Kamis, 30 Oktober 2008


BEDAH OTAK GRATIS: NY Jumiati (48, atas), penderita kanker otak yang menjalani operasi gratis di RS Siloam Karawaci. Kiri, Mahmud (48), suaminya menunjukkan bekas bedahan pada tengkorak kepalanya.



Ratusan Dokter Mengamen untuk Danai Bedah Otak Pasien Tidak Mampu (1)
Siap Mati karena tak Kuat Menahan Sakit Kanker Otak

SORE itu, Ny Jumiati (43) berjalan perlahan mendekati Mahmud (48), sumianya yang sedang sibuk membersihkan botol-botol plastik minuman mineral hasil pungut atau pulungannya. Matanya mengawasi pekerjaan Mahmud, suaminya, berserta tiga kawannya sesama pemulung.

Suaranya begitu pelan. Pandangan mata tidak begitu fokus, dan mata kanan sekilas terlihat juling. Sesekali ia bertopang dagu. Tangan kanannya memegangi kepala bagian depan sebelah kanan sambil memijat-mijat.

"Kadang-kadang masih pusing," kata Jumiati, dalam perbincangan dengan Persda Network akhir pekan lalu di kediamannya di tepi tali irigasi Apuran di Jalan Bambu Larangan RT 03/05, Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat.

Jumiati adalah bekas penderita kanker otak. Dia menjalani operasi bedah otak di Rumah Sakit Siloam, Lippo Karawaci, 3 Desember 2007. Setelah tengkorak kepala dibedah, daging kanker sebesar kira-kira bola pingpong, tepatnya berukuran 60,5 X 59,5 X 40,6 milimeter, diangkat dari otak. Operasi mengangkat daging tumbuh yang nyaris mendorong bola matanya keluar itu, gratis. Biaya operasi didanai RS Siloam bekerja sama dengan Yayasan Otak Indonesia.

Operasi pengangkatan kanker dari otak Jumiati dilakukan tim dokter RS Siloam yang dipimpin dr Eka Julianto Wahjoepramono, dokter bedah otak ternama di dunia asal Indonesia. Selama seminggu menjalani operasi dan pemulihan, keluarga pasien lemah secara ekonomi ini tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk pengobatan.

"Saya sudah pasrah, lillahi ta'ala (hanya karena Allah yang suci, Red). Saya sudah siap mati saat akan operasi mengangkat kanker dari otak saya, karena saya sudah tidak kuat lagi menahan sakitnya. Kalau memang gagal dan mati ya tidak apa-apalah, wong uang juga nggak punya untuk biaya operasi. Lagian, wong orang sehat saja bisa mati kok, apalagi saya yang sakit kanker otak," kata Jumiati yang bersyukur semakin sembuh pascaoperasi.

Mahmud, suami Jumiati adalah Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Safinatul Husna di bilangan Pangadengan, Kalideres, Jakarta Barat. Mahmud merangkap mengajar berbagai mata pelajaran mulai agama, matematika, bilogi, fisika dan sebagainya. Karena tuntutan biaya untuk pendidikan anak-anak, dan belakngan demi keperluan dana pengobatan istri, Mahmud mencari kerjaan sampingan yang jauh berbeda dari profesinya, yakni memulung sampah.

Delapan tahun sudah keluarga Mahmud mendiami rumah mereka di atas tanah milik Departemen Pekerjaan Umum DKI Jakarta di tepi Kali Apuran. Bangunan berdiri di atas bekas kolam ikan, berlantai bambu, berdinding kayu lapis. Rumah mereka beserta tiga bangunan lainnya terletak persis di antara tumpukan sampah dengan jalan.

Tumpukan sampah limbah rumah tangga di tempat penampungan sementara membukit, melebihi tinggi atap rumah Mahmud. "Rumah ini berdiri di atas tanah milik pemerintah. Kalau digusur, terpaksa kami akan pindah dan akan mencari tempat lain," kata Mahmud.

Di dalam gubuk derita itulah, selama bertahun-tahun, Jumiati bergelut dengan kanker otak yang menggerogotinya. Ibu tiga anak ini berjuang melawan sakit yang tak terperi. Mahmud menuturkan gejala sakit yang dirasakan Jumiati mulai muncul tahun 2003. Semula pusing, sakit seperti migrain menyerang kepala sebelah kanan.

Lama kelamaan sakit kian menyiksa bahkan gejalanya sampai membuat kejang. "Pada tahun 2004 sampai awal 2006, kejang masih sesekali. Belakangan bisa menjadi dua kali sehari. Kalau kejang, tangan dan kaki sakit luar biasa, daging-dagingnya serasa ditarik-tarik kencang banget," kata Jumiati.

Puncaknya, kejang berkepanjangan terjadi 3 Oktober 2006 dan memaksa keluarga membawanya ke RS Mintoharjo, Jakarta. "Di sanalah saya dikasih tahu dokter, kalu istri saya kena kanker otak dan harus segera dioperasi. Kalau tidak maka bola mata akan terdorong keluar oleh daging kanker. Saat itu dokter minta biaya Rp 50 juta, tapi kami tidak punya uang, dan kami putuskan pulang untuk berobat alternatif," kata Mahmud.

Setahun lebih menjalani obat-obatan alternatif, kanker otak tak kunjung hilang. Malah nyawa Jumiati semakin terancam. Risiko kebutaan dan kelumpuhan bahkan kematian pun kian besar. Sampai pada suatu kesempatan, Mahmud dan Jumian dihadirkan pada acara Kick Andi, acara televisi Metro TV yang mengangkat tragedi sosial profesi Mahmud, kepala sekolah merangkap pemulung. Film "Kepala Sekolahku Pemulung" dengan aktor utama Mahmud berhasil meraih dua penghargaan pada festival film dokumenter yang diselenggarakan Metro TV tahun 2007.

Rupanya dokter Eka, dan pengurus Yayasan Otak Indonesia menyaksikan acara itu. Dan nurani menggerakkan hati mereka untuk berbuat sesuatu, menolong kaum papa. "Kami putuskan segera mengoperasi Jumiati dengan tanpa dipungut biaya," ujar dr Eka Julianta Wahjoepramono, ketua tim dokter yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang, Banten. (Persda Network/Domuara Damians Ambarita)


Tidak ada komentar: