorot sampai di bawah 2.000, dari sebelumnya berada di level 2.400.

Saat itu, indeks saham BEJ jatuh karena pelaku pasar kita bereaksi apa yang terjadi di pasar global (global market). Mau tidak mau ada dampaknya terasa, terutama setelah modal asing banyak keluar. Namun kemudian modal domestik tetap bertahan, sehingga pasar modal kembali bangkit dalam waktu singkat. Setelah ada tanda-tanda mengarah kepulihan, aktivitas perdagangan dan volume transaksi sangat tinggi.

Apalagi belakangan, Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve menurunkan suku bunga secara mengejutkan 50 basis poin, dari 5,25 persen menjadi 4,75 persen, banyak modal asing yang kembali ke Indonesia.

Kita tahu selama ini, action The Fed menurunkan suku bunga dolar selama ini sangat berpengaruh positif terhadap pasar modal. Seperti kasus subprime mortage, pada tanggal 16 September, harga saham di BEJ banyak yang jatuh. Namun dibantu hari libur hari Minggu, tanggal 17, saat The Fed menurunkan suku.

Begitu pasar modal di Indonesia buka di awal pekan, pelaku pasar sudah fresh. Andai tidak ditolong libur, mungkin indeks kita akan jatuh lebih parah. Ternyata action The Fed menurunkan suku bunga selalu berpengaruh positif terhadap pasar modal.

Investor asing kemudian banyak masuk membawa modal. Kalau dibandingkan, saya kira saat ini, posisi dana investor domestik dengan asing fifty:fifty di pasar modal. Dulu memang, mayoritas dikuasai asing, mencapai 70 persen dana yang berputar di pasar modal, tetapi sekarang sudah seimbang.

Beberapa emiten baru, pada perdangan Jumat meraup untung. Realitas di pasar, kalau trennya sedang up, memang emiten baru pun akan naik. Semua emiten akan naik. Sebaliknya, kalau kecenderungannya sedang jatuh, semua pasti jatuh, walaupun ada pengecualian. (Persda Network/amb)
Dimuat 6/09/07 pada Koran Sriwijaya Post, Tribun Pekanbaru, dan Tribun Kaltim

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 06 Oktober 2007

Darah Kita Sama-sama Merah

Sederajat: egalite fraternity


PMI DKI Jakarta membutuhkan darah, Sabtu (6/10/07). Dalam perbincangan pada satu radio swasta di Jakarta tadi pagi, H-7 menjelang Lebaran pihak Palang Merah Indonesia Jakarta mengimbau warga mendonorkan darahnya sebelum mudik Lebaran. Sebab saat bulan puasa ini stok darah menipis.

Pada sesi tanya jawab, seorang ibu dari kalangan ekolem sambil tersedu mengiba pendengar agar sudi kiranya menyumbangkan sebagian tetesan darah segarnya demi menyelamatkan nyawa anaknya yang tengah menjalani operasi radang/kanker usus.

Bulan suci ramadan, ketika saudara-saudara kita umat Muslim menunaikan ibadah puasa, wajar memang kalau mereka juga puasa mendonorkan darah. Dalam kondisi itu, wajar pula kantong- kantong darah di PMI menipis. Persoalannya, permintaan darah tidak bisa diajak puasa. Ini menyangkut keselamatan jiwa dan nyawa manusia, maka tidak dapat ditunda-tunda.

Pengalaman pada tahun-tahun lalu, dewan paroki tempat saya kebaktian Gereja Pandu di Jalan Pandu, Bandung, selalu terpampang spanduk yang mengimbau ummat mendonorkan darah. Dewan Paroki bekerja sama dengan PMI Bandung, menggelar acara donor darah seusai misa, di aula gereja.

Acara donor darah dari kaum non muslim menjadi alternatif pemenuhan permintaan darah. Masyarakat non muslim yang tidak berpuasa, berkesempatan dan seyogianya rela menyumbangkan darah bagi penyelamatan sesama. Dan agar ketersediaan labu darah-labu darah tetap terisi saat bulan puasa, Departemen/Dinas Kesehatan beserta PMI lebih giat menggelar acara donor darah ke mal-mal atau jemut bole ke gereja-gereja sambil mengajak warga non muslim mendonor.

Ya, darah kita memang sama-sama berwarna merah. Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Malim, Kaharingan, Kejawen atau apapun keyakinan orang lepas per orang, tidak ada yang berdarah hijau, kuning. Julukan berdarah biru untuk bangsawan memang ada, tapi darah mereka tidak biru, bukan? Orang dusun atau kota, pejabat negara atau petani, konglomerat atau kuli, darahanya sama-sama merah, dan satu sama lain mungkin saling mengisi.

Bila nasib berkata demikian, darah seorang miskin, yang sehari-hari mengonsumsi ikan asin, tahu tempe, sangat mungkin mengalir pada tubuh seorang jutawan sekalipun. Hak hidup bukan hanya milik orang kaya, bukan pula monopoli sekelompok orang atas nama keyakinan, suku, golongan dan ras. Justru dalam keberagaman itu, kita bisa saling mengisi.

Christian, seorang Dayak dan Kristen jangan berkata, "Untuk apa saya donorkan dara untuk, Muhammad Encep. Biar teman, tapi dia kan muslim". Muhammad Encep, seorang Sunda dan muslim, jangan pula berkata, "Oh, jangan. Saya lebih baik mati, daripada mendapat darah Christian. Haram, dia kan Kristen."

Tidak. Tidak perlu mendikotomi seperti itu. suku boleh beda. Keyakinan berlainan. Kekayaan dan penguasaan atas harta benda pun tak sama. Status kekaryawanan berbeda. Tapi kita sama- sama manusia yang sederajat di mata Sang Pencipta, Tuhan. Tuhan hanya ada satu, cuma sebutan berbeda-beda, dan nabi yang banyak.


Contoh lain perlu mempertahankan keberagaman adalah dalam menetapkan petugas piket ketika pemerintah menetapkan cuti bersama 11 hari, untuk Idul Fitri, 1 Syawal 1428 Hijriyah. Untuk menjaga agar layanan kantor tetap berjalan, atau setidaknya aktivitas tetap ada atau sekadar menjaga kantor, kantor-kantor biasanya menunjuk petugas piket.

Siapakah personel piket pada saat Lebaran? Jawabannya umumnya adalah karyawan yang non muslim. Ya, kalangan non muslimlah yang seharusnya berjaga-jaga ketika rekan-rekan kaum muslim merayakan hari kebesarannya. Bos senang, karyawan muslim pun dapat mengikuti shalat Idul Fitri dengan khusuk. Inilah beberapa contoh konkret bahwa keberagaman tak perlu dibinasahan, tetapi dilestarikan. Bhinneka Tunggal Ika.

Selamat mudik, tetap semangat berpuasa hingga tiba hari kemenangan, Idul Fitri 1428 H. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 04 Oktober 2007

Haruskah Pernikahan Batal Gara-gara Adat?

Jangan Menyerah: Jangan biarkan cincin ini tanpa tuan dan nyonya,
hanya karena gengsi adat atau tidak mampu sekadar gagah-gagahan resepsi.
Perkawinan dibangun cinta kasih-sayang,
bukan tumpukan harta benda.





SEORANG ponakan, kemarin siang curhat. Dia mendiskusikan penentangan pihak calon mertua terhadap sebagian prosesi adat Batak Toba. Ada dugaan mengandung berhala, yang diharamkan Alkitab. Ponakan dengan calon suaminya kebetulan berbeda etnis. Sejauh ini, belum ditemukan win:win solution.

height="18"/>
Dua bulan lalu, seorang kawan memicik kening sambil curhat. Kawan ini merasa terlalu berat syarat adat perkawinan yang ditetapkan oang tua calon istri yang asli Maluku. Si kawan merasa biaya pernikahan untuk mahar terlalu mahal, belum lagi ongkos pulang pergi bersama istri dari Jakarta ke Ternate, Maluku (PP). Lain lagi biaya resepsi, biaya perlengkapan pengantin, undangan dan sebagainya.

height="18"/>
Masih cerita seputar adat dan pekawinan. Juni-Juli lalu merupakan masa-masa sulit bagi perempuan adik ipar saya. Istri empat bersaudara, dua perempuan sisanya laki. Perempuan dan laki berselang-sling: istri sulung, disusul Prins saat ini di Taiwan, terus adik perempuan kami, dan James, PNS di KNKT yang sempat diberitakan Tempo meninggal dalam tenggelamnya KMP Levina I, Februari lalu di perairan Kepulauan Seribu.


Dalam kurun dua bulan itu, merupakan adik perempuan kami memasukan masa-masa menggetirkan. Ia berencana menikah dengan seorang prajurit TNI di Cilodong. Adik saya mengajar TK di Kota Pariwisata Cibubur. Mereka berdua sepakat menuju jejang menikah setelah dua tahun lebih berkenalan, dan diwarnai hubungan putus sambung.

Calon suaminya berasal dari Nias, salah satu suku bangsa yang sangat sarat dengan adat-istiadat. Di tanah leluhur sana, perkawinan adat nias, sangat high cost. Mempelai laki-laki bisa-bisa diminta menyediakan 50 ekor hewan kerbau atau babi untuk mahar.

Selaku boru (sebutan untuk pihak anak perempuan/berikut suami), mengetahui sedari awal. Saya memang sering meredam amarah mertua yang kurang sreg dengan calon menantunya. Menurut mertua ada dua alasan menolak: siapa orangtua yang tidak menghendaki menantu sesama satu suku, dan kurang sopan.

Saya coba memeras akal mencari alasan yang menyenangkan mertua. Bukan saja mengubah paradigma mereka, juga mencarikan jalan keluar yang sama-sama untung (win:win solution). Saya membombardir pertanyaan: pertama-tama, adakah jaminan perkawinan antarsesama suku, satu adat, asal-muasal bahkan seagama pun pasti bahagia dan langgeng?Adakah jaminan pernikahan yang satu suku tidak akan pernah cerai? dan sebagainya.

Sebaliknya, banyak contoh perkawinan dari orang beda suku, asal-muasal, adat istiadat, agama, bahkan negara, namun tetap berjalan sampai nenek-kakek. Lagipula, banyak kejadian aneh-aneh belakangan ini. Sudha berapa kali kita membaca berita di koran, pemuda atau gadis nekat mengakhiri hidupnya karena keinginan menikah tidak kesampaian. "Maukah bapak ibu, anak gadis bunuh diri?"

Syukurlah. Penjelasan saya rupanya mampu melunakkan hati mertua. Dari tadinya mengatakan tidak akan menerima kehadiran sang menantu, kini bersedia. Bahkan mereka sudah menerima calon menantu melamar anaknya. Satu permasalah sudah tuntas. Pintu menuju pernikahan terbuka lebar.

Selanjutnya, membahas tentang tata cara pesta perkawinan. Semula mertua berkeras, pemberkatan nikah di gereja harus diikuti 'mangdati' , acara adat. Seperti tawar-menawar di pasar ikan, dalam pertemuan keluarga kedua belah pihak disepakati maharnya Rp 25 juta. Biaya itu akan membiayai semua perkawinan, urusan gereja, katering untuk 1.000 tamu, sewa gedung, ulos, bunga, salon, dan lain-lain. Setelah dihitung-hitung, pihak mertua pun mesti merogoh uang sendiri sekitar Rp 8 juta, menutupi biaya.

Tiga hari pascapertemuan, lima hari hingga sepekan belum ada kabar dari calon mempelai laki- laki. Baru memasuki pekan kedua, dia mengabari telah menyiapkan uang dan akan mengantarkannya bersamaan kedatangan ibunda dari Nias. Mendengar kepastian itu, adik ipar saya pun mulai belanja, termasuk membeli bahan kebaya.

***

JANGAN MENGUTANG
Tibalah seornag ibu, janda, dari Nias di Jakarta. Dia beserta anak lalu berkunjung ke rumah mertua. Disepakatilah mencarikan haari pernikahan dan gedung segera dibooking. Namun, demikian, masih persiapan ini itu masih diwarnai upaya menawar dari pihak laki-laki agar mertua menurunkan uang mahar. Mertua bergeming. Sebab itu memang termasuk biaya minim untuk sebuah pesta adat yang menyewa gedung di Jakarta.

Calon mempelai laki-laki kemabli ngambek. Sembari bersungut-sungut, dia berkisah pad adik iparku, dia berencana mengutang dari bank 15-20 juta untuk biaya perkawinan, sekalian mengongkosi sang bunda kembali ke Nias kelak.

Informasi itu secara tidak sengaja sampai ke saya, kemudian mertua. "Wah, gawat," pikir saya. Kalau sampai utang untuk biaya pernikahan, biasa bahaya. Keluarga pemula ini akan jadi repot nantinya. Boro-boro membeli perabot, penghasilan akan habis menutupi utang. Lalu bagaimana kalau tiba-tiba ada janin, bagaimana mau periksa ke dokter, mencarikan asupan gizi yang baik untuk si jabang bayi?

Saya kembali menghadap mertua. Tidak usah pesta. Kalau dipaksakan, nanti yang kasihan karena menderita adalah anak bapak-ibu juga. Pendek kata, mertua mengalah. Oke resepsi saja, setelah pemberkatan. Biaya diperkirakan tidka lebih dari Rp 5 juta. Lumayan, bisa hemat uang dan tak perlu utang.

Perubahan peta itu disampaikan ke pihak mempelai laki. Celakanya, ibunda tercinta yang sudah telanjut datang jauh-jauh malah berkeras mesti pakai adat. Di sisi lain, dia keukeuh juga supaya biaya dipotong. Bingung lagi-bingung lagi.

Dalam kebimbangan itu, saya coba yakinkan adik iparku. "Dik, Anda sebaiknya semakin tekun berdoa, meminta campur tangan Ilahi. Serahkan semua persolan dan pergumulan hidupmu, terutama rencana menikah ini. Sebab Dia sendiri yang mengajarkan pernikahan monoandry/monogami, satu sampai mati. Supaya tidak salah langkah dari awal, maka niatmu satukan dengan rencana-ranangan Tuhan"

Hari mingggu siang, adik terlihat sedih. Tapi dia tegar. Tidak seperti lzimnya, yang terlihat cemberut. Kami sudah putus, bang. Habis dianya tidak serius kelihatan, tidak punya sikap, plin- plan. Dan mulai ketahuan bohongnya. Sudahlah, saya putuskan tidak jadi perkawinan."

Oke kalau itu keputusan bulat mu dan bukan lahir dari emosi yang memuncak, tetapi sudah melalui permenungan mendalam, saya tinggal menerima. "Betul juga kat banyak orang jodoh, Tuhan yang mengatur. Masih banyak laki-laki, dik. Jangan putus asa, kamu cantik kok, pasti masih banyak laki-laki yang mau. Tinggal kamu memintanya dalam doa, supaya diberi yang baik dan sesuai keinginanmu."

Minggu lalu, adik saya menelepon ke rumah. Dia sedang mengajar sekolah minggu. Dia bilang, kalau ada si A menelpon dan mencari adik, tolong bilangkan tidak di rumah. Saya bangga, jodoh adik ipar saya belum mati.

Menurut saya, adat jangan membebani perkawinan. Apalagi sampai menghalangi pernikahan. Pengalamn di tengah keluargaku, banyak pernikahan hanya mengikuti perbekertan pastor, lalu syukuran kecil-kecilan. Jika kelak mereka beranak-pinak, barulah membuat pesta adat, yang dalam adat toba disebut Pasahathon Sulang-sulang ni Pahompu.

Perkawinan yang mahal, ya, biaya mahal saya setuju itu ada hikmahnya. Bahkan sering didalihkan untuk melanggengkan perkawinan. Dengan high cost, maka seseorang tidak semudah membalik tangan untuk nikah. Tidak bisa sembunyi-sembunyi, karena banyak orang dan pihak dilibatkan. Alasan lain, acara adat menambah sakralnya ritual perkwanian, dan menggenapkan sebutan menjadi raja dan ratu sehari. Bagimana pendapat Anda? (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 02 Oktober 2007

Jalur Mudik

PULKAM: Mudik di Terminal bus Lebak Bulus, Jakarta (bawah/Persda Network/FX Ismanto),
dan Suasana di pelabuhan Soekarno Hatta Makassar saat TKI asal Makassar mudik
dari Malaysia (Tribun Timur/abbas sandi)





PULANG dan berhari raya di kampung. Sembilan tahun lalu, kali terakhir saya mudik menempuh jalur darat. Menumpang bus Mawar Selatan dari pool di Cawang, Jakarta Timur, berangkat sore, sekitar pukul 15.00. Harinya saya tak ingat. Saya menumpang bus AC Toilet, tapi bukan Executive Class. Satu yang tak kulupa, gadis pujaan yang kini memberiku dua anak, ikut mengantar ke pool bus.


Seingat saya, meluncur menuju Pulau Sumatera, san bus tiba di Merak, Banten (ketika itu masih Provinsi Jabar) memasuki senja. Selanjutnya antre beberapa jam, menunggu giliran naik ke fery penyeberangan ke Bakauheni, Bandar Lampung.

Bus melaju di atas rata-rata. Ngebut. Sopir utama, dan sopir kedua dan kernet seakan terburu- buru. Entah apa yang mereka kejar. Padahal saat itu malam tahun baru masih empat hari ke depan, mestinya tidak perlu tergesa-gesa.


Saya pulang menjelang pergantian tahun, suatu ritual yang menjadi puncak tahunan buat masyarakat Toba, yakni Tahun Baru. Pada pergantian tahun. Seakan lebih agung daripada Natal, Paskah atau apa pun.


Tiba di Lampung, bus terus melaju menempuh jalan lintasan barat, ke Martapura, Lahat Padang, Danau Singkarak, lalu Padang Sidempuan. Jalan berkelok-kelok, membuat pusing tujuh keliling. Sopir terkesan hapal betul lekukan-lekukan atau tikungan jalan. Dia terus melibas, tancap gas, kendati jurang terjal nan dalam sekali menganga di tepi jalan, atau tebing tinggi yang tampak siap menerkam dari tebing gunung.

Jalan sempit tidak jadi soal. Bus terus melaju. Kalau kebetulan berpapasan dengan bus atau tronton di tikungan tajam, daripada badan bus membentur dinding bebatuan keras, sopir menghentikan bus dan memberi kesemaptan kepada kendaraan dari arah berlawanan lebih dahulu melintas. Tapi sikap itu jarang, si sopir berkeras, dan sopir dari kendaraan lainlah yang lebih banyak mengalah. Entahlah, apakah pengemudi Mawar Selatan mempedulikan puluhan penumpang, atau menomorsatukan ugal-ugalannya, hanya dia yang tahu.

Kalau di Pantura Pulau Jawa ada horor bajing loncat yang sering memangsa truk pengangkut muatan berharga, di Lahat, dikenal dengan perampok nekat. Alkisah, segerombolan orang sering kali membentangkan balok kayu besar, atau memarkir truk di tengah jalan seakan-akan mogok, atau orang-orang sendiri nekat berdiri di badan jalan menyetop laju mobil sambil menghunuskan parang, sebagai ancaman.

Saya sendiri tak tahu apa yang terjadi malam itu, sebelum apa alasan sopir teru membalap. Tangan dan kaki sampai pegal luar biasa menyangga badan agar tidak merosot dari kursi, perut goncang seperti mau menumpahkan semua isinya. Mula, pusing. Kantuk yang teramat dalam mengalahkan rasa khawatir saya kalo terjadi apa-apa. Saya pulas, kemudian dibangunkan suara gedubrakkkkkk....

Apaan tuh? Tabrakan yah? Begitu suara-suara penasaran saya dengar. Suara itu mengagetkan saya dari tidur. Ternyata tv yang menggantung di samping sopir copot lalu terjatuh dan menghantam dashboard bus. Tapi tidak banyak orang yang tahu insiden dini hari itu, terutama penumpang yang duduk di deretan kursi bagian belakang bus. Sudah ditimpa 'musibah', sopir masih terus tekan pedal gas.

Menjelang tengah hari, bus melintasi Danau Singkarak. Omelan penumpang semakain tak terbendung, desakan kepada kru bus agar segera mencari rumah makan. Penumpang sudah kelaparan, satu dua anak-anak menangis. Tidak lebih setengah jam, bus berangkat.

Baru kira-kira 20 menit, seorang wanita hamil tua beranjak dari kursi, menuju toilet. Wah, bau faces dengan cepat menebar ke seluruh bus ditiup angin dari kondisioning udara. Seorang ibu-ibu dengan nada melawak, mengingatkan banyak orang yang memaki sembari menutup hidung, mengatakan bau-... bau...

Malam kedua, saya turun di kota salak, Padangsidempuan, sektiar puku 01.00 WIB, berarti hanya sekitar 36 jam tempuh, lebih cepat sekitar enam jam dari biasanya. Mawar Selatan terus melaju ke Sipirok, Parapat-Toba Lake, Pematang Siantar, dan berakhir di Medan.

***
Mudik hanya sekali dalam setahun. Itu bagi orang-orang berduit, yang manpu membeli tiket angkutan pulang pergi bersama keluarga setiap Lebaran, atau Natal. Kalau orang kere, yang pencahariannya hanya mampu untuk makan sehari-hari, mungkin mudik hanya sekali dalam dua, tiga, lima atau sepuluh tahun.

Kebanggaan bila bisa mudik. Bersilaturahmi dengan sanak-saudara. Namun bagaimana jika kebanggaan itu terganggung oleh ketidaknyamanan angkutan lalu-litnas. Macet, antre karena tidak cukup kapal fery, atau kondisi jalan rusak.

Bukan rahasia, ruas jalan-ruas jalan menjadi keluhan tak kunjung padam. Kalau di Pulau Jawa kemacetan karena perbandingan jalan dan volume kendaraan tak seimbang, dari satu sudut ini bida ditafsirkan penduduknya kaya-kaya, sedangkan di luar Pulau Jawa, kemacetan seringkali terjadi lebih karena minimnya infrastruktur jalan. Kalau pun ada, kualitas sangat buruk, jalan, sempit, penuh kubangan, sering sekali longsor, dan sejenisnya.

Seperti kata Mantan Mendagri Syarwan Hamid yang saya wawancarai secara khusus Maret silam, padahal penyumbang devisa negara terbesar adalah sumber daya alam di daerah di luar Pulau Jawa. Pendapatan dikuras dari daerah, tapi perimbalan atau perimbangan ke daerah. Ketidakadilan. Perlakuan itulah yang menyulut pemberontakan semarak di berbagai daerah.

Kondisi keamanan saat ini menang sudha jauh dari hiruk pikuk kerusuhan dan pertikaian, termasuk gerakan separatis 'tidur'. Namun tidak ada jaminan, pergolakan yang menunut Aceh Merdeka, Papua Merdeka, Riau Merdeka, Kaltim Merdeka, Makassar Merdeka, jika ketidakadilan masih terus menghiasi bumi nusantara.

Bukan mustahil, kelak ada tuntutan Bali Merdeka, Kalimantan gabung ke Sarawark, NTT gabung Timor Leste dan sebagainya. Ini tantangan sesungguhnya.

Marilah memanfaatkan memontum mudik Lebaran, hari-hari ini hingga pekan depan, sebagai langkah hijrah dari kungkungan berpikir feodal, sentralistik menjadi solider yang mengayomi, mendampingi bukan melulu instruksi pusat ke daerah, dan terutama memerdekakan diri dari nafsu keserakahan yang mengenyangkan perut sendiri. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 01 Oktober 2007

Menghargai Kuli dengan Layak



Orang Kebanyakan: potret para pekerja kasar,
kaum kebanyakan di republik ini.
Foto kuli/blogkotatua




INILAH kisah seri ketiga saya, yang menyinggung pekerjaan bertukang mengisi hari libur, sehari dalam sepekan, Minggu. Di pengujung September kemarin, saya kembali bertukang, sepulang misa. Pertama-tama bolak-balik dua kali pangkalan penjual bambu di Jalan Raya Bogor, tak begitu jauh dari persimpangan Cilodong, Jawa Barat.

Saya sudah memesan 48 ikat bambu yang sudah dibelah dan dibersihkan, kemudian 50 batang bambu dibelah lebih besar untuk bahan tulang, dan 30 potong tiang bambu bulat. Salah paham, antara saya dengan pengirim bambu. Sayan menduga mereka menggunakan pikap, ternyata angkot. Sehingga tersamar.

Saya mencari-cari mereka, tidak bertemu, sebaliknya Mang Mariom dan tiga kawan juga mencari-cari rumah saya, tidak ketemu. Mereka rupanya sudah melibat saya, tapi pangling, karena masih pakaian rapi, sepulang misa.

Usai menurunkan muatan bambu, saya membututi satu pikap pengatan bunga-bungaan, tanaman hias. Saya berpikir, dia sekali jalan, kalau disewa/carter, pasti lebih murah, daripada saya mencari pikap sewaan ngetem.

Betul saja, harga sewa uang kerta bergambang I gusti Ngurah Rai-Danau Beratan ditambah uang bergambar Sultan Mahmud Badarudin II- Rumah Limas, masing-masing selembar, saya mengangkut barang-barang pidahan dari Pondok Tirta Mandala ke Komplek Deppen, Depok, jaraknya sekitar 3 km. Gubuk kami belum 100 persen siap ditempati, karena itu, istri sempat ngomel ketika barang-barang perabot yang sebenarnya tak berharga itu dipindahkan ke rumah kosong.

Satu trip mengangkut barang-barang. Untung, adik iparku si bungsu, Lae James baik hati mengeluarkan tenaga menaikkan dan menurunkan barang-barang, di bantu dua tetangga, kerabat kami. Sekembali ke PMI (Pondok Mertua Indah), saya ikut membereskan dan merapihkan barang-barang yang masih tertinggal. Makan siang, eh lupa, belum sempat serapan. Kemudian selepas tengah hari, saya lanjutkan pertukangan.

Mertuaku bilang, got pembuangan air dari dapur tidak mumpuni menampung hujan yang turun tak seberapa lebat, pertengahan pekan silam. Akibatnya, hujan sempat menggenang dan nyaris menerobos dari pintu belakang ke ruang tengah. Padahal Minggu lalu, saya sudah bercucur keringat menggali got seorang diri, mencakul, memasukkan tanah ke ember lalu menumpuknya bersama brangkal.

Siang itu, terik matahari sangat menyengat. Prioritas saya kembali menggali got: melebarkan dan memperdalam. Kira-kira dua jam nonstop, saya menggali got kedalaman sekitar 20-30, makin ke ujung makin dangkal, dan sempanjang kurang-lebih 10 meter. Syukur pada Tuhan atas tenaga yang dan kekuatan yang diberikanNYA, dan akhirnya got saya rampungkan.

Gubuk kami mengarah ke utara. Pososinya hook, dengan jalan di sisi barat (kiri) dan utara (depan). Got yang barusan saya bikin berada di samping kiri, sehingga terik langsung menghantam, tak ada perlindungan dari pohon atau rumah.

Matahari condong ke barat, namun masih tetap terik. Saya pindah ke got depan. Air mengalir dari pembuatan para tengga di sebelah timur. Saya mengambil cangkul, sekop dan potongan tripleks.

Tripleks saya letakkan di atas got, lalu mulai mencangkul, sehingga tanah tidak menutupi got, yang membuat dua kali kerja. Begitu tanah menutupi tripleks, saya ambil sekop, badan membungkuk, mengayunkan sekop lalu melempar tanah sejauh mungkin ke selatan, ke tanah pekarangan. Posisi tanah lebih tinggi dari got, sektiar 150 cm.

Baru sekitar dua meter panjangnya saya meratakan tanah untuk pemancangan tiang pagar bambu, pinggang terasa pegal, napas pun ngos-ngosan. Tidak pernah secapai itu rasanya, dari sebulan lebih pertukangan serial: membuat jalan berbagi sisa brangkal/bekas galian, menyemen, atau membuat got kecil. Kali ini lelah sekali. Jantung serasa berdetak lebih sering, dan frekwensi paru-paru lebih tinggi.

Saya putuskan istirahan, berebah di atas sofa mini yang diangkut paginya. Sekitar sepuluh menit saya coba ritual napas, senam pernapasan sambil tiduran, olahraga yang sering saya lakukan kalau betul-betul lelah di kantor. Senang napas tidak juga meredakan kelelahan.

"Apakah karena terlambat serapan, dan perus terasa lapar sore in." pikir saya. Saya memang mengurangi porsi nasi. Tidak sebanyak seperti semasa di Bandung atau sebelum-sebelumnya, seperti memindahkan bukit. (hahahah) Lalu ada bunyi terompet, seperti biasa penjual roti lewat. Bubur kacang hijau," kata si paman tukang jualan pikul menawarkan dagangannya.

"Boleh mang. Berapa?" Dia menyahut, "Dua ribu" "Tambahilah lima ratus lagi, lapar nih," saya bilang. Betul saja, semangkuk penuh. Saat membayar ternyata, Mamang pedang hanya meatok harga dua ribu. "Memang harganya segitu, tidak muat lagi kalau ditambah. Porsinya memang begitu," jawab dia. Saya menilai pedagang ini jujur, padahal dia berpeluang mencari uangtung lebih dari saya, setidaknya Rp 500 perak, atas perrmintaan pembeli sendiri

***
Kaum Kecil
Sering kali, kata-kata melecehkan atau merendahkan yang dirahkan korang berduit kepada kaum kecil, pekerja kasar seperti kuli bangunan, petani, nelayan, pengangkut sampah-pemulung, dan sebagainya. Apa daya, nasib mereka memang tak sebagus bapak-bapak terhormat di gedung DPR, presiden/wapres, bapak dan ibu menteri, para gubernur, bupati/Walikota, Dirjen, KPK, KY, BPK, MA dan eksekutif muda yang mengkalim seakan berbuat paling banyak buat negara sehingga berhak pula mengambil pamrih lebih banyak.

Kuli kasar memang rakyat jelata. Orang-orang dari kebanyakan, yang belum terbiasa atai tidak pernah berdasi, masuk gedung-gedung ber-AC, naik mobil mewah, telepon seluler super canggih, dan kemewahan lainnya. Ya, kuli adalah kaum terpinggirkan.

Namun begitu, jangan sekali-kali meremehkan apalagi menafikan mereka. Tanpa kuli bangunan, bapak-bapak terhormat tentu tak akan nyaman ngantor digedung pencakar lagit.

Jangan pula pernah menghina petani, sebab tanpa mereka, cacing di pusar anda akan terus keroncongan.

Jangan pernah menganggap tidak ada para kuli pabrik, sebab tanpa mereka, tubuh anda tak pernah ditutupi sehelai benagpun, kaki dijaga sepatu/sandal mewah.

Jangan pernah mencueki penangkap ikan dan gembala, sebab tanpa mreka kandungan omega, DHA, ARA, gizi dan kandungan lainnya yang mencerdaskan putara-putri tercinta.

Jangan pernah meniadakan pemulung atau tukang sampah, sebab seminggu saja mereka tidak mengais sisa pembuangan kekayaan Anda, maka lingkungan hunian niscaya ditebari semerbak bau busuk. Lalar-lalar pun akan beterbangan membawa bakteri.

Andai bapak-bapak/ibu-ibu terhormat, penguasa dan pengusaha pernah coba melakuoni seperti peran para kaum kecil itu, tentu empati sangatlah penuh. Tidak lagi setengah hati, apalagi hampa dalam menetukan upah harian, atau upah minimum regional.

Dengan berempati kepada kaum kecil, pekerja kasar, kita berharap kaum berduit memberi penghargaan yang layak, bukan sekadar cukup makan, tetapi saya seperti pejabat, kuli bangunan pun mestinya bisa menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi, Merka juga berhak liburan, baju yang baru, emas permata, mobil dan rumah mewah. Kaum papa pun juga manusia. Bedanya: Mereka tidak seberuntung kita. (domuara ambarita)
?

[+/-] Selengkapnya...