Kamis, 30 Oktober 2008


Kepala Sekolahku Pemulung: Mahmud, Kepala Sekolah MTs Safinatul Husna di bilangan Pangadengan, Barat. Siang mengajar, sore memulung.



Ratusan Dokter Mengamen untuk Danai Bedah Otak Pasien Tidak Mampu (2)
Honor 'Aktor Film' Habis Biayai Pengobatan Istri

WAJAH Mahmud (48) putih bersih. Cerah. Dandangannya rapi, tidak lusuh. Tawanya juga renyah. Riang. Di antara empat laki-laki teman kerjanya yang sibuk membersihkan botol-botol plastik bekas wadah air mineral di antara tumpukan sampah, dia paling keren. Sekilas pandang sosok laki-laki setengah baya ini lebih pas juragan atau pedagang pengumpul dari para pemulung, tetapi kenyataan dia adalah pemulung sebetulnya. Mahmud terkesan pintar menyembunyikan duka lara kendatipun hidup sesungguhnya nelangsa.

Mahmud mengenakan kaus oblong atribut kampanye Pemilu 2004 dengan foto wajah Susilo Bambang Yudhoyono. Bawahannya sarung warna merah tua. Di tengah perbincangan dia pamit menunaikan salat Magrib, bersalin kemeja koko hijau tua dan peci hitam. Dia masuk ke rumah kotak berbahan bambu dan kayu lapis, di dekat tumpukan sampah, 'ladangnya' memulung.

Mahmud seorang guru. Ya, pengajar bahkan dengan predikat Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Safinatul Husna di bilangan Pangadengan, Kalideres, Jakarta Barat. Pagi sampai siang Mahmud bekerja di sekolah, mengajar berbagai mata pelajaran mulai agama, matematika, bilogi, fisika dan sebagainya.

Yayasan yang mengelola sekolah ini terbilang lumayan besar dan membawahi sekolah MTs setingkat SMP, dan madarasah ibtidaiyah (MI) setingkat SD. Untuk Madrasah Tsanawiyah MTs saja memiliki ratusan siswa dengan 17 guru, dan seorang staf.

Kendati memimpin sekolah yang terbilang besar, dan sudah menjadi guru sejak tahun 1979, kehidupan keluarga tiga anak ini jauh dari layak. "Orang kadang-kadang tidak percaya, gaji saya kurang dari sejuta. Rata-rata hanya 500 ribu sampai Rp 700 ribu sebulan," ujar Mahmud. Penuturan Mahmud dibenarkan Jumiati, istrinya, bekas penderita kanker otak.

Dengan penghasilan sekecil itu, Mahmud mencari penghasilan tambahan. Dia memulung sampah-sampah yang masih bernilai ekonomi seperti lembaran plastik, botol plastik minuman mineral, kertas, kaleng dan lain sebagainya dari tempat pembuangan sampah sementara.

Jika pagi-siang, pukul 06.30 hingga puku 14.00 dia bekerja mendidik siswa-siswi dan mengorganisasi guru-guru beserta stafnya, sore hingga malam dia memulung. "Penghasilan sebagai pemulung saat ini kecil, paling-paling 300 ribu. Sebab sudah banyak pemulung. Kalau dulu, waktu pemulung sedikit, penghasilan suami saya bisa sejuta sebulan," kata Jumiati.

Realitas hidup yang dialami Mahmud memang terbilang tragis. Saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumbar bonus kepada guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan gaji yang dapat dibawa ke rumah minimal Rp 5 juta per bulan, berbanding terbalik dengan guru-guru swasta.

Mahmud menuturkan pekerjaan sambilan sebagai pemulung memang tanpa rintangan berarti, baik sesama guru, orang tua siswa maupun anak didiknya tidak sampai mengucilkan Mahmud. Namun profesi ganda, guru plus pemulung sempat menjadi bahan perguncingan. Mahmud dianggap merendahkan profesi guru, apalagi jabatannya cukup keren-beken, yakni kepala sekolah.

Apa tanggapan balik Mahmud atas cibiran itu? "Saya tak bermaksud merendahkan martabat dan harga diri profesi guru," kat dia. Justru dengan sambil memulung, Mahmud coba memberi pelajaran kepada kawan seprofesinya dan pihak-pihak lain, kalau gaji guru di Jakarta saja, ini Jakarta lho, belum cukup untuk kehidupan keluarga.

"Mestinya rekan-rekan guru yang lain bangga pada saya, siapa tahu ke depan guru swasta pun diperhatikan seperti PNS. Sebab guru swasta juga banyak, dan tugas mereka sama seperti guru negeri, mencerdaskan anak-anak," ujar Mahmud yang sudah menekuni pekerjaan mengumpulkan barang-barang bernilai ekonomi dari sampah buangan keluarga sekitar huniannya.

Derita keluarga Mahmud mengundang banyak keprihatinan, termasuk dari wartwan dan insan perfilman. Saat pembahsan RUU Guru dan Dosen marak rua tahun lalu, TVRI membuat tayangan dengan memosisikan Mahmud sebagai 'aktor' utama. TVRI mengeskploitasi rangkap jabatan guru dan pemulung. Setelah film itu tayang, Mahmud mendapat hadiah berupa tabungan Rp 20 juta.

Tahun lalu, dia juga menjadi 'aktor' film dokumenter berjudul 'Kepala Sekolahku Pemulung'. Film dokumenter terbaik yang menyabet penghargaan film favorit dalam kompetisi film dokumenter Eagle Award, Metro TV. Mahmud beserta istri pun tampil pada acara Kick Andi. "Semua tabungan saya dari film itu habis, ludes...des untuk pengobatan alternatif istri," kata Mahmud dengan nada pelan, lirih.

Seorang anaknya bahkan harus putus kuliah, drop-out, setelah dua semester berturut-turut tidak mampu membayar uang kuliah, karena semua penghasilan mereka tersedot untuk pengobatna sang ibu.

Jika dari TVRI didapatkan Mahmud honor Rp 20 juta, dari Metro TV diperoleh jalan mendapatkan operasi berbiaya ratusan juta dengan cuma-cuma. Saat derita dia diekspos Andy F Noya, sang presenter, hal itu mengilhami pihak RS Siloam Karawaci dan Yayasan Otak Indonesia memberi layanan bedah otak tanpa dipungut biaya. Beruntunglah keluarga ini, istri atau ibu yang mereka kasihi sudah bebas dari sergapan kanker otak mematikan. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

Tidak ada komentar: