Jumat, 13 Juni 2008

Presenter Terbaik?

"PRESENTASI Anda luar biasa. Seperti menghipnotis audiens. Kalau pada presentasi yang lain, masih banyak yang ngobrol sendiri-sendiri, tetapi saat Anda presentasi, semua terdiam, seperti dihipnotis. Mengapa bisa begitu. Mohon sharing di sini apak trik yang anda lakukan, apakah Anda sudah sering presentasi seperti ini sehingga bisa begitu meyakinkan di hadapan audiens?" ujar seorang perempuan, pasa sesi tanya jawab.

"Luar biasa. Kami seperti dihipnotis memang. Sayangnya Anda selalu memasukkan tangan kiri ke dalam saku, sepertinya berlagak bos," ujar audiens lainnya yang duduk di kursi paling depan.

"Materi dan penampilan presenter memang excellent, tapi kurang bisa mengatur waktu," kata Mas Joni, panitia sekaligus juri sembari mengacungkan jempol.

"Luar biasa, sayang, Anda tidak bisa mengatur waktu. Materi belum selesai, tapi waktu sudah habis. Sayang," ujar Masri Sareb Putra, sang mentor yang didatangkan dari Universitas Multimedia Nusantara Jakarta.

Demikianlah dalam Workshop Presentation Skill yang digelar Direktorat Diklat KOMPAS Gramedia berkumpul di Lantai 8 Gedung Gramedia Majalah di Jalan Panjang, Kebun Jeruk, Selasa (11-12 Juni 2008).

Saya mewakili kawan-kawan, yakni Budi Hermawan (dari Percetakan Gramedia), Isnu Hardoyo (SDM Majalah), Michael (Direktorat Pengawasan), Pudjo (Direktorat Pengawasan), Desi (Direktorat Pengawasan), Adi (Direktorat Pengawasan). Kami ditetapkan sebagai pemenang atas presentasi dengan materi SOBM&WCS (selanjutnya dirahasiakan... karena ide lolos tahap selanjutnya hahaha....). Kelompok 10 meraih nilai tertinggi, 81,3.

Hari itu kurang-lebih 200 orang karyawan KOMPAS Gramedia berkumpul di Lantai 8 Gedung Gramedia Majalah di Jalan Panjang, Kebun Jeruk, Selasa (11-12 Juni 2008). Mereka berasal dari berbagai divisi, dari berbagai daerah, dari aneka jabatan yang berbeda, pegawai rendahan seperti saya hingga petinggi di bidangnya.

Dua hari itu Direktorat Pendidikan dan Latihan KOMPAS Gramedia, yakni Workshop Presentation Skill. Pesertanya adalah karyawan/karyawati KG yang mengirimkan ide-ide untuk disertakan dalam Lomba Ide Inovasi yang digelar Panitia Win The Heart 2008 KG.

Peserta perseorangan dan tim. Ada sejumlah 329 ide yang masuk ke tangan panitia. Satu orang boleh mengirimkan beberapa gagasan, dan sebaliknya, satu gagasan dapat 'dikeroyok' beberapa orang.

Nah, orang-orang yang mengirimkan ide itu, diundang untuk mengikuti workshop yang intinya bagaimana presentasi yang baik sehingga berhasil meyakinkan audiens. Selain secara terori, ratusan otang itu dikelompokkan pada 18 kelompok.

Kemudian masing-masing orang dalam kelompok mengajukan idenya, selanjutnya kelompok mengajukan satu judul untuk dikerjakan bersama-sama dan dipresentasikan di hadapan kelompok yang lain.

Masing-masing kelompok mengisi kertas skor untuk setiap kelompok lainnya. Kelompok yang bersangkutan tidak menilai kelompoknya sendiri.

Sepeti kontes Mama Mia, Penialain juga diberikan panitia. Sedangkan dalam tanya jawab, audiens diberi kesempatan 5-6 orang untuk menilai penampilan presenter, hanya sedikit menilai materi/conten yang dibawakan. Penilaian juga diberikan mentor Presenter dalam hal ini mas Masri Sareb (Dosen UMN), dan mas Joni (Diklat KG).

Entahlah apa sebabnya saya mereka nilai bisa mempresentasi, padahal saya sendiri menilai bukan yang terbaik saat itu. Masih banyak yang lebih memukau, lebih bergurau dan membuat suasana hidup, riang. Sedangkan saya cenderung serius, dan 'vakum'.

Tapi biarlah, kelompok lain dan panitia yang menilai, ya syukurlah. Bangga pada kelompok, bangga (beda dengan sombong) pada diri sendiri, ternyata saya bisa. Ini kedua kali tampil di depan udiens dalam sebulan ini. Sebelumnya 3 Juni 2008 membawakan materi peta Pers Daerah di hadapan para petinggi Kantor Wilayah BNI seluruh Indonesia.

BERBICARA DAPAT DILATIH
SAYA sependapat dengan Masri Sareb Putra, Dosen Public Speaking Universitas Multimedia Nusantara, bahwa kecakapan berbicara dan berorasi di depan umum dapat dilatih. Bung Karno, orator ulung Indonesia yang belum ada tandingannya, misalnya, beliau sering berlatih di depan cermin.

Seingat saya, saya sosok bukan tipe orang yang Pd-PD amat. Kalau pun berani tampil setelah melalui banyak pertimbangan dana proses yang panjang.

Saya jadi teringat dengan Pak Guru Siregar, walikelas VI SDN Panombean Balata, tempat saya menuntut ilmu di SD. Saat itu, kira-kira tahun 1985 atau 1986, pernah marah besar pada saya. Kira-kira begini pak Guru katakan. "Pakai Bahasa Batak saja, nggak usah Bahasa Indonesia."

Dia menegur sya karena menjawab dengan bahasa Indonesia saat berbincang di luar pelajaran. Ketika itu, Ito (kakak perempuan saya) yang satu kelas dengan anaknya di SMP Negeri 1 Balata, rupanya mengalami kecelakaan ringan. Peristiwa itu diceritakan anaknya ke Pak Guru, kemudian pak Guru menginformasikan kepada saya, dengan maksud selanjutnya memberitahukan kepada ortu saya.

Jarak rumah kami di Lumban Ambarita Sihaporas tidak begitu jauh ke Balata, kira-kira 21 km. Tetapi saat itu, sarana transportasi belum selancar sekarang, dan kendaraan bermotor yang dimiliki warga kampung pun masih lebih sedikit dari jumlah jari-jari sebelah tangan.

Padahal, saya menggunakan Bahasa Indonesia bukan karena sombong. Bukan pula karena mengucapkan kata-kata lingua franca. Segan, hormat dan sopan lah yang saya dahulukan kepada setiap guru.

Dua tahun kemudian. Saya melanjut ke SMP Negeri 1 Tiga Balata, setelah pindah dari SMP Negeri 2 Tiga Balata. Saban pagi, dari kos menuju sekolah, saya selalu berpapasan dengan ibu Guru Sijabat. Dia mengajar matematika ketika kelas III-IV. Setiap berpapasan, dari ara h berbeda tentunya, saya selalu menutupu wajah dengan buku atau tas sambil berlari kecil.

Ya, saya memang semasa kecil sangat pemalu. Betul, malu. Menatap wajah orang lain pun malu, sehingga harus menutupi wajah. Hingga kuliah, saya masih relatif pendiam. Namun dalam perjalanan diperantauan, pergaulan dan sosialisasi di kampus dan organisasi PMKRI Banjarmasin, mengantarkan saya pada kesimpulan perlu keberanian.

Sejak itulah setiap seminar, saya hadiri dan berusaha menjadi penanya pertama, lalu setiap ada pelatihan public speaking atau pelatihan kepemimpinan, senantiasa saya ikuti. Dan sistem belajar pun, yang setiap dosen menondisikan mahasiswa sering-ering berdiskusi, berdialog bahkan berdebat kusir.

Selama kuliah pula, saya sempat mengikuti banyak organisasi, termasuk hingga Ketua Umum DPD PMKRI St Agustinus Banjarmasin (1995-1997), Komisaris Daerah Wilayah VIII/Kalimantan PP PMKRI (1997-1998), kemudian Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kalsel tahun 1999.

Organisasi PMKRI inilah yang banyak mendidik saya, termasuk bagaimana menyampaikan pendapat, menyampaikan usul atau gagasan yang efektif, tidak prematur. Melatih teknik-teknik menginterupsi (di antranya point of information, point of clearence, dll) serta menyela pendapat orang lain tanpa menyinggung perasaan yang bersangkutan, mengkritik yang lain dengan didahului pujian dan sebagainya.

Betul, saya memang pemalu. Tapi tidak lalu rasa malu itu mengubur hidup saya, saya mesti berjuang sekeras tenaga memupuk kepercayaan diri. Saya memang orang desa dan miskin harta, tapi tidak lalu latar belakang demikian membuat mental saya runtuh di antara orang-orang berkecukupan secara finansial.

Saya juga manusia, mereka juga manusia. Toh kita sama-sama ciptaan Tuhan yang Satu dan Sama. Kita sama-sama makan nasi, sama-sama tidur di kolong langit dan beralas bumi, karena itu, pd sya tidak boleh remuk hanya karena perbedaan sosial. Domu Damians Ambarita, tiga suku kata, yang nama lengkap saya sengaja saya pakai akhir-akhir ini, karena menuruti saran pakar metafisik dari Yogyakarta, mas Arkan, saya cocok dengan suku tiga kata. maka semoga nasib pun bertambah baik... (domuara damians ambarita)

Tidak ada komentar: