Minggu, 20 Juli 2008

Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (3)
Kisah Nyata Diadopsi Menjadi Roh Lagu

PELAN tapi pasti, Godman Ambarita akhirnya mahir memainkan gitar. Kini keinginannya meningkat dari sekadar memainkan gitar dan melantunkan lagu karya orang lain menuju keinginan mengarang lagu.

Bermula tahun 1963. Saat itu, seakan ada gejolak yang menggemuruh di hatinya untuk mencipta sebuah lagu. "Saya berpikir harus tampil beda dengan warna musik Batak. Lalu saya mencoba mengadopsi musik Rock and Roll yang sedang trendi saat itu. Tema lagunya saya sesuaikan pula dengan kondisi remaja, yakni dengan adanya kecenderungan sok jadi preman dengan pola konsumerisme gonta-ganti pakaian, walaupun pinjam-meminjam," kenang Godman.

Itulah inspirasi mengangkat tingkah polah kaum remaja anak-anak orang berada yang asyik hilir-mudik mengendarai sepeda motor Honda atau Vespa yang merupakan barang mewah. Lalu memakai pakaian jenis trelinin, teteron berbahan dari polyester yang tidak perlu disetrika dan mengenakan celana wol yang hanya dimiliki oleh anak-anak orang kaya. Perilaku remaja tersebut dirangkum dan tuangkan dalam lagu "Anggar Pareman" (Sok Jadi Preman), lagu jenaka dan merupakan ciptaan pertamanya.

"Dalam mencipta lagu, saya berusaha menggali dari kehidupan nyata, tapi dengan nuansa baru dan tempo musik yang khas. Contohnya, kisah Ibu tiri yang kejam dengan judul "Uju Mangolu" (Ketika masih Hidup) . Lagu ini diangkat dari kisah sedih seorang anak yang selalu menangis tiap malam bersenandung karena kerinduan pada ibunda tercinta yang sudah meninggal. Sedangkan sang ayah menikah lagi sehingga anak-anaknya tercerai-berai, homebroken.

Kisah nyata dari seorang sahabat, Tahir Manik, yang tinggal bersama Godman waktu sekolah di Pematang Siantar. "Selama berbulan-bulan Tahir selalu menangis tersedu-sedu terutama malam hari membuat hati saya serasa disayat-sayat. Pelan-pelan saya petik gitar mengikuti lengkingan kepiluan yang menimpa dirinya. Walau sedih, tidak dalam bentuk "andung" (rintihan). Pada waktu saya menyanyikan Uju Mangolu, Tahir menangis tersedu-sedu."

Kisah nyata masih mengilhami karya selanjutnya. Medio tahun 1964, ia diajak teman satu sekolah, Balson Sinaga ke kampungnya di Saribu Jawa, Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumut. Letaknya di pedalaman dan harus jalan kaki sejauh kurang lebih 10 km. Belum ada kendaraan bermotor ke daerah pertanian yang sangat subur itu.

Pada malam hari Godman diajak martandang (apel perempaun) tentu saja dengan petikan gitar sembari bernyanyi menyusuri tegalan sawah di tengah kegelapan. Tiba di sebuah rumah tempat martandang, Ia berkenalan dengan seorang pemuda desa.

Mereka cepat akrab oleh kesamaan hobi, bernyanyi. Mereka menggoda bunga desa dengan unjuk kebolehan melantunkan beberapa lagu diiringi jemari yang menari liar memetik senar gitar. Bernyanyi sembari melirik gadis-gadis desa. Usai bernyanyi bersama, sang pemuda desaitu bercerita tentang kisah asmara yang kandast karena pacarnya pergi menikah dengan pemuda lain.

"Ceritanya sederhana tapi raut wajahnya sangat sedih. Hati saya terharu mendengar ceritanya dan terlintas di benak saya atas senandung kesedihan yang menimpanya. Saya berjanji dalam hati akan menuangkan dalam sebuah lagu sebagai kenangan untuknya. Dalam tempo satu minggu saya menciptakan lagu Bunga Na Bontar (Bunga Warna Putih)," tutur Godman.

Ia mengaku sengaja memperkenalkan kembang berwarna putih tanda ikhlas melepas sang kekasih dan sikap si pemuda yang tidak mau datang ke pesta pacarnya, menjadi salah satu bait pemanis lagu itu.

"Sangat saya sadari bahwa masa itu perkawinan Batak belum mengenal pemberian kembang kepada pengantin, apalagi di pedesaan. Tapi agar menarik perhatian pendengar, saya coba merekayasa dalam untaian kata-kata, seperti yang tertuang dalam lagu Bunga Na Bontar".

Bunga Na Bontar, sering dinyanyikan berduet dengan John Liat Samosir (JLS) saat martandang atau di lapo tuak di luar group Rospita Berteman. Kemudian bersama John Liat Samosir dan Jules Ambarita (saudara kandungnya), mereka pertama sekali tampil bernyanyi di RRI Sibolga (live) tahun 1965. Mereka bertiga menyanyikan beberapa lagu antara lain Uju Mangolu, Bunga na Bontar, O Ale Rospita.

Dan selama berada di kota Sibolga, mereka sempat berkeliling dari mulai Sibolga Julu, Simare-mare, bernyanyi di gereja Sambas dan melancong ke Sarudik yang terkenal dengan tempat rekreasi. Sewaktu berada di kota Sibolga, keindahan teluk Sibolga dan keramahan penduduknya mendorong Godman menciptakan lagu Tapian Nauli.

Sepulangnya dari Sibolga, Godman dan dua temannya menumpang sebuah truk pengangkat batu untuk menghemat ongkos. Kemudian truk yang ditumpangi berhenti di rumah makan di Adian Hoting, lokasi persinggahan yang terkenal dengan sajian rumah makan yang enak masakannya. Usai melahap makan, sebagaimana biasa kami melantunkan sebuah lagu. Lalu pemilik rumah makan bertanya, "Apakah kalian yang bernyanyi di RRI Sibolga beberapa hari yang lalu?"

"Serentak kami menjawab "Ya". Serta-merta beliau meminta lagu "Ina Panoroni" atau "Uju Mangolu", yang kami nyanyikan di RRI Sibolga. Menurut pengakuannya nasibnya persis sama seperti lagu itu. Saat kami bernyanyi matanya berkaca-kaca. Tatkala mau membayar makanan, beliau mengatakan, "Tidak perlu bayar, hati saya sangat puas mendengar lagu itu. Saya teringat kejamnya ibu tiri", katanya sambil mengusap air mata yang meleleh di pipinya. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (4-Habis)
Tidak Pede Menyaingi Nahum Situmorang

SETELAH menciptakan lagu Anggar Pareman, Godman Ambarita lalu berpikir untuk memopulerkannya. Agar dapat didengar khalayak ramai, maka dia merasakan perlu mengganden media massa. Untuk tampil ke RRI Medan sangat jauh dari harapan. Ia masih merasa sebagai pemuda desa dan belum punya nama, tidak mungkin saya bisa bernyanyi menyaingi Nahum Situmorang dan Ismail Hutajulu. "Awak ini apalah," ujar Godman berseloroh menirukan gaya bicara orang Medan.

Walau rada kecul nyali, ia tetap mempunyai keinginan memopulerkan lagu karangannya. Godman pun atur siasat dan tampil sebagi pelopor, mengajak teman-teman untuk berkumpul dan belajar bernyanyi. Kebetulan pada tahun 1963, keadaan ekonomi di Parapat sungguh berat karena sepinya wisatawan yang berkunjung.

Untunglah didukung wisatawan lokal yang datang dari perkebunan yang tersebar di seluruh Provinsi Sumatera Utara. Sehingga untuk menambah penghasilan rata-rata anak-anak remaja Parapat terpaksa terjun mencari duit di lokasi rekreasi, menjual jasa mulai dari menyewakan tikar, sampan dan pelampung, tukang parkir hingga menjadi calo kapal penumpang yang akan membawa wisatawan berlibur ke Pulau Samosir. Para calo kapal tersebut disebut agen.

Selanjutnya bersama teman-temannya yang bekerja satu profesi sebagai agen yakni Jangkit Sirait, Neger Laut Sinaga, Pariel Silalahi, Jules Ambarita, Willy Hutapea, setiap hari Minggu sore setelah wisatawan pulang berkumpul di lapo tuak Sihombing yang terletak di Siburak-burak Tigaraja, Parapat.

"Sambil ber-lisoi minum tuak kami bersama-sama mempelajari lagu Anggar Pareman. Dan di lapo itu pulalah kami selalu berlatih setiap ada lagu baru yang saya ciptakan," urai Godman.

Setelah lulus SMA dari Narumonda Porsea, tahun 1966, ia berangkat merantau ke Jakarta. Dasarnya, ia berpikir kalu tetap di kampung tidak akan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Berhubung kehidupan penyanyi selalu dicemooh waktu di kampung maka begitu di Jakarta dia bertekad untuk tidak menyentuh gitar dan tidak mau bernyanyi.

Kebetulan lingkungan kota Jakarta tidak dapat memungkinkan bernyanyi di sembarangan tempat seperti layaknya di kampung halaman. Dia mengaku jujur, sangat suka mendengarkan nyanyia entah dari tape recoder atau orang bernyanyi, tapi untuk memetik gitar apalagi menyanyi berhenti sama sekali. Ditambah lagi kehidupan di Jakarta memaksa harus bekerja keras.

"Waktu berjalan terus, sekitar tahun 1970-an saya terkejut, lagu Bunga Na Bontar sangat popular di kalangan orang Batak. Artis-artis Batak di Jakarta menyanyikan dalam bentuk andung (merintih/cengeng). Sebenarnya hati saya protes karena nadanya tidak sesuai dengan roh lagu itu pada waktu saya mendapatkan inspirasi di sebuah desa kecil di Saribu Jawa. Sebab walau suasana," katanya.

Berhubung dinyanyikan sesuai perasaan penyanyi, maka terjadi degradasi baik dalam bentuk nada maupun syair. Adanya perubahan itu sah-sah saja. Berhubung kala itu masih dalam tahap hidup berjuang mencari sesuap nasi dan sekolah, maka tentu. Godman tidak bisa berbuat apa-apa. Namun dia tetap punya mimpi untuk sekali waktu meluruskan dan menyanyikan Bunga Na Bontar dalam bentuk asli, termasuk Uju MAngolu dan Anggar Pareman.

"Akhirnya pada tahun 2006 saya bertemu dengan Helmud Ambarita, Bando Simbolon dan Bona Sinaga. Kami mempunyai kesamaan nasib. Saya harus meninggalkan kecintaan saya bernyanyi di lapo tuak untuk mengubah nasib ke Jakarta, sementara mereka bertiga meninggalkan Lombok karena turis tidak ada lagi yang datang ke pulau itu," kata Godman.

Mereka tadinya mengadu nasib bernyanyi di hotel-hotel berbintang di Lombok. Dan masa lalu itulah cikal bakal nama grup bang Exalom (Ex Anak Lombok). Godman menawarkan untuk merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk asli, dan mereka setuju, dan terbentuklah Exalom Band. Dengan alasan yang sanagat pribadi, Bona Sinaga hanya ikut dalam album pertama, kemudian digantikan oleh Ucok Power Sinaga. Dan untuk album kedua Dohar Simbolon turut bergabung.

Exalom berupaya tampil beda dari band lainnya yang telah lebih dulu eksis di belantara musik tradisional. Perpaduan antara musik modern dengan sentuhan khas musik Batak yang dinamis dan kaya dengan aksenuitas yang khas, aransemen musik yang diolah dan dikelola manajemen Exalom secara profesional memberi warna baru dalam khasanah musik Batak.

Untuk mendukung performance Exalom, manajemen telah mempersiapkan tim yang bekerja di belakang panggung. Godman Ambarita bertindak sebagai Produser Eksekutif, pentolan Trio Amsisi Iran Ambarita sebagai arranger merangkap Music Director. Exalom berada di bawah bendera PT Gita Karya MandiriI, perusahaan yang memanajemeni secara profesional kegiatan bermusik Exalom.

Cita-citanya menambah semarak musik daerah Tapanuli belum tuntas. Namun bagimana pun, sejarah telah mecatatkan karya ciptanya. Selamat jalan Godman! (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 13 Juni 2008

Presenter Terbaik?

"PRESENTASI Anda luar biasa. Seperti menghipnotis audiens. Kalau pada presentasi yang lain, masih banyak yang ngobrol sendiri-sendiri, tetapi saat Anda presentasi, semua terdiam, seperti dihipnotis. Mengapa bisa begitu. Mohon sharing di sini apak trik yang anda lakukan, apakah Anda sudah sering presentasi seperti ini sehingga bisa begitu meyakinkan di hadapan audiens?" ujar seorang perempuan, pasa sesi tanya jawab.

"Luar biasa. Kami seperti dihipnotis memang. Sayangnya Anda selalu memasukkan tangan kiri ke dalam saku, sepertinya berlagak bos," ujar audiens lainnya yang duduk di kursi paling depan.

"Materi dan penampilan presenter memang excellent, tapi kurang bisa mengatur waktu," kata Mas Joni, panitia sekaligus juri sembari mengacungkan jempol.

"Luar biasa, sayang, Anda tidak bisa mengatur waktu. Materi belum selesai, tapi waktu sudah habis. Sayang," ujar Masri Sareb Putra, sang mentor yang didatangkan dari Universitas Multimedia Nusantara Jakarta.

Demikianlah dalam Workshop Presentation Skill yang digelar Direktorat Diklat KOMPAS Gramedia berkumpul di Lantai 8 Gedung Gramedia Majalah di Jalan Panjang, Kebun Jeruk, Selasa (11-12 Juni 2008).

Saya mewakili kawan-kawan, yakni Budi Hermawan (dari Percetakan Gramedia), Isnu Hardoyo (SDM Majalah), Michael (Direktorat Pengawasan), Pudjo (Direktorat Pengawasan), Desi (Direktorat Pengawasan), Adi (Direktorat Pengawasan). Kami ditetapkan sebagai pemenang atas presentasi dengan materi SOBM&WCS (selanjutnya dirahasiakan... karena ide lolos tahap selanjutnya hahaha....). Kelompok 10 meraih nilai tertinggi, 81,3.

Hari itu kurang-lebih 200 orang karyawan KOMPAS Gramedia berkumpul di Lantai 8 Gedung Gramedia Majalah di Jalan Panjang, Kebun Jeruk, Selasa (11-12 Juni 2008). Mereka berasal dari berbagai divisi, dari berbagai daerah, dari aneka jabatan yang berbeda, pegawai rendahan seperti saya hingga petinggi di bidangnya.

Dua hari itu Direktorat Pendidikan dan Latihan KOMPAS Gramedia, yakni Workshop Presentation Skill. Pesertanya adalah karyawan/karyawati KG yang mengirimkan ide-ide untuk disertakan dalam Lomba Ide Inovasi yang digelar Panitia Win The Heart 2008 KG.

Peserta perseorangan dan tim. Ada sejumlah 329 ide yang masuk ke tangan panitia. Satu orang boleh mengirimkan beberapa gagasan, dan sebaliknya, satu gagasan dapat 'dikeroyok' beberapa orang.

Nah, orang-orang yang mengirimkan ide itu, diundang untuk mengikuti workshop yang intinya bagaimana presentasi yang baik sehingga berhasil meyakinkan audiens. Selain secara terori, ratusan otang itu dikelompokkan pada 18 kelompok.

Kemudian masing-masing orang dalam kelompok mengajukan idenya, selanjutnya kelompok mengajukan satu judul untuk dikerjakan bersama-sama dan dipresentasikan di hadapan kelompok yang lain.

Masing-masing kelompok mengisi kertas skor untuk setiap kelompok lainnya. Kelompok yang bersangkutan tidak menilai kelompoknya sendiri.

Sepeti kontes Mama Mia, Penialain juga diberikan panitia. Sedangkan dalam tanya jawab, audiens diberi kesempatan 5-6 orang untuk menilai penampilan presenter, hanya sedikit menilai materi/conten yang dibawakan. Penilaian juga diberikan mentor Presenter dalam hal ini mas Masri Sareb (Dosen UMN), dan mas Joni (Diklat KG).

Entahlah apa sebabnya saya mereka nilai bisa mempresentasi, padahal saya sendiri menilai bukan yang terbaik saat itu. Masih banyak yang lebih memukau, lebih bergurau dan membuat suasana hidup, riang. Sedangkan saya cenderung serius, dan 'vakum'.

Tapi biarlah, kelompok lain dan panitia yang menilai, ya syukurlah. Bangga pada kelompok, bangga (beda dengan sombong) pada diri sendiri, ternyata saya bisa. Ini kedua kali tampil di depan udiens dalam sebulan ini. Sebelumnya 3 Juni 2008 membawakan materi peta Pers Daerah di hadapan para petinggi Kantor Wilayah BNI seluruh Indonesia.

BERBICARA DAPAT DILATIH
SAYA sependapat dengan Masri Sareb Putra, Dosen Public Speaking Universitas Multimedia Nusantara, bahwa kecakapan berbicara dan berorasi di depan umum dapat dilatih. Bung Karno, orator ulung Indonesia yang belum ada tandingannya, misalnya, beliau sering berlatih di depan cermin.

Seingat saya, saya sosok bukan tipe orang yang Pd-PD amat. Kalau pun berani tampil setelah melalui banyak pertimbangan dana proses yang panjang.

Saya jadi teringat dengan Pak Guru Siregar, walikelas VI SDN Panombean Balata, tempat saya menuntut ilmu di SD. Saat itu, kira-kira tahun 1985 atau 1986, pernah marah besar pada saya. Kira-kira begini pak Guru katakan. "Pakai Bahasa Batak saja, nggak usah Bahasa Indonesia."

Dia menegur sya karena menjawab dengan bahasa Indonesia saat berbincang di luar pelajaran. Ketika itu, Ito (kakak perempuan saya) yang satu kelas dengan anaknya di SMP Negeri 1 Balata, rupanya mengalami kecelakaan ringan. Peristiwa itu diceritakan anaknya ke Pak Guru, kemudian pak Guru menginformasikan kepada saya, dengan maksud selanjutnya memberitahukan kepada ortu saya.

Jarak rumah kami di Lumban Ambarita Sihaporas tidak begitu jauh ke Balata, kira-kira 21 km. Tetapi saat itu, sarana transportasi belum selancar sekarang, dan kendaraan bermotor yang dimiliki warga kampung pun masih lebih sedikit dari jumlah jari-jari sebelah tangan.

Padahal, saya menggunakan Bahasa Indonesia bukan karena sombong. Bukan pula karena mengucapkan kata-kata lingua franca. Segan, hormat dan sopan lah yang saya dahulukan kepada setiap guru.

Dua tahun kemudian. Saya melanjut ke SMP Negeri 1 Tiga Balata, setelah pindah dari SMP Negeri 2 Tiga Balata. Saban pagi, dari kos menuju sekolah, saya selalu berpapasan dengan ibu Guru Sijabat. Dia mengajar matematika ketika kelas III-IV. Setiap berpapasan, dari ara h berbeda tentunya, saya selalu menutupu wajah dengan buku atau tas sambil berlari kecil.

Ya, saya memang semasa kecil sangat pemalu. Betul, malu. Menatap wajah orang lain pun malu, sehingga harus menutupi wajah. Hingga kuliah, saya masih relatif pendiam. Namun dalam perjalanan diperantauan, pergaulan dan sosialisasi di kampus dan organisasi PMKRI Banjarmasin, mengantarkan saya pada kesimpulan perlu keberanian.

Sejak itulah setiap seminar, saya hadiri dan berusaha menjadi penanya pertama, lalu setiap ada pelatihan public speaking atau pelatihan kepemimpinan, senantiasa saya ikuti. Dan sistem belajar pun, yang setiap dosen menondisikan mahasiswa sering-ering berdiskusi, berdialog bahkan berdebat kusir.

Selama kuliah pula, saya sempat mengikuti banyak organisasi, termasuk hingga Ketua Umum DPD PMKRI St Agustinus Banjarmasin (1995-1997), Komisaris Daerah Wilayah VIII/Kalimantan PP PMKRI (1997-1998), kemudian Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kalsel tahun 1999.

Organisasi PMKRI inilah yang banyak mendidik saya, termasuk bagaimana menyampaikan pendapat, menyampaikan usul atau gagasan yang efektif, tidak prematur. Melatih teknik-teknik menginterupsi (di antranya point of information, point of clearence, dll) serta menyela pendapat orang lain tanpa menyinggung perasaan yang bersangkutan, mengkritik yang lain dengan didahului pujian dan sebagainya.

Betul, saya memang pemalu. Tapi tidak lalu rasa malu itu mengubur hidup saya, saya mesti berjuang sekeras tenaga memupuk kepercayaan diri. Saya memang orang desa dan miskin harta, tapi tidak lalu latar belakang demikian membuat mental saya runtuh di antara orang-orang berkecukupan secara finansial.

Saya juga manusia, mereka juga manusia. Toh kita sama-sama ciptaan Tuhan yang Satu dan Sama. Kita sama-sama makan nasi, sama-sama tidur di kolong langit dan beralas bumi, karena itu, pd sya tidak boleh remuk hanya karena perbedaan sosial. Domu Damians Ambarita, tiga suku kata, yang nama lengkap saya sengaja saya pakai akhir-akhir ini, karena menuruti saran pakar metafisik dari Yogyakarta, mas Arkan, saya cocok dengan suku tiga kata. maka semoga nasib pun bertambah baik... (domuara damians ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 09 Juni 2008

Minyak Tanah Bersubsidi Dihapus 2010

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/06/09/13220613/minyak.tanah.bersubsidi.dihapus.2010

JAKARTA, SENIN- Penerapan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia selama ini betul-betul keliru. Orang kaya yang memiliki mobil mewah pun menikmati subsidi harga yang ditanggung pemerintah, sedangkan orang miskin tidak kebagian.

Di tengah kondisi keuangan negara yang tipis, maka subsidi tidak dapat diteruskan dan subsidi harus dikurangi bertahap, dan tahun 2010 akan dihapuskan total ketika konversi ke elpiji dianggap tuntas.

"Subsidi minyak selama ini tidak adil. Subsidi pada harga membuat orang kaya menikmati subsidi, seharusnya orang miskin. Sebanyak 40 persen masyarakat teratas menikmati 70 persen subsidi harga, sedangkan masyarakat bawah justru menerima sedikit subsidi," ujar Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro.

Purnomo menrangkan, dana subsidi BBM mencapai Rp 120
triliun per tahun, dan subsidi listrik 70 triliun per tahun. "Kalau subsidi harga dialihkan menjadi subsidi langsung kepada rakyat, maka dana untuk subsidi dapat digunakan langsung untuk dana pendidikan, BLT, kesehatan dan lain-lain. Memang ini tidak gampang, karena kental politik. Kalau unsur politik maka tentu mempertimbangkan aspek sosial," kata dia.

Dalam jangka pendek, upaya penurunan subsidi dilakukan
dengan penyesuaian harga BBM, yakni menaikkan harga
rata-rata 28,7 persen pada 24 Mei silam. Kemudian program konversi minyak tanah menjadi liquid petroleum gas (elpiji).

Di sektor pembangkit listrik, PLN akan terlah mengurangi penggunaan mesin berbahan bakar solar, diganti minyak bakar atau marine fuel oil (MFO) yang harganya jauh lebih murha dibandingkan solar. Sebagai perbandingan, kalau harga solar nonsubsidi Juni 2008 sebesar Rp 11.520/liter, maka harga minyak bakan baru Rp 6.701/liter. Di sisi konsumen, PLN menerapkan tarif non-subsidi bagi pelanggan katagori di atas 6.600 Volt Amphere.

"Adapun upaya jangka panjang, penyesuaian harga BBM
secara bertahan sampao pada harga keenonomiannya. Direncanakan, tahun 2010 minyak tanah bersubsidi tidak
beredar lagi, dan konversi elpiji sudah tuntas," kata Purnomo.

Dia mengungkapkan, realisasi konversi minyak tanah ke
elpiji pada tahun 2007 mencapai 163.182 kiloliter dengan 33.426 matric ton gas pada 3,83 juta keluarga dan 141 ribu usaha kecil. Sampai Mei 2008 realisasi konversi adalah 420.420 kiloliter minyak tanah dengan 93.299 matric ton gas.

Pasokan minyak tanah pun terus dikurangi. Tahun 2007 masih 9,85 juta kiloliter, tahun ini menjadi 7,83 juta kiloliter, dan tahun 2009, volume minyak tanah yang masih ada di seluruh Indonesia tinggal 3,08 juta kiloliter.

"Tahun 2010 diharapkan minyak tanah yang terkonversi diperkirakan mencapai 9,75 juta liter, dan volume minyak tanah yang disalurkan tidak ada lagi dengan asumsi pembagian paket perdana konversi minyak tanah ke elpiji selesai tahun 2009," tandas Purnomo. (Persda Network/domu damians ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Gas Metana Batu Bara Energi Masa Depan

JAKARTA, SENIN - Cadangan minyak dan gas bumi semakin menipis. Saat bersamaan, harga bahan bakar minyak terus melonjak. Mengatasi kesulitan itu, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral akan mengembangkan energi baru, yakni coal bed methane atau gas metana batu bara.


Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro,
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
"Era minyak sudah surut, sekarang kita ganti dengan batu bara dan gas. Batu bara dan gas menjadi energi primadona dan paling murah yang berlimpah di negara kita. Saat ini kita mulai eksplorasi gas alam, coal bed methane," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro.

CBM, kata Purnomo, sumbernya melimpah di Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Selatan. "Cadangan CBM secara nasional mencapai 453 triliun standar kaki kubik atau trillion
standard cubic feet (TSCF)," ujarnya.

Berdasarkan data Bank Dunia, konsentrasi potensi terbesar terletak di Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan Timur, antara lain tersebar di Kabupaten Berau dengan kandungan sekitar 8,4 TSCF, Pasir/Asem (3 TSCF), Tarakan (17,5 TSCF), dan Kutai (80,4 TSCF). Kabupaten Barito, Kalimantan Tengah (101,6 TSCF). Sementara itu di Sumatera Tengah (52,5 TSCF), Sumatera Selatan (183 TSCF), dan Bengkulu 3,6 TSCF, sisanya terletak di Jatibarang, Jawa Barat (0,8 TSCF) dan Sulawesi (2 TSCF).

Di tempat serupa, Sekretaris Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen ESDM Teguh Pamuji menerangkan, kontrak untuk eksplorasi CBM telah ditandatangi antara PT Emdco Energy dengan PT Ephindo untuk lahan di Blok Sekayu di Kabupaten Musi Banyu Asin (Muba), Sumatera Selatan. "Diharapkan tiga tahun ke depan, atau tahun 2011, CBM sudah dapat dipasarkan," ujar Teguh.

Sebelumnya, PT Petro Muba, Sekayu, Musi banyuasin (Muba), dan PT Epjhindo sepakat bekerja sama mengeksplorasi CBM. Kemudian PT Elnusa Drilling Service, anak perusahaan PT Elnusa, memenangi tender pengerjaan tiga sumur uji coal bed methane (CBM) di lapangan Rambutan SSE Blok Sumatera Selatan. Elnusa
dinyatakan menang dalam pelelangan yang diadakan PPPTMGB Lemigas. PT Perusahaan Gas Negara (PGN) akan
mengembangkan Coal Bed Methane (CBM) untuk menggantikan gas bumi.

Bentuk CBM sama halnya dengan gas alam lainnya. Dapat dimanfaatkan rumah tangga, industri kecil, hingga industri besar. CBM biasanya didapati pada tambang batu bara non-tradisional, yang posisinya di bawah tanah, di antara rekahan-rekahan batu bara. Agar lebih mengunutngkan, CBM lazimnya dieksplorasi setelah batu baranya habis ditambang.

Sejauh ini, biaya eksplorasi CBM masih lebih tinggi dibandingkan mengekplorasi minyak bumi. Namun, kata teguh, pada satu waktu nanti, biaya akan lebih murah sehingga CBM menjadi energi alternatif baru yang dapat dimanfaatkan masyarakat.

Saat ini, ada 20 perusahaan antre mendapatkan izin eksplorasi CBM, di antaranya perusahaan swasta pemilik kuasa pertambangan batu bara. Pengembangan teknologi untuk mengekstrak sumber energi ini pertama kali dilakukan di Amerika Serikat, yakni Alabama dan Colorado Selatan pada akhir tahun 1980. Di Amerika, gas alam jenis CBM mencapai 7 persen dari total produksi. Negara lain yang sudah mengembangkan CBM antara lain Afrika Selatan, Australia, dan Kanada. (Persda Network/domu damians ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Apakah CBM Itu?

BATUBARA merupakan salah satu sumber energi tak terbarukan yang banyak terdapat di dunia, termasuk Indonesia. Batubara memiliki lapisan-lapisan berisi gas alam dengan kandungan utamanya metana atau methane (CH4) yang disebut CBM. CBM tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah terbakar.

CBM terbentuk bersama air, nitrogen dan karbondioksida ketika material tumbuhan tertimbun dan berubah menjadi batubara karena panas dan proses kimia selama waktu geologi yang sering disebut dengan coalification.

Jumlah kandungan CBM dalam lapisan batubara sangat tergantung pada kedalaman dan kualitas batubaranya. Semakin dalam lapisan batubara terbenam dari permukaan tanah, sebagai hasil dari tekanan formasi batuan di atasnya, semakin tinggi nilai energi dari batubara tersebut, dan semakin banyak pula kandungan CBM. Secara umum, lapisan batubara bisa menyimpan gas metana sebesar 6 - 7 kali lebih banyak daripada jenis batuan lain dari reservoir gas.

Gas CBM yang dilepaskan ke udara, dari penambangan batubara, merupakan gas penyerap radiasi infra merah yang kuat dan merupakan gas penyebab efek rumah kaca (Green House Gas). Gas CBM ini ikut berperan dalam menambah kekuatan radiasi infra merah, yang saat ini telah bertambah sekitar 15 persen pada atmosfer bumi.

Dengan berat yang sama, gas metana, sebagai komponen utama CBM, yaitu sekitar 95 persen, merupakan molekul yang memberikan radiasi 70 kali lebih besar dibandingkan karbondioksida, tetapi efek yang ditimbulkannya relatif lebih pendek yaitu sekitar 8-12 tahun di atmosfir (sekitar 5 persen dari efek radiasi dari karbondioksida). Dengan kata lain, pengurangan emisi gas metana akan mempunyai manfaat dalam jangka waktu yang lebih pendek.

Cadangan CBM, berdasarkan Data Bank Dunia, diperkirakan mencapai 453 TSCF dengan konsentrasi potensi terbesar terletak pada dua pulau yaitu Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimanan antara lain di Kalimantan Timur (Berau 8,4 TSCF , Pasir/Asem 3 TSCF, Tarakan 17,5 TSCF, dan Kutai 80,4 TSCF), Kalimantan Tengah Kabupaten Barito 101,6 TSCF, dan Sumatera Tengah 52,5 TSCF, Sumatera Selatan 183 TSCF; dan Bengkulu 3,6 TSCF, sisanya terletak di Jatibarang (Jawa Barat) 0,8 TSCF dan Sulawesi 2 TSCF.

Besarnya perkiraan cadangan CBM telah mendorong beberapa pihak terkait untuk mengembangkannya sebagai bahan bakar alternatif, melalui pemboran sumur pertama, yang dilakukan pada tahun 2005, pada kedalaman 600 meter di Lapangan Rambutan, Pendopo, Sumatera Selatan.

Pengeboran itu merupakan kelanjutan kerjasama Balitbang ESDM yang diwakili oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas (Lemigas) dengan Medco Eksplorasi dan Produksi Indonesia (MEPI). Berikutnya, tahun 2006 dilakukan pemboran 3 sumur dan pada tahun 2007 direncanakan pemboran sebanyak 5 sumur untuk mengetahui cadangan pasti CBM di Lapangan Rambutan.

Keseriusan pemerintah dalam pengembangan CBM ini terlihat dari usahanya mendorong PGN untuk bekerjasama dengan Sojitz Corporation dalam pengembangan CBM di areal pertambangan batubara Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dengan kerjasama komersialisasi antara PGN dengan Sojitz, diharapkan PGN dapat memenuhi kebutuhan gas domestik dengan CBM di Sumatera Selatan yang dialirkan melalui pipa South Sumatra-West Java (SSWJ).

Pada saat ini Indonesia belum pernah memproduksi CBM, sehingga belum bisa dipastikan berapa biaya produksinya. Sementara itu, CBM telah banyak dikembangkan, umumnya digunakan untuk menggerakan turbin pembangkit listrik. Beberapa negara telah memanfaatkan CBM seperti Amerika, Rusia, China dan Australia.

Pengembangan teknologi untuk mengekstrak sumber energi ini, pertama kali dilakukan di Alabama dan Colorado Selatan pada akhir tahun 1980. Berdasarkan pengalaman yang telah mereka peroleh, banyak hal yang bisa kita pelajari dan persiapkan baik secara teknik, biaya hingga dampak yang ditimbulkan, terutama terhadap lingkungan, jika sumber energi ini akan dikembangkan lebih jauh lagi di Indonesia. (persda network/domuara damians ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 05 Juni 2008

Cara Sederhana Menyemangati Anak



BARU-baru ini, kawan saya di kantor, minta pulang agak lebih cepata dari biasanya. Alasannya, dua hari lagi, anaknya akan mengikuti ujian nasional (UN) SD.

Inang, Porti Napitu, seorang ibu yang luar biasa kuat. Empat belas (14) kali melahirkan, 36 cucu dan satu cicit, kini di usia senja (85 tahun) masih tetap saja produktif. Misalnya memanen kopi 'Ateng' (kanan), menjinjing kopi yang baru dipanen (kiri). I love you mum...

"Saya sudah dipesani anak, agar menemani dia belajar. Katanya supaya tidak takut dan tidak ngantuk. Saya pikir, betul juga, sudah lama kami berjauhan, saya bekerja di luar kota, sedangkan keluarga tinggal di Jakarta. Setidaknya saat menjelang UN, saya mendampingi
untuk memberi semangat," ucap
kawan tadi.

Ya, saat itu murid-murid SD sedang memasuki masa-masa ujian nasional. Ujian tiga hari untuk menentukan perjuangan selama enam tahun. Kalau si murid dengan usaha keras, belajar tekut, konsentrasi penuh dan dapat menjawab soal-soal ujian
dengan sempurna sehingga nilai bagus melampaui ambang batas UN, maka dia akan lulus. tamat dari SD, yang sudah
dilakoninya rutin selama enam tahun.

Andai sial, entah karena keliru menjawab, atau karena otak tak mampu, atau karena tertekan menghadpi bebratnya beban ekonomi dalam keluarga sehingga sepulang sekolah harus mengamen, negloper koran, atau melakukan pekerjaan berat yang seharusnya tidak dilakukan orang seusianya, tidak ada ampun baginya. Gagal, tidak lulus. Maka mengulanglah setahun lagi.

Saat seperti itu, ingatanku memutar ke 25 tahun silam, ketika masih duduk di bangku SD. Bagaimana perjuanganku sekolah setiap pagi. Huta (Toba = kampung) berada di tenggara Danau Toba. Namanya Lumban Ambarita Sihaporas, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, Sumut. Kemudian berubah jadi bagian dari kecamatan Sidamanik, dan setelah era reformasi, masuk Desa Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik.

Kampung daerah pegunungan dengan sistem pertanian huma, ladang, bukan sawah. Jagung, singkong, dan padi darat ketika itu menjadi seumber penghidupan warga. Penghasilan utam hasil hutan, seperti bekerja di panglong atau perusahaan penebangan hutan, mengambil getah pinus atau berburu.

Saat itu, jumlah rumah atau kepala keluarga tidak lebih dari 50 rumah. Lama kelamana, desa berkembang dan makin padat berkat adanya primadona pertanian komoditas ekspor semacam cabai, jahe dan kopi. Kemudaian tomat, dan sayur-mayur untuk pasaran lokal.

Sihaporas berada di dataran tinggi, gugus pegunungan Bukit Barisan. Dinginnya luar biasa ampun. Kala tidur, selimut dan sarung membungkus tubuh bak pocong. Tidak ada kasur, tidak ada tailam, apalagi springbed. Yang ada adalah amak, rere atau tikar dari bayon, semacam tanaman bakau. Ada juga tikar dari pandan, alias raso.

Tikar langsung berlapis dengan papan. Kala kemarau, dinginnya malam menusuk tulang-tulang, karena angin berembus dari bawah kolong rumah panggung, dari celah-celah atau jarak antarpapan. Tubuh meringkik, menggigil.

Domu kecil, dengan susah payah, saban pagi berangkat ke sekolah. Saking dinginnya, kadang kala tidak sempat mandi. Jujur saja, bahkan lebih sering tidak mandi. Di atas 75 persen, murid- murid terutama baoa (laki-laki) dapat dipastikan tidak mandi sebelum berangkat ke sekolah. Selain karena dingin yang kelewat amat, ketiadaan air sumur apalagi PAM pun jadi alasan tersendiri. Susah mendapatkan air, kecuali sore harinya mangutti, manjujung atau menjinjing seember air dari binanga (sungai).

Murid-murid lazimnya, cukup segayung air untuk cuci muka, sekaligus mengelus rambur hingga setengah basah, sekana mandi. Sebagian orang bahkan mengelabui diri dan orang lain dengan mengoleskan minyak makan --yang sering membeku saking dinginnya- ke rambut atau ke kaki. Kalau minyak makan/goreng lagi kritis, bahkan ada yang menggunakan jelantah. Untuk ini saya jujur, rasanya taidak pernah.

Alasan lain, tidak sempat mandi. Ke sungai perlu waktu sekitar 10 menit. Padahal murid-murid harus berpacu dengan waktu. Kebetulan, pada pagi hari, matahari agak terlambat terbit di Sihaporas. Pukul 06.30 masih gelap, seperti pukul 05.00 di Jakarta, sebaliknya kalau sore, matahari seakan malas menuju peraduan. Pukul 17.00 masih terlihat seperti sore.

Jarak dari Lumban Ambarita Sihaporas ke sekolah cukup membuat anak-anak sekarang geleng kepala. Sekolahan terletak di perkebunan Teh Bahbutong yakni di Kampung Pondok, tempat perkampungan orang-orang Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) pekerja kebun the. Jaraknya enam kilometer. Jadi saban hari, saya dan puluhan anak Sihaporas menempuh jalan kaki 12 kilometer pulang pergi.

Ke sekolah, jangan harap naik angkot atau mobil jemputan. Jalan kaki. Demi mengerjar waktu, serapan pun sering tidak teratur. Kalau tidak sempat memask, nasi tadi malam tinggal disirami air panas, lalu dengan terburu-buru menyantap dengan lauk-pauk seadanya, seperti gulamo na tinutung (ikan asin bakar), atau sekadar membubuhi garam.

Jalan dapat dilalui mobil. Tapi namanya jalan desa, kala hujan berlumpur, kala kemarau berdebu. Menghindari sepatu kotor, sampai pertengahan menuju sekolah baru ditemukan jalan yang lumayan baik di perkampungan B-8, atau kebun teh, murid- murid menjinjing sepatu. Kaki ayamlah.

Selama perjalanan, tidak pernah melengak-lenggok bak peragawati di kanvas. Murid-murid terus berlari-dan berlari, secara berkelompok. Maka karena tidak cukup waktu, takran makan pun dijaga dengan cermat, sebab kalau kekenyangan, maka si orang itu akan tertinggal.Orang kenyang biasanya sakit perut kalau langsung berjalan jauh, apalagi berlari.

Sesampai di sekolah, guru-guru seperti Ibu Guru Boru Gultom (wali kelas I-III), Ibu Boru Sijabat (wali kelas IV), Bapak Siregar (walikelas V) dan Pak Sinaga (Kelas VI, merangkap Kepala Sekolah) dengan telaten, dan sabar mendidik murid-murid. Guru-guru juga menempuh perjalanan jauh, sebagian bermukim di Balata, sektiar 21 kilometer ke sekolah.

Kalau murid terlambat, guru menjewer kuping . Lebih sakit lagi kalau rambut antara telinga dan kulit pipi yang ditarik ke atas. Sesekali guru memukul pakai belebas/penggaris kayu, lidi, atau bahkan kalau lagi kalap menghadapi murid bandal, kayu pasak penghalang daun pintu yang dipukulkan, menimpa kepala..... Amang oi amang, hansitnai.....

Untuk kelas I, jam sekolah berankhir sekitar jam 10. Tetapi untuk kelas lainnya, jam sekolah rata-rata berakhir sebelum pukul 12.00. Selama sekolah, belum tentu dapat uang jajan. Kalaupun ada, seadanya untuk embeli opag, atau kerupuk. Tidak cukup untuk sepiring lontong.

lalu saat pulang murid-murid sering sekali kelaparan. karena terik dan lapar, dalam perjalanan tentu tidak berlari, melainkan banyak berlindung di pohon the atau pepohonan di pinggir jalan. Sedangkau kalau musim hujan, berbasah-basah. Maka tiba di ladang, jarang sekali langsung ke rumah, sekitar pukul 14.00 atau lebih. Dapat dibayangkan bagaimana laparnya..

Tiba di ladang hidangan yang ditemui singkong atau ubi rambat rebus, jarang makan nasi, kecuali malam dan pagi. Lauk-pauknya adalah, terong, tomat, daun singkong, ranti/leutu, sejenis rumput merambat berasa pahit. Cukup segitu. Setelah itu membantu ito atau abang berladang, mangombak.

***
Walau jalan berliku dan jauh, anak-anak dari Lumban Ambarita Sihaporas jarang drop-out. Rata- rata melanjut sampai ke seklah yang lebih tinggi, bahkan sampai kuliah. Saya termasuk sedikit orang sepantaran saya yang dapat menyelesaikan kuliah, dan merantau.

Bukan karena keluarga berada, melainkan semata-mata mengandalkan pertolongan Mula Jadi Nabolon, yang adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hingga SMP kelas III, amang, Jahia Ambarita, mantan Kepala Desa dan Pejuang Veteran RI, masih hidup. Uang pensiunan sebagai tunjangan veteran didapatkan Amang, setelah dia pergi ke liang lahat. Sekarang, inanglah yang menikmatinya.

Beliau bersama Inang, Porti Boru Saragi Napitu, selalu memberi dorongan kepada kami untuk maju terus. Bukan dengan paksaan, tidak harus disertai lidi, melainkan dengan cara-cara yang terselubung menyemangati kami.

Mereka misalnya, selalu menyuguhkan indahan hunik atau nasi kuning berikut telur ayam kampung rebus disertai bunga-bunga (bunga mekar warna merah). Menu itu dihidangkan dengan nuansa ritual, lalu menyuruh setiap anaknya untuk berdoa menurut keyakinan tradisional barak. Sebagian orang menyebut Parmalim. Walau keluarga kami termasuk penganut Katolik taat, tetap tidak melupakan ajaran leluhur dan adat istiadat.

Suguhan seperti itu lazim diberikan Amang-Dainang menjelang ujian, entah ujian naik kelas maupun Ebtanas. Dorongan tersembunyi yang diberikan Amang adalah, dia akan selalu menyuruh Domu kecil, atau abang saya Baren, kakak saya Donna atau Adik bungsu kami Jonny untuk mencari gadong martusuk ri atau ubi/singkong yang ditembus tusukan ilalang.

Singkong itu dibakar, dibenang di bawah purunan, tanah panas di bawah arang-tungku. Setelah ubi dikeringkan oleh panah arang, singkong dibenam. Jadi membakarnya tidak di atas api membara atau arang panas. Setelah masak, Amang mengambil singkong lalu marmilmil atau membaca mantera dan menyebut "supaya kalian pintar".

Mantera itu, bagi anda barangkali tidak betul, atau jangan-jangan jadi berhala, sehingga tabu. Namun Domu kecil sangat yakin, hal itu memang membuat pintar. Saat ini, dengan nalar yang ditambahkan kepada saya, setidaknya saya dapat mengambil makna di balik itu adalah:

  • Amang memberi sugesti kepada anak-anaknya, bahwa makan singkong pun, manusia dapat bertahan hidup, bahkan menjadi pandai. Ini sepadan seperti firman Tuhan, bahwa hidup tidak hanya dari ragi/roti.

  • Amang tahu, makanan pokok lain yang lebih llezat dan jumlahnya tersedia selain singkong, tidak ada lagi. Yang ada beras, jumlah terbatas, dan mahal untuk ukuran desa, Maka beras hanya dikonsumsi malam dan pagi, atau pada acara-acara tiual dan pesata besar saat panen raya.

  • Amang coba menanamkan nilai-nilai moral, memanfaatkan sumber-sumber terbatas pun, anak-anaknya harus terus mempunyai motivasi, tujuan dan obsesi yakni menjadi orang pintar. Kalau pintar kan, konotasinya berhasil.

Seingat saya, Inang dan Amang tidak pernah memukuli kami dengan kasar, seperti sering diperlihatkan orang tua lain kepada naknya, yang sampai kejar-kejaran di halaman luas untuk melakukan suaatu hal saja, misalnya unutk mandi atau agar anaknya turut ke ladang, atau agar anaknya bersekolah. Tidak. Amang dan Inang bukan tipe itu.

Rumah kami adalah rumah adat.Rumah bolon. Ruma gorga. Rumah balai eprtemuan Marga Amabrita dari perantauan maupun ada acara-acara besar. Rumah ukuran besar, yang dpat menampung kurang lebih 150 orang.

Sekali waktu, saat ada gondang, atau pesat adat dengan alatmusik giondang, acara ini rutin sebagai acara tahunan atau dwitahunan, saya memohon izin kepada Inang agar tidak usah kesekolah.

Inang tidak mecubit saya. Juga tidak memukul. Membentak pun tidak. Malah dengan nada sangat lunak, seakan merasa berterima kasih dan meminta saya libur atau tak usah sekolah sekalin. "Olo, nauli mai. Baenma, unang pola sikkola. Alai lao maho du balian, parmahan horbo. Unang sampe male, unang sampe mardando"

Padahal nadanya mengejek, dan bahkan memberi beban yang sebenarnya lebih berat daripada pergi ke sekolah. Saya disuruh menggebla kerbau, dengan catatan, ternak tidak boleh lapar dan lepas sehingga merusak tanaman orang lain. Diberi pilihan semacam itu, saya berpikir, keputusan saya lebih baik sekolah. Saya minta diberi relaksasi atau refreshing dari rutinitas sekolah, kok malah diperintah menggembala. Wah repot ini...

Itulah cara-cara kecil, contoh sederhana, tapi menurut saya sangat arif dan bijak, dengan kearifan lokal, Amang dan Inang membina kami anak-anaknya. Kami keluarga besar. 14 orang anak lahir dari rahim seroang ibu, satu ayah.

"Berkat melimpa bari Janda," firman Tuhan. Setelah ayah meninggal, kami anak-anaknya malah menyelesaikan sekolah sampai sarjana. Domu, Abang Baren dan Ito Donna bisa jadi sarjana. Ada pun Jonni, karena bandal, tidak merampungkan kuliahnya, kendati sempat memasuki tahun keempat.

Saya bangga,orang desa, bahkan suku anak dalam yang terasing, saat ini dapat hidup di kota besar, setelah berpindah-pindah dan mennyinggahi banyak kota seperti Lampung, Semarang, Banjarmasin, Balikpapan, Palangkaraya, Pontianak, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan saata ini di Jakarta. Saya bangga pada diri saya dan latar belakang saya, keluarga saya, asal susul saya, walaupun saat ini masih berstatus kuli-kuli, dan rasanya akan tetap jadi kuli. Mauliate Oppung Debata, Terima Kasih Tuhan (Domuara Damians Ambarita)




[+/-] Selengkapnya...