Jumat, 21 September 2007






Foto rusuh di Sampit. Tengah/AP, kiri/Tempo, kanan/web

Peran Mistik Panglima Burung
* Kepala Manusia Dipersembahkan untuk Mendapat Pahala

KERUSUHAN antaretnis yang melanda Sampit, Kotawaringin Timur sejak 18 Februari 2001, boleh dikata sebagai tragedi kemanusiaan terbesar di Kalimantan. Kerusuhan Jumat Kelabu Banjarmasin 23 Mei 1997, kerusuhan Kumai atau Kereng Pangi awal tahun 2001, sepertinya belum setara bila dibandingkan dengan yang satu ini. bagaiman atidak, cakupan teritorialnya sangat luas, tingkat keganasan lebih ngeri, dan jumlah korban yang berjatuhan pun jauh lebih besar.

Korban meninggal dunia di kedua belah pihak bertikai berdasarkan data Pemkab Kotawaringin Timur (Kotim) hingga Minggu (25/2) sebanyak 270 jiwa, luka-luka delapan orang dan luka ringan 3 orang.

Sedangkan Polres setempat pada hari yang sama melaporkan terjadi pembantaian lagi 118 jiwa di satu tempat terbuka yang letaknya dekat kantor Camat Parenggean, Kotim. Dengan begitu telah jatuh korban 388 jiwa. Sementara perusakan rumah mencapai 196 bangunan dan dibakar 583 rumah.

Ada kejanggalan yang mengundang pertanyaan. Fakta-fakta memilukan ini tentu perlu dikaji, apa sebenarnya faktor pemicu mengapa terjadi amuk massa yang demikian besar? Mengingat ini konflik di tengah masyarakat, perlu dicarikan alasan-alasan sosial apa yang mendukungnya?

Berdasarkan informasi yang didapat di lapangan, banyak faktor sebagai penyulut terjadinya kerusuhan. Dari sekian banyak yang disebut-sebut adalah akibat akumulasi kekesalan warga penduduk asli (belakangn media berani baru vulgar menyebut Dayak) terhadap pendatang (Madura). Disebutkan pula, warga asli sudah kehabisan kesabaran.

Kemudian ada lagi faktor kesenjangan sosial ekonomi sampai kepada kepentingan politik lokal, daerah, nasional atau mungkin mendunia.

Terlepas dari sentimen yang dapat dikaji secara nalar itu, ada pula rumor yang santer disebut-sebut. Patut disimak, hal itu bersinggungan dengan alam gaib atau lebih tepat terkait keyaninan tradisi atau budaya masyarakat lokal.

Masyarakat Dayak memercayai ada suatu makhluk yang disebut-sebut agung, sakti dan berwibawa. Dialah Panglima, yang oleh orang Dayak pedalaman disebut Pangkalima atau Panglima Burung.

Ada dua versi soal sosok panglima Burung ini. Yang pertama menyebutkan, dia adalah Panglima Soedirman- nya Indonesia saat perjuangan fisik dahulu. Ia disebut-sebut datang dari pedalaman Kalimantan, yakni perbatasan wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantang Barat yang nama tepatnya tidak dipastikan.

Sosok kedua, Panglima Burung digambarkan sebagai sosok priayi, kalam, pemberani, tangguh, kebal dan sakti. Jika dia turun gunung, diasumsikan bahwa dia dalam kondisi emosi dan batas kesabarannya berada pada titik pengujung.

Dalam versi itu, banyak informasi di lapangan termasuk rumor di kalangan wartawan, pengaruh Panglima Burung sangat besar di masyarakat Dayak pedalaman. Dia memiliki banyak pengikut. Posisinya semacam guru spirituallah. Konon dia memiliki sejumlah pasukan khusus yang kebal dan sakti, bisa menjelma menjadi makhluk halus dan bisa terbang.

Namun sebagian kesan ini dimentahkan Abdul Hadi Bondo, seorang temenggung atau tetua masyarakat etnis Dayang Katingan. Abdul hadi yang penganut Islam dan pemuka Muhammadiyah Sampit mengisahkan, sosok Panglima Burung sebenarnya bukan manusia hidup, melainkan sosok khayalan.

Disebut panglima, terang Abdu Hadi, sebab pribadi sang tokoh sangat teguh, sakti, kebal dan tidak suka bikin onar. Ia penyabar, namun jika batas kesabaran sudah habis, perkara jadi lain. "Dia bisa menjelma menjadi seorang pemurka."

Panglima Burung, dalam kacamata Abdu Hadi, adalah seorang tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada. Meski demikian, dapat diajak berkomunikasi melalui roh, layaknya manusia. Komunikasi ini dilakukan melalui upacar kebudayaan dan diikuti suatu ritual.

Saat pertemuan dan dialog dengan manusia bisa, segala sesuatu dapat dimintakan dari Panglima Burung. Termasuk misalnya, perintah terhadap apsukan-pasukan khususnya. Karena itulah, ia bisa seperti panglima di militer, tinggal main perintah. Namun dalam situasi genting, panglima kadang-kala turun tangan sendiri. Dia diyakini dapat menghilang --tak terlihat-- saat datang demikian juga saat beraksi di medan perang. Wujudnya tak tampak.

Masih dalam bingkai spiritual dan kepercayaan tadi, ada kaitan Panglima Burung dengan sadisme pembunuhan. Konon, pasukan khususnya telah dibekali ilmu kebal sebelum terjun ke arena konflik.

Mereka disuguhi minuman yang diyakini membuat tubuh kebal, minuman yang masyarakat setempat mengenalnya dengan minyak Cap Bintang. Diyakini pula, minyak ini memiliki kekuatan magis luar bisa, dan mukjizatnya dapat menghidupkan orang mati. Entah sugesti atau bukan, dengan keyakinan itulah, para pasukan khusus tidak takut bertempur, karena kebal dan kalaupun menjadi korban, dia akan kembali hidup. Syaratnya ketika bintang muncul di langit, korban hidup kembali. Reinkarnasi.

Di bagian lain didoktrinkan suatu aturan main kepada anggota pasukan, jika seseorang dari pasukan berhasil mengalahkan musuh maka sebagai bukti, anggota tubuh --biasanya dari leher ke kepala, harus dibawa. Kepala yang ditebas atau dikenal dengan istilah mangayau lalu dipersembahkan di dahapan panglima. Jika kepala tidak diusung, sang prajurit akan menanggung sanksi berat. Sebaliknya, prajurit yang berhasil mempersembahkan kepala tadi akan mendapat penghargaan besar. Semacam pahala.

Tidakkah para anggot pasukan khusus itu tidka merasa berdosa membunuh, dan mangayau? "Korban memang sudah banyak. Secar hati kecil itu tak boleh, tetapi untuk mengubah 'sistem', itu memang harus dilakuka," ujar Abdul Hadi yang terus terang mengaku kagum pada sosok Panglima Burung atas kesederhanaan dan wibawaya.

Dikemukakan, dari sudut agama --apapun juga agama yang dianut, prajurit pasukan khusus sadar perbuatan mangayau adalah salah dan dosa. Meski begitu, dalam kasus kerusuhan Sampit ini, mereka lebih berpegang pada tradisi dna doktrin Panglima Burung. Itulah yang membuat penganiyaan terus mengganas, pembantaian pun sulit diatasi, bahkan pembantaian meluas.

Sungguhlah bijak jika aparat keamanan dan pemerintah menempuh cara lain mengatasi konflik. Tidak melulu melakukan pendekatan formal, mengirim pasukan pemukul entara dan polisi dengan kekuaran senjata modern. Sebab dalam pantauan di lapangan, para prajurit pasukan khusus tadi tidak takut terhadap berondongan peluru.

Terbukti, ketika sejumlah personel Brimob Kelapa Dua Depok yang baru tiba di Sampit menegur beberapa orang pasukan khusus Dayak yang ikut konvoi bersama warga Minggu (25/2) malam, malah memunculkan keributan. Saat itu personel Brimob coba mengingatkan beberapa pemuda yang menghunus-hunuskan mandau, yakni parang khas Kalimantan, di tengah keramaian. Hampir semua massa yang konvoi memang menenteng mandau, namun masih di dalam kumpang. Panjangnya rata-rata semeter. Tindakan itu terkesan mengintimidasi belasan ribu pengungsi yang berada di kompleks Pemkab Kotim.

Ditegur personel Brimob orang-orang yang membawa mandau berang, malah menantang balik agar ditembak saja ketika anggota Brimob coba mengokang senjata SS-nya. Entah karena kebal, atau semata gertak sambal balik, entahlah. Untungnya si Brimob mengalah.

Dengan melihat fakta-fakta yang di luar logika dan aturan hukum itu, pemerintah dan aparat keamanan perlu menempuh pendekaran kuutral. Misalnya, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat adat untuk meredam amuk massa yang terdoktrin adat-istiadat. Setelah memungkinkan, baru diambil tindakan hukum tegas. (domuara ambarita)

* Banjarmasin Post, 28 Februari 2001

[+/-] Selengkapnya...



Foto Danu/Kompas
Truk polisi dibakar massa di Budaran Besar Palangka Raya

100 Menit di Bundaran Besar

JAUH hari sebelum terjadinya tragedi berdarah di Bundaran Besar Palangka Raya, Sabtu (10/3), Kadit Sabhara Polda Kalteng Selaku Pelaksana Harian Penanggulangan Kamtibmas di Sampit, Komisaris Besar Polisi Tato Suprapto pernah mengeluarkan warning bahwa upaya menghindari meluasnya konflik antaretnis di Kalteng memerlukan kearifan ekstra.

Alasan dia, psikologi massa masih sangat emosional sehingga rentan tersulut. Dia memerintahkan, pasukan pengamanan sekalipun tidak boleh sembarang dalam bersikap. Tidak boleh teledor. Dalih penegakan hukum, kalau saja aparat menembak massa dalam situasi panas ini, situasi bisa menjadi lain. Kejadian selanjutnya bukan saja konflik horzontal antaretnis, melainkan menjadi-jadi konflik vertikal rakyat berhadap-hadapan dengan aparat.

Penegasan itu dikemukakan Tato Suprapto dalam perbincangan dengan sejumlah unsur Muspida Kabupaten Kotawaringin Timur, ketika evakuasi 3.850 pengungsi dari Sampit tujuan Tanjung Emas Semarang oleh KM Tilong Kabila, Minggu (25/2).


Kekhawatiran Tato tidak berlebihan. Buktinya, hanya berselang dua hari dari ketika dia melontarkan imbauannya, situasi Kota Sampit yang sempat realtif aman, tiba-tiba memanas kembali. Bahkan keadaan menjadi mencekam karena aparat keamanan sendiri terlibat bntrok bersenjata.

Baku tembak aparat Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polri versus TNI AD di Pelabuhan Sampit. Tato sendiri akhirnya meninggal beberapa bulan kemudian.

Penanganan konflik antaretnis Sampit belum tuntas, meskipun sejumlah pejabat negara telah berkunjung ke sana. Ketua DPR Akbar Tandjung elah meninjau bersama Wapres Megawati Soekarnoputri, kemudian Presiden Abdurrahman Wahid mengunjungi wilayah yang tinggal puing-puing itu.

Lagi-lagi, kekhawatiran Kombes Tato sangat beralasan. Tak dinyana, pertikaian vertikal meletus di ibu kota Kalteng, Palangka Raya. Penyulutnya dalam penembakan membabibuta aparat Brimob sehingga menewaskan empat orang masyarakat warga setempat. Sang polisi, yang belum diketahui identitasnya, kalap ketika massa pengunjuk rasa merangsek ke arah rombongan Presiden Abdurrahman Wahid yang melintasi Bundaran Besar. Empat tewas, tujuh luka-luka di pihak sipil dan tiga orang luka-luka dari pihak polisi.

Terlepas dari beragam versi pemicu dan kronologis tragedi, pescapenembakan menarik disimak. Gambaran situasi lebih tegang dan arus pusaran massa lebih besar.

Ekses tragedi Bundaran Besar tersebut, membakar amarah massa Palangka Raya. Apalagi sudah terkuak kalau aparat menghamburkan peluru tajam dengan posisi senjata mendatar, yang terbukti dari temuan tiang-tiang besi listrik berlubang diterjang peluru. Minggu kemarin, warga menemukan banyak proyektil peluru. Satu di antaranya dikeluarkan dari tiang linstik yang berlobang karena peluru. Timah peluru masih ditemukan melekat di bagian dalam tiang.

Seorang tokoh masyarakat Palangka Raya, Drs Menteng Asmin merasa yakin, peluru tajamlah yang merenggut nyawa empat warka kota itu. Bukan peluru karet, seperti dikemukakan pihak Polda. Penjelasan petugas piket Denpom Vi/3 saat mengatarkan barang bukti, pecahan proyektil dan selongsongan, Jumat (9/3), sedari pagi tak terlihat seorang pun polisi melintas di Bundaran Besar. Semua pasukan konsentrasi di markas Polda. Wajar, karena massa memang membalas dengas sweeping aparat.

Lewat tengah hari, massa mencegat dan merazia pelintas. Mereka meneliti satu persatu angkutan yang lewat, dari sepeda motor hingga mobil, termasuk angkutan perkotaan. Jika ada pengguna jalan yang mengenakan seragam polisi, massa segera memburu, menyetop, lalu melucutinya. Seorang polisi yang bernasib sial, tak berkutik saat dikerubungi warga. Warga mengamuk, lalu memaksa merampas helm bertulis polisi, kemudian dibakar. Beruntung dia sempat melarikan diri.

Kemurkaan terus berlanjut hingga membumihanguskan pos polisi di pusat kota itu, serta membakar seunit mobil pikap juga milik Polisi. Kebrutalan menjadi-jadi, bahkan truk polisi yang sedang diperbaiki pada satu bengkel di Jalan Tjilik Riwut di dekat bundaran didorong paksa, lalu dibakar ramai-ramai.

Bak suasana perang betulan. Keadaan Kota Cantik itu betul-betul menegangkan. Warga sipil menjadi polisi bagi polisi sungguhan, sedangkan aparat polisi mengumpet atau hanya bertahan di markas sekadar mempertahankan kantor dan aset-aset. Kemudian massa menyasar ke arah kediaman Kapolda. Dalam hitungan menit, massa sudah menumpuk di depan rumah Kapolda di Jalan Imam Bonjol, bertetangga dengan Hotel Batang Garing, disipahkan Jalan DI Panjaitan.

"Ayo lempar... Bakar. Hancurkan," demikian provokasi entah siapa yang berada di tengah kerumunan massa. Seruan itu seperti perintah. Massa serempak langsung melepar bebatuan dan benda keras lainnya ke arah rumah Kapolda berbintang satu. Massa semakin merangsek dan mendekat, dari luar rumah itu tampak kosong, tanpa penjaga.

Sebelum seseorang melempar tumpukan kertas yang dibakar, tiba-tiba seregu polisi bersenjata lengkap bergegas keluar dari rumah berlantai satu itu. Mereka segera melepaskan tembakan ke angkasa. Dar... der.. dor... Lima kali suara tembakan muncrat. Suasana makin kacau, panik. Massa berhambur, sebagian berlari ke arah Bundaran Besar, sebagian lagi menyelamatkan diri ke dalam Hotel Batang Garing dan lainnya ke segala penjuru.

Kini giliran polisi yang bergerak menghalau massa. Dentuman lontaran peluru silih berganti membuat riuh- rendah di seputar Bundaran Besar. Massa diusir dengan tembakan tak henti dari senjata AK/SS-1 anggota polisi, dan mereka sudah bergerak ke jalan. Lalu disambut tembakan membabi buta dari senjata Brimob yang menumpang water canon, muncul dari Mapolda di Jalan Tjilik Riwut.

"Tiarap, mundur!" Perintah dari tengah massa, lagi-lagi sangat ampuh sebagai komando. Dalam hitungan detik, semua massa, termasuk belasan wartawan segera minggir. Saya beserta Danu Kusworo fotografer Kompas, Tommy (Reuters) segera tiarap, sambil berlindung di balik pohon mahoni berdiameter kira-kira 40 cm di tepi Jalan Imam Bonjol, kurang-lebih 30 meter dari sumber tembakan. Saya membaringkan dada-perut ke rumput gajah sambil mengamati desingan peluru mengarah datar dan sebagian ke atas.




Sekitar tiga menit tembakan reda. Waktu 'jeda' itulah saya manfaatkan berlari, segera melojmpat masuk pagar hotel Batang Garing, sebelah utara daru sumber tembakan.

Di balik tembok WC luar lantai dasar, sudut barat hotel, saya mengendap-endap. Sesekali menjulurkan wajah di balik siku hotel, mengintip posisi Brimob. Tampak dari balik, pagar besi bulat dan lambaian tanaman palm, sekitar satu regu pasukan berseragam Brimob masih dengan gagah berani memuntahkan peluru. Suasana menegangkan ini berlangsung sektiar 100 menit, dari pukul 15.20 WIB hingga pukul 17.00.

Seorang pemuda berambut gondrong luruh, celana pendek cokelat, T-shirt abu-abu, gelang rotan hitam tampak pucat pasi mengendap di balik tempat sampah, tiga meter dari WC. Sesekali dia amasih menongolkan kepala. Sekitar 40 menit ia terperangkap di sana, sebelum mengendap-endap melompat ke luar.

Sebentar kemudian, rentetan tembakan bertalu-talu dari arah Bundaran besar. Rupanya pasukan Brimob melintas. bak film perang, ketika pimpinan regu berpindah di arena perang, maka rekan setregu harus melontarkan tembakan ke arah lawan sebagai taktik melindungi komandan, demikian pula yang dilakukan Brimob ini dari atas mobil sambil bergerak memperkuat benteng pertahanan dan prajurit di kediaman Kapolda.

Demi menuruti naluri mencari situasi di pusat Budanran, saya sempat hendak turun ke jalan, namun begitu suara tembakan makin terdengar dan mendekat, urunglah niat. Satu truk Julidog roda empat ukuran besar melintas sarat polisi. Kemudian saya mencoba masuk ke loby hotel Batang Garing, ternyata di dalam puluhan orang telah berkumpul. Ada pegawai hotel, tamu hotel, nasabah bank, dan sebagain massa yang berhasil bersembunyi tampak pucat dan gugup. Mereka mengamati situasi di jalanan dari kaca-kaca hotel.

Wajar orang-rang yang berkumpul di dalam hotel ketakutan karena mereka dapat menyaksikan bagaimana aksi polisi yang memberondong peluru dari sebelah. Saya kemudian naik ke atas hotel. Di gang-gang lantai 1 sampai lantai 6 hotel itu banyak orang bergenrombol. Di lantai tujuh, atap hotel, beberapa wartawan mengamati keadaan kota dari ketinggian. Keadaan baru pulih pukul 17.00, kendati tembakan masih mendentum sekali dua kali, saat konsentrasi massa sudah cair dan arus lalu-lintas mulai melintasi Bundaran Besar. (domuara ambarita)

* Banjarmasin Post, 11/03/2001


[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 19 September 2007


Sorot/Domuara Ambarita

Rentenir, Satolop, Yunus dan BNI
PEKAN lalu, seorang kerabat menelepon saya. Dia mengabarkan dua hal. Pertama, baru saja ia menikah, dan kedua, memutuskan meninggalkan pekerjaan lama sebagai bank berjalan. Rentenir. Ia menjalankan uang milik satu koperasi simpan pinjam di Pasar Parung, Kabupaten Bogor. Sekarang ia membuka usaha sendiri di bidang yang sama, menggandakan uang kepada para pedagang di pasar tradisional dan di sekitarnya.

"Om, bolehkah saya minta bantuan? Saya belum punya KK di Parung, KTP di sini pun nggak ada. Saya butuh sepeda motor supaya pergerakan lebih cepat. Nasabah saya sudah mulai banyak, sampai kewalahan menagih. Selama sebulan ini saya terpaksa jalan kaki. Mumpung belum Lebaran, saya ingin kredit motor, tapi dealer tidak percaya karena nggak punya KK dan KTP. Jadi sebagai jaminan, saya mau minta bantuan om."

Esok paginya, kami bertemu. Sambil menyeruput segelas teh, tamu saya seakan mempresentasikan prospektus usaha rentenir yang dia jalankan. "Dari pengalaman memutar uang, saya berpikir hanya usaha sangat baik. Coba bayangkan, kalau nasabah pinjam 300 ribu, dia hanya dapat 270 ribu. 30 ribu dipotong untuk biaya administrasi dan tabungan koperasi. Lalu saya akan tagihan setiap hari, dan harus lunas dalam 30 hari menjadi 360 ribu. Saya dapat 90 ribu. Berarti bunganya 30 persen dalam sebulan," kata dia.

Batin saya geram. "Kok masih ada biaya administrasi untuk koperasi? Lho, katanya usaha sendiri, bukan koperasi?" Ia menjawab, "Yah, ini sekadar mengikuti permainan pasar. Saya bisa saja memberi dana bulat, tanpa dipotong, tapi kalau ketahuan koperasi lain, saya akan dihabisi. Itu sudah mekanisme pasar." "Mekanisme pasar?" kataku sembari terangguk-angguk, lalu beranjak ke dealer motor. Dia memilih motor bebek warna hitam, dan besoknya endrayen.

Saya seketika teringat protes para ulama yang diwadahi MUI Cianjur, sehingga memutuskan fatwa haram pada rentenir sehingga masyarakat dilarang meminjami uang. Di sisi lain, saya coba membolak-balik pikiran sembari mencari tahu jawaban mengapa begitu. Adakah andil tingginya suku bunga yang disertai sulitnya prosedur mengakses kredit perbankan?

Pertanyaan lainnya, mengapa seorang Muhammad Yunus sukses menghadirkan bank untuk para kaum papadi Bangladesh. Grameen Bank yang dirintisnya tahun 1976 berhasil mengantarkan Yunus meraih Nobel Perdamaian 30 tahun kemudian.

Jika nasihat "jangan melawan arus" yang berseliweran mengintimidasi kita, M Yunus dari negeri seberang, dan Hosman Hutabalian dari Siborongborong, Sumatera Utara seakan tidak peduli dengan itu. Mereka melawan arus global, saat lembaga keuangan hanya mau mengucurkan kredit kepada nasabah yang bankabel, yakni bonafide, asset, dan casflow lancar.

Yunus mengucurkan kredit pada rakyat miskin, sehingga dia disebut banker of the poor. Ada pun Hutabalian mengelola Koperasi Credit Union Satolop kepada para petani bermodal cekak. Bermodal kepercayaan Koperasi Natolop beroperasi 31 tahun. Kini memutar dana total 15 miliar lebih pada 4.700 anggota dengan beban bunga hanya 3 persen, hanya sepertujuh bunga bank.

Andai industri perbankan mengubah paradigma, membuat program melawan arus, tentu saja para nasabah disenangkan. Andai beban kredit ringan, prosedur serta syarat meminjam dipermudah, tentu nasabah tak perlu ulama turun tangan membasmi rentenir. Sebab sesuai hukum pasar, dia akan bangkrut dengan sendirinya karena tidak laku.

Baru-baru ini satu bank nasional, yakni PT (Persero) Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk melakukan langkah strategis, privatisasi. Bank BUMN ini melakukan secondary offering disusul right issue ke lantai bursa dengan total 3,9 miliar lembar saham dan meraup dana lebih 8,1 triliun.

Selain menutupi utang jangka pendek, dana itu sangat berati bagi usahawan kecil dan menengah di pasar-pasar tradisional dan pedesaan. BNI punya peluang mengisi pasar ini, sebab BRI sudah mulai meninggalkannya dan menggarap segmen konsumer perkotaan. Jika BNI masuk, maka Danamon mempunyai mitra untuk meraup untung melalui fitur Dana Simpan Pinjamnya di pasar-pasar.

Sekali lagi melawan arus. Bank umum mesti berani beda. Mumpu bank-bank asing belum merambah ke desa-desa, iilah saatnya bank BUMN segera bergiat diri. Memang berisiko. Namun jika framenya selalu mendahulukan nasabah corporat dengan plafon kredit triliunan rupiah dan dalam tenor pendek, celakalah usahawan kecil. Padahal semua tahu, UKM lah sektor usaha yang terbukti kebal dihajar krismon.

Dan kalau pelaku usaha UKM membandal, kreditnya macet, rasanya mereka tidak akan punya dana kabur ke lura negeri apalagi bersembunyi di negara lain, beralih kewarganegaraan seperti dilakukan para debitor BLBI yang bandel. Lagi pula, dana untuk seorang debitor kakap bisa disebar ke 1.000 UKM. Andai 10 persen yang gagal (dua kali lipat dari batas normal NPL)

sesuai, masih ada 900 pengusaha yang sukses ganda: sukses menciptakan lowongan kerja, dan sukses pula mengembalikan pinjaman ke bank. Semoga perbankan berani melawan arus, beralih memberi kredit kepada nasabah miskin dan UKM. (*) Sorot Tribun Jabar, 20/09/2007

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 18 September 2007



Foto/Blog-Blontank

PBB: Soeharto Pencuri (3)
* Menguras 15-35 Miliar Kekayaan Negara
* Nomor Urut Satu di Dunia

Tidak Terkait Kekalahan Times
DIREKTUR Transparansi Indonesia dan sekaligus kuasa hukum majalah Time Edisi Asia Todung Mulya Lubis membantah berada di balik laporan PBB dan Bank Dunia yang menyebutkan mantan Presiden Soeharto berada di urutan teratas daftar pemimpin politik dunia yang mencuri kekayaan negara dalam jumlah besar.

Menurut Todung, kalaupun ada kesamaan antara yang ditulis majalah Time beberapa waktu lalu dengan hasil laporan Bank Dunia, itu memang kenyataannya seperti itu. Dunia sudah mengakui adanya hal itu. Dan apa yang ditulis oleh majalah Time bukanlah mengada-ada. Tapi merupakan hasil investigasi.

"Sebenarnya hasil yang launching Bank Dunia ini tidak mengagetkan. Itu sudah lumrah. Sebab sebelumnya beberapa media masa sudah menuliskan dugaan seperti itu. Hanya tidak sistematis dan sifatnya sepotong-sepotong," jelas Todung.

Todung menjelaskan, apa yang dikeluarkan Bank Dunia tersebut tidak ada kaitannya dengan kekalahan majalah Time di tingkat Kasasi dalam kasus gugatan melawan mantan Presiden Soeharto. Time yang dijatuhi vonis membayar denda Rp 1 triliun itu tidak bisa mempengaruhi Bank Dunia.

"Ini tidak ada kaitannya. Yang diloucing itu bukan hanya Indonesia saja. Tapi pemimpin- pemimpin politik dan penguasa di seluruh dunia. Hanya kebetulan saja Pak Harto masuk di dalamnya dan berada diurutan teratas pemimpin politik yang mengambil harta kekayaan negara dalam jumlah besar," ujarnya.

Menurut Todung, laporan Bank Dunia itu dilouncing karena menemukan banyak simpanan uang dan aset yang diduga hasil merampas kekeyaan negara hilang. Tren itu terjadi di banyak negara. Padahal kalau uang dan aset tersebut bisa diambil kembali oleh negara dapat menyejahterakan rakyat miskin di negara-negara tersebut.

"Yang terjadi bukan hanya di Indonesia. Banyak negara didunia yang dikuasai oleh militer terjadi seperti itu. Jadi laporan itu bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk dunia," tandasnya.
Todung menyambut gembira adanya laporan Bank Dunia ini. Ia berharap laporan yang dikeluarkan Bank Dunia ini akan menguatkan data-data temuan majalah Time. Pihaknya akan segera mencari laporan lengkapnya.

"Kami sudah kontak untuk meminta laporan secara lengkap. Mungkin besok kami sudah mendapatkannya. Kami akan mempelajarinya. Tidak menutup kemungkinan data temuan Bank Dunia ini akan kami pakai sebagai bahan pendukung majalah Time untuk melakukan proses hukum berikutnya," jelas Todung. (Persda Network/ugi)

[+/-] Selengkapnya...


Foto/PERSDA NETWORK/ISMANTO

PBB: Soeharto Pencuri (2)
* Menguras 15-35 Miliar Kekayaan Negara
* Nomor Urut Satu di Dunia

Kembalikan kepada Negara
PRESIDEN Bank Dunia Robert B Zoellick mengungkapkan bahwa StAR Inisiative dapat membantu memperkuat kemampuan tim nasional suatu negara untuk mengembalikan harta yang dicuri bekas pemimpinnya.

Untuk itu, ujar Zoellick, diperlukan antara lain dukungan perundang undangan di negara yang bersangkutan, pelatihan dan peningkatan kemampuan bagi pihak pihak terkait di bidang hukum serta kerjasama antar negara dalam mengumpulkan kembali kekayaan yang diparkir di suatu negara tertentu.

Berkaitan dengan itu, Direktur UNODC Antonio Maria Costa mengatakan, pengembalian kekayaan yang diparkir di luar negeri juga akan memerlukan perjanjian ekstradisi antara negara-negara yang bersangkutan.

Selain Soeharto, pemimpin politik dunia lainnya yang diperkirakan mencuri kekayaan negara adalah Ferdinand Marcos dari Filipina (1972-1986) dengan 5 hingga 10 miliar dolar AS; Mobutu Sese Seko dari Zaire (1965-1997) dengan lima miliar dolar AS; Sani Abacha dari Nigeria (1993-1998) dengan 2-5 miliar dolar AS serta Slobodan Milosevic dari Serbia/Yugoslavia (1989-2000) dengan satu miliar dolar AS.

Di bawah mereka, terdapat nama Jean Claude Duvalier dari Haiti (1971-1986) yang diperkirakan mencuri 300 800 juta dolar AS; Alberto Fujimori dari Peru (1990-2000) dengan 600 juta dolar AS, Pavio Lazarenko dari Ukraina (1996-1997) dengan 114 hingga 200 juta dolar AS; Arnoldo Aleman dari Nikaragua (1997-2002) dengan 100 juta dolar AS dan Joseph Estrada dari Filipina (1998-2001) dengan 70 hingga 80 juta dolar AS.

Daftar Perkiraan Dana yang Kemungkinan Dicuri dari sembilan Negara disiapkan oleh Transparency Internasional (TI) dan Bank Dunia.

Namun menurut TI, pemimpin dunia yang tercantum dalam daftar tersebut tidak berarti menjadi sembilan pimpinan dunia terkorup.

TI juga mengungkapkan bahwa sumber sumber yang dijadikan bahan untuk membuat daftar tersebut didapat melalui informasi dari berbagai media massa.

Satu satunya informasi yang didapatkan secara resmi dari sumber suatu negara adalah dari Peru, yaitu berkaitan dengan kemungkinan keterlibatan Alberto Fujimori dalam menghilangkan kekayaan negara tersebut.

Menurut catatan PBB Bank Dunia, Filipina akhirnya memperoleh kembali 624 juta dolar dari uang yang diparkir Ferdinand Marcos di Swiss. Antara Agustus 2001 2004, Peru dapat memperoleh kembali sekitar 180 juta dolar yang dicuri oleh Vladimiro Montesinos dari beberapa tempat, seperti Swiss, Cayman Islands dan Amerika Serikat.

Nigeria antara September 2005 dan awal tahun 2006 berhasil mengumpulkan kembali 505 juta dolar AS dari Sani Abacha, yang kekayaannya dibekukan oleh pihak berwenang Swiss.

Juli 2006, pihak berwenang Inggris mengembalikan 1.9 juta dolar AS yang dicurigai sebagai aset yang dikumpulkan secara ilegal oleh Diepreye Alamieyeseigha, Gubernur Bayelsa, negara bagian di Nigeria yang dikenal kaya akan minyak.

Namun PBB Bank Dunia mengingatkan bahwa pengembalian aset negara yang dicuri akan sangat memakan waktu, memerlukan kredibilitas dan upaya yang berkelanjutan serta keinginan politik yang kuat dari suatu negara. (ant)

[+/-] Selengkapnya...





PBB: Soeharto Pencuri A (1)



* Menguras 15-35 Miliar Kekayaan Negara
* Nomor Urut Satu di Dunia

Daftar 10 Pencuri Kekayaan Negara
No Urut Nama Masa Memimpin Kerugian Negara
1. Soeharto (Indonesia) 1967-1998 15-35 miliar dolar AS
2. Ferdinand Marcos (Filipina) 1972-1986 5-10 miliar dolar AS
3. Mobutu Sese Seko (Zaire) 1965-1997 5 miliar dolar AS
4. Sani Abacha (Nigeria) 1993-1998 2-5 miliar dolar AS
5. Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) 1989-2000 1 miliar dolar AS
6. Jean Claude Duvalier (Haiti) 1971-1986 300-800 juta dolar AS
7. Alberto Fujimori (Peru) 1990-2000 600 juta dolar AS
8. Pavio Lazarenko (Ukraina) 1996 1997 114- 200 juta dolar S
9. Arnoldo Aleman (Nikaragua) 1997-2002 100 juta dolar AS
10.Joseph Estrada (Filipina) 1998-2001 70- 80 juta dolar AS


New York,
Mantan Presiden Soeharto kembali menjadi perhatian dunia. Bekas penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu menyandang predikat sebagai pemimpin politik dunia yang diperkirakan mencuri kekayaan negara dalam jumlah berkisar 15 miliar dolar hingga 35 miliar dolar AS. Tidak tanggung-tanggung, Soeharto menempati urutan pertama dari sembilan daftar mantan kepala negara berpengaruh di dunia.

Daftar ini tercantum dalam buku panduan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Bank Dunia bersamaan dengan peluncuran Prakarsa Penemuan Kembali Kekayaan Yang Dicuri (Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative di Markas Besar PBB, New York, Selasa (18/9) WIB.

Peluncuran prakarsa dihadiri Sekjen PBB Ban Ki-moon, Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick, dan Direktur Kantor PBB untuk Masalah Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan (UNODC) Antonio Maria Costa. Turut hadir para pejabat tinggi sejumlah negara anggota PBB, termasuk Deputi Wakil Tetap RI untuk PBB Adiyatwidi Adiwoso, dan Direktur Perjanjian Internasional Deplu RI Arif Havas Oegroseno.

Daftar tersebut mencantumkan Mohamad Soeharto (1967 1998) pada urutan teratas tabel "Perkiraan Dana yang Kemungkinan Dicuri dari sembilan Negara', dengan kekayaan yang diperkirakan dicuri Soeharto berjumlah 15 miliar dolar hingga 35 miliar dolar AS.
Temuan PBB Bank Dunia itu menyebutkan perkiraan total PDB Indonesia setiap tahunnya pada rezim Soeharto 1970-1998 sebesar 86,6 miliar dolar AS. Indonesia, seperti yang diungkapkan Arif Havas Oegroseno, akan mengajukan permintaan bantuan kepada StAR Initiative untuk berusaha mengembalikan kekayaan negara yang diperkirakan dicuri Soeharto.


Menurut rencana, Havas, bertemu dengan pihak Bank Dunia di Washington DC untuk membahas rencana Indonesia tersebut, Jumat (21/9). Pembahasan di Washington nanti, kata Havas yang ditemui sebelum peluncuran StAR Initiative, akan berkisar kepada penaksiran kemungkinan mengumpulkan kembali kekayaan yang diperkirakan dicuri Soeharto serta langkah langkah apa saja yang akan dilakukan setelah itu.

Dengan demikian, saat ini belum diketahui di mana saja kekayaan yang diperkirakan dicuri Soeharto tersebar dan dapat dikumpulkan kembali.

Muhammad Assegaf, kuasa hukum Soeharto, mengungkapkan kekagetannya atas pengumuman itu badan dunia terhadap kejahatan yang dilakukan mantan presiden Soeharto. "Wah, itu suatu hal yang sangat aneh. Sangat aneh buat saya, kalau satu institusi semacam PBB mengurusi hal- hal harga kekayaan negara semacam ini. Biasanya PBB bisanya konsen dan cepat bereaksi kalau ada menyangkut hak asasi manusia dan penyiksaan," ujar Assegaf ketika dihubungi Persda Network di Jakarta, Selasa (18/9).

"Saya merasa kaget. Tidak bisaanya PBB mengrurusi hal-hal seperti ini. Kecuali masalah- masalah HAM biasanya PBB sangat konsen. Tapi kalau terkait kekayaan negara semacam ini, saya tidak pernah mendengar PBB mengurusinya," kata Assegaf.

EKSEKUSI
M Assegaf justru menaruh curiga, karena ada keterkaitan organisasi antikorupsi internasional, yakni Transparansi Internasional di sana. Di Indonesia, TI dipimpin pengacara Todung Mulya Lubis yang juga kuasa hukum majalah Times saat perkara melawan Soeharto. Pekan lalu, vonis perkara kasasi MA, Times dikalahkan, berbeda dari dua vonis di dua tingkatan pengadilan yang lebih rendah sebelumnya.

"Komentar saya apakah, tidak ada kaitannya ini dengan kekalahan Times di Pengadilan kemarin. Kalau orang menduga ke situ sangat beralasan. Kenapa, karena timingnya bersamaan dengan kekalahan Times, apalagi Todung menjadi pengacara Times dan kebetulan Todung juga koordinator TII di Indoneisia," ucapnya

Apakah Soeharto pernah mengemukakan punya harta yang disimpan di luar negeri, atau dialihkan kepada orang lain? Kami tidak pernah mendengar. Sejak awal kami menolak karena tidak bisa dibuktikan. Tapi dari kasus Times saja, justru karena Times tidak dapat membuktikan ada harta atau simpanan Soharto yang ditaruh di luar negeri, sehingga Pak Harto mengalahkan Times. Saya tidak yakin dengan temuan itu, karena ini harus iduji kebenarannya karena dari dulu terus-menerus dikembangkan, dan lebih aneh karena badan dunia yang mengumumkan," katanya sembari mengatakan agar putusan kasasi MA segera dieksekusi jaksa.

Apakah klien anda berencana mengugat PBB, Bank Dunia dan pihak-pihak yeng menyebut pak Harto mencuri kekayaan negara? "Kami belum bersikap, kami akan meeting dulu, karena baru tahu dari anda. Kami akan tunggu dulu perkembangan, termasuk dari pemberitaan media," ujar Assegaf.

Direktur Transparansi Indonesia, Todung Mulya Lubis membantah berada di balik laporan PBB dan Bank Dunia yang menyebutkan mantan Presiden Soeharto berada di urutan teratas daftar pemimpin politik dunia yang mencuri kekayaan negara. Dia mengatakan pengumuman itu tidak terkait dengan kekalahan majalah Times Edisi Asia atas berita Soeharto Inc pada peradilan kasasi MA.

Todung menjelaskan, apa yang dikeluarkan Bank Dunia tersebut tidak ada kaitannya dengan kekalahan majalah Time di tingkat Kasasi dalam kasus gugatan melawan mantan Presiden Soeharto. Time yang dijatuhi vonis membayar denda Rp 1 triliun itu tidak bisa mempengaruhi Bank Dunia.

"Ini tidak ada kaitannya. Yang dilanching itu bukan hanya Indonesia. Tapi pemimpin-pemimpin politik dan penguasa di seluruh dunia. Hanya kebetulan Pak Harto masuk di dalamnya, dan berada di urutan teratas pemimpin politik yang mengambil harta kekayaan negara dalam jumlah besar," ujarnya.

Dihubungi terpisah Juru Bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng mengatakan belum membaca informasi tentang pengumuman PBB dan Bank Dunia. "Jadi saya belum bisa kasih banyak komentar. Tapi yang jelas bahwa sudah ada menjadi komitmen Presiden untuk memberantas korupsi dan kemudian juga mengejar pelaku-pelaku korupsi," kata Andi.

Menurut dia, andai ada kekayaan negara yang disimpan di luar negeri oleh siapa pun, pemerintah akan terus berjuang mengembalikannnya kepada negara. "Kita tengah berusaha untuk menggalang kerjasama ekstradisi dengan berbagai negara, termasuk Singapura, Cina, Kanada, Malaysia, Australia dan Swiss. Ini sebagai upaya agar kekayaan negara yang disimpan di luar Indonesia dapat kembali. Langkah tersebut dilakukan secara bilateral dan multilateral," ujarnya. (Persda Network/ade/amb/ugi/ant)

[+/-] Selengkapnya...



Berkelit

SELASA pagi, saya menunggang si ramping irit, Supra Fit menuju kantor. Saban hari, Pondok Tirta - Palmerah, pulang pergi kurang lebih 72 kilometer. Pagi menyusuri Jalan Tole Iskandar Depok, Simpangan, Jalan Raya Bogor lurus ke Cililitan, UKI, belok kiri ke Cawang, Gatot Soebroto, memutari gedung DPR/MPR, tembus Pasar Palmerah. Rute malam, Palmerah ke Pancoran, belok kanan babalas terus ke Pasar Minggu, UI, Margonda, Tole Iskandar menuju Simpangan.

Rute malam dan pagi berbeda dengan pertimbangan efisiensi. Dari segi jarak sih, Depok - Pasar Minggu - Pancoran - Palemerah lebih dekat, tapi kalau pagi, macetnya ya ampeuuuuuuun, nggak tahan. Kawasan Lenteng Agung sampai Pancoran nyaris tak bisa bergerak.

Dalam hati kadang kala saya angkat topi buat para kaum beruang eh berduit yang sabar, mempu mengendalikan emosi, berlama-lama terjebak dalam kemacetan di balik kemudi. Jangankan rodak empat, kendaraan roda dua saja sulit melintas, sehebat apapun penungganggnya bermanuver, sulit menerobos sempitnya celah-celah antarmobil atau sepeda motor.


Rute via Cililitan baru saya tempuh dalam tiga bulan ke belakang. Tadinya saya, coba banding- bandingkan, jaraknya memang berbeda, lebih panjang sekitar kurang lebih kilometer. Hitung- hitung kalau sepuluh kali saya dari rute ini, akan lebih boros sekitar satu liter Pertamax. Harganya lumayan, Rp 6.400.

Akhirnya saya harus memilih, pertimbangan tingkat keekonomian atau ketertekanan emosi (stress) menghadapi kemacetan. Mengutip satu saran Stephen R Covey dalam Tujuh Kebiasaan Manusia yang Paling Efektif, saya harus mendahulukan yang harus didahulukan. Membuat prioritas. Pilihan jatuh pada menjaga kestabilan emosi, sehingga sesampainya di kantor, energi boleh terkuras, tapi stamina otak alias konsentrasi masih tersisa.

Pilihan harus saya putuskan, lebih boros pada biaya bahan bakar. Namun ada siasat lainnya, tadinya selalu meminumi si Supra dengan BBM beroktan tinggi, belakangan saya alihkan dengan jenis yang lebih rendah kualitas, premium. Utak-atik kalkulator menunjukkan angka mengirit Rp 39 ribu dalam sebulan.

Hitung-hitungan seperti ini memang pilihan sadar, mau tidak mau, harus saya lakukan mengingat program pengetatan ikat pinggang setidaknya untuk tiga tahun ke depan buat keluarga saya. Juga antisipasi terhada tanda-tanda zaman edan yang semakin edan, ekonomi global kian guncang, dan siapa tahu betul, warning tante Sri Mulyani betul kalau Indonesia akan disegrap krismon jilid dua.

***
TADI pagi, seperti biasa, saya senantiasi bersenandung setidaknya bersiul mendendangkan lagu entah apapun sekadar menghilangkan stress atas kesemrawutan jalanan ibu kota. Pengendara yang satu dengan yang lain saling salib, dahulu-mendahului.

Di Simpang Lima Cililitan, persis di lampu merah dekat terminal Cililitan yang kini disulap menjadi perbelanjaan megah Pusat Grosir Cililitan, saya mengerem di deretan ketiga dari sepeda motor yang duluan dihentikan lampu merah. Sekitar dua menit toleh kanan kiri, lampu hijau menyala. Saya perlahan, tidak seperti kawan-kawan pemilik dua tak dengan gas kontannya, melaju ke utara, arah UKI.

Sekelebat, saya menaruh curiga, ada apakah itu? Pikir saya. Ularkah atau benda apa? Dasar mata sudah minus. Lalu saya picingkan intipan lewat bantuan satu-satunya kaca mata saya yang sudah berusia delapan tahun, di depan ada seekor kadal. Dia berlari nyaris mendahului pada pembalap jalanan, curi start, saat lampu merah baru menyala. Dia berlari sejadi-jadinya, searah dengan makhluh termulia di dunia.

Terbayang olehnya, seekor binatang reptil, berekor panjang dan berlari seperti seekor dinosaurus perusak dalam Durasik Park. Dia menggok kanan dan kiri sambil terus belari ke arah Tanjungpriok. Satu, dua, tiga, empat, hingga belasan sepeda motor melaju dengan raungan kanlpot yang memekik, sang kadal selamat dari gilasan ban motor.

Punya pikiran kah dia menghindari petaka? Ataukah sensor, ataukah spion? Ah tidak. Tapi kok pintar berkelit, menyelamatkan diri dari desi mesin-mesin yang melaju. Yah, dia memang pintar bermanuver, untuk kelasnya, sang kadal melebihi lihainya pengendara motor.

Giliran saya, sedikit saya perlambat dengan harapan agar hak sidup sang kadal terjamin. Kalaupun ternyata takdir dia berkata lain, setidaknya bukan ban Supra saya yang melindas. Sampai saya lewat, dia masih selamat, menepi ke arah kiri jalan. Entahlah nasib dia di belakang saya. Memang sulit rasanya sang kadal selamat dari pijakan ban mobil yang sangat banyak mengantre di belakang.

***
SAYA segera tersadar dari lamunan atau bayangan akan nasib sang kadal. Senandung siul pun berhenti. Saat tersendat oleh kemacetan yang disebabkan ulah sopir angkor yang berhenti sesukanya di badan jalan, serta marka jalan pembatas jalur TransJakarta (Busway), saya segera menyimak suara ngebas penyiar radio Elshinta pada telinga kiri. Satu earphone memang tak pernah lepas dari radio pada MP3, sekalipun dalam perjalanan.

Sang penyiar menginformasikan, mantan Ketua Umum Koperasi Dagang Indonesia Nurdin Halid telah diringkus aparat Kejagung di Menteng. Ah, gombal pikir saya. Sebab tadi malam, Acok, reporter Persda Network berhasil wawancara by phone panjang lebar dengan Nurdin, terkait status napi yang dikenakan MA atas perkara kasasi dari vonis bebas murni kendati dituntut 20 tahun tuntutan. Nurdin terpidana atas dugaan korupsi Rp 169,7 dana distribusi minyak goreng Bulog.

Pemreintah kembali tebar pesona, pikir saya sekali lagi. MA sengaja meluncurkan kasus ini, karena dimaki dalam vonis Time yang dimenangkan dinasti Cendana, yang dimpimpin Raja Soeharto. Kejaksaan pun tebar pesona sebab sehari sebelumnya, Nurdin yang masih menjabat Ketua Umum PSSI dan baru sepekan diangkat menjadi Anggota DPR, pengganti antarwaktau Andi Matalatta (politisi Partai Golar) yang jadi Menteri, juga dapat ditelepon Acok.

Sambil berlalu, saya tersungging. Bak kadal yang lihai berkelit, kayaknya Nurdin pun seperti pendekar silat yang cekatan menangkis 'pukulan' aparat hukum. Dia terus dan terus mencari celah. Seperti sang kadal yang entah terlindas kemudian, Nurdin pun mampu mengelabui penyidik kejaksaan, setidaknya sampai dia membuat adrenalin Hendarman Supandji memuncak. Entahlah SBY dan JK?

[+/-] Selengkapnya...