Kamis, 05 Juni 2008

Cara Sederhana Menyemangati Anak



BARU-baru ini, kawan saya di kantor, minta pulang agak lebih cepata dari biasanya. Alasannya, dua hari lagi, anaknya akan mengikuti ujian nasional (UN) SD.

Inang, Porti Napitu, seorang ibu yang luar biasa kuat. Empat belas (14) kali melahirkan, 36 cucu dan satu cicit, kini di usia senja (85 tahun) masih tetap saja produktif. Misalnya memanen kopi 'Ateng' (kanan), menjinjing kopi yang baru dipanen (kiri). I love you mum...

"Saya sudah dipesani anak, agar menemani dia belajar. Katanya supaya tidak takut dan tidak ngantuk. Saya pikir, betul juga, sudah lama kami berjauhan, saya bekerja di luar kota, sedangkan keluarga tinggal di Jakarta. Setidaknya saat menjelang UN, saya mendampingi
untuk memberi semangat," ucap
kawan tadi.

Ya, saat itu murid-murid SD sedang memasuki masa-masa ujian nasional. Ujian tiga hari untuk menentukan perjuangan selama enam tahun. Kalau si murid dengan usaha keras, belajar tekut, konsentrasi penuh dan dapat menjawab soal-soal ujian
dengan sempurna sehingga nilai bagus melampaui ambang batas UN, maka dia akan lulus. tamat dari SD, yang sudah
dilakoninya rutin selama enam tahun.

Andai sial, entah karena keliru menjawab, atau karena otak tak mampu, atau karena tertekan menghadpi bebratnya beban ekonomi dalam keluarga sehingga sepulang sekolah harus mengamen, negloper koran, atau melakukan pekerjaan berat yang seharusnya tidak dilakukan orang seusianya, tidak ada ampun baginya. Gagal, tidak lulus. Maka mengulanglah setahun lagi.

Saat seperti itu, ingatanku memutar ke 25 tahun silam, ketika masih duduk di bangku SD. Bagaimana perjuanganku sekolah setiap pagi. Huta (Toba = kampung) berada di tenggara Danau Toba. Namanya Lumban Ambarita Sihaporas, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, Sumut. Kemudian berubah jadi bagian dari kecamatan Sidamanik, dan setelah era reformasi, masuk Desa Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik.

Kampung daerah pegunungan dengan sistem pertanian huma, ladang, bukan sawah. Jagung, singkong, dan padi darat ketika itu menjadi seumber penghidupan warga. Penghasilan utam hasil hutan, seperti bekerja di panglong atau perusahaan penebangan hutan, mengambil getah pinus atau berburu.

Saat itu, jumlah rumah atau kepala keluarga tidak lebih dari 50 rumah. Lama kelamana, desa berkembang dan makin padat berkat adanya primadona pertanian komoditas ekspor semacam cabai, jahe dan kopi. Kemudaian tomat, dan sayur-mayur untuk pasaran lokal.

Sihaporas berada di dataran tinggi, gugus pegunungan Bukit Barisan. Dinginnya luar biasa ampun. Kala tidur, selimut dan sarung membungkus tubuh bak pocong. Tidak ada kasur, tidak ada tailam, apalagi springbed. Yang ada adalah amak, rere atau tikar dari bayon, semacam tanaman bakau. Ada juga tikar dari pandan, alias raso.

Tikar langsung berlapis dengan papan. Kala kemarau, dinginnya malam menusuk tulang-tulang, karena angin berembus dari bawah kolong rumah panggung, dari celah-celah atau jarak antarpapan. Tubuh meringkik, menggigil.

Domu kecil, dengan susah payah, saban pagi berangkat ke sekolah. Saking dinginnya, kadang kala tidak sempat mandi. Jujur saja, bahkan lebih sering tidak mandi. Di atas 75 persen, murid- murid terutama baoa (laki-laki) dapat dipastikan tidak mandi sebelum berangkat ke sekolah. Selain karena dingin yang kelewat amat, ketiadaan air sumur apalagi PAM pun jadi alasan tersendiri. Susah mendapatkan air, kecuali sore harinya mangutti, manjujung atau menjinjing seember air dari binanga (sungai).

Murid-murid lazimnya, cukup segayung air untuk cuci muka, sekaligus mengelus rambur hingga setengah basah, sekana mandi. Sebagian orang bahkan mengelabui diri dan orang lain dengan mengoleskan minyak makan --yang sering membeku saking dinginnya- ke rambut atau ke kaki. Kalau minyak makan/goreng lagi kritis, bahkan ada yang menggunakan jelantah. Untuk ini saya jujur, rasanya taidak pernah.

Alasan lain, tidak sempat mandi. Ke sungai perlu waktu sekitar 10 menit. Padahal murid-murid harus berpacu dengan waktu. Kebetulan, pada pagi hari, matahari agak terlambat terbit di Sihaporas. Pukul 06.30 masih gelap, seperti pukul 05.00 di Jakarta, sebaliknya kalau sore, matahari seakan malas menuju peraduan. Pukul 17.00 masih terlihat seperti sore.

Jarak dari Lumban Ambarita Sihaporas ke sekolah cukup membuat anak-anak sekarang geleng kepala. Sekolahan terletak di perkebunan Teh Bahbutong yakni di Kampung Pondok, tempat perkampungan orang-orang Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) pekerja kebun the. Jaraknya enam kilometer. Jadi saban hari, saya dan puluhan anak Sihaporas menempuh jalan kaki 12 kilometer pulang pergi.

Ke sekolah, jangan harap naik angkot atau mobil jemputan. Jalan kaki. Demi mengerjar waktu, serapan pun sering tidak teratur. Kalau tidak sempat memask, nasi tadi malam tinggal disirami air panas, lalu dengan terburu-buru menyantap dengan lauk-pauk seadanya, seperti gulamo na tinutung (ikan asin bakar), atau sekadar membubuhi garam.

Jalan dapat dilalui mobil. Tapi namanya jalan desa, kala hujan berlumpur, kala kemarau berdebu. Menghindari sepatu kotor, sampai pertengahan menuju sekolah baru ditemukan jalan yang lumayan baik di perkampungan B-8, atau kebun teh, murid- murid menjinjing sepatu. Kaki ayamlah.

Selama perjalanan, tidak pernah melengak-lenggok bak peragawati di kanvas. Murid-murid terus berlari-dan berlari, secara berkelompok. Maka karena tidak cukup waktu, takran makan pun dijaga dengan cermat, sebab kalau kekenyangan, maka si orang itu akan tertinggal.Orang kenyang biasanya sakit perut kalau langsung berjalan jauh, apalagi berlari.

Sesampai di sekolah, guru-guru seperti Ibu Guru Boru Gultom (wali kelas I-III), Ibu Boru Sijabat (wali kelas IV), Bapak Siregar (walikelas V) dan Pak Sinaga (Kelas VI, merangkap Kepala Sekolah) dengan telaten, dan sabar mendidik murid-murid. Guru-guru juga menempuh perjalanan jauh, sebagian bermukim di Balata, sektiar 21 kilometer ke sekolah.

Kalau murid terlambat, guru menjewer kuping . Lebih sakit lagi kalau rambut antara telinga dan kulit pipi yang ditarik ke atas. Sesekali guru memukul pakai belebas/penggaris kayu, lidi, atau bahkan kalau lagi kalap menghadapi murid bandal, kayu pasak penghalang daun pintu yang dipukulkan, menimpa kepala..... Amang oi amang, hansitnai.....

Untuk kelas I, jam sekolah berankhir sekitar jam 10. Tetapi untuk kelas lainnya, jam sekolah rata-rata berakhir sebelum pukul 12.00. Selama sekolah, belum tentu dapat uang jajan. Kalaupun ada, seadanya untuk embeli opag, atau kerupuk. Tidak cukup untuk sepiring lontong.

lalu saat pulang murid-murid sering sekali kelaparan. karena terik dan lapar, dalam perjalanan tentu tidak berlari, melainkan banyak berlindung di pohon the atau pepohonan di pinggir jalan. Sedangkau kalau musim hujan, berbasah-basah. Maka tiba di ladang, jarang sekali langsung ke rumah, sekitar pukul 14.00 atau lebih. Dapat dibayangkan bagaimana laparnya..

Tiba di ladang hidangan yang ditemui singkong atau ubi rambat rebus, jarang makan nasi, kecuali malam dan pagi. Lauk-pauknya adalah, terong, tomat, daun singkong, ranti/leutu, sejenis rumput merambat berasa pahit. Cukup segitu. Setelah itu membantu ito atau abang berladang, mangombak.

***
Walau jalan berliku dan jauh, anak-anak dari Lumban Ambarita Sihaporas jarang drop-out. Rata- rata melanjut sampai ke seklah yang lebih tinggi, bahkan sampai kuliah. Saya termasuk sedikit orang sepantaran saya yang dapat menyelesaikan kuliah, dan merantau.

Bukan karena keluarga berada, melainkan semata-mata mengandalkan pertolongan Mula Jadi Nabolon, yang adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hingga SMP kelas III, amang, Jahia Ambarita, mantan Kepala Desa dan Pejuang Veteran RI, masih hidup. Uang pensiunan sebagai tunjangan veteran didapatkan Amang, setelah dia pergi ke liang lahat. Sekarang, inanglah yang menikmatinya.

Beliau bersama Inang, Porti Boru Saragi Napitu, selalu memberi dorongan kepada kami untuk maju terus. Bukan dengan paksaan, tidak harus disertai lidi, melainkan dengan cara-cara yang terselubung menyemangati kami.

Mereka misalnya, selalu menyuguhkan indahan hunik atau nasi kuning berikut telur ayam kampung rebus disertai bunga-bunga (bunga mekar warna merah). Menu itu dihidangkan dengan nuansa ritual, lalu menyuruh setiap anaknya untuk berdoa menurut keyakinan tradisional barak. Sebagian orang menyebut Parmalim. Walau keluarga kami termasuk penganut Katolik taat, tetap tidak melupakan ajaran leluhur dan adat istiadat.

Suguhan seperti itu lazim diberikan Amang-Dainang menjelang ujian, entah ujian naik kelas maupun Ebtanas. Dorongan tersembunyi yang diberikan Amang adalah, dia akan selalu menyuruh Domu kecil, atau abang saya Baren, kakak saya Donna atau Adik bungsu kami Jonny untuk mencari gadong martusuk ri atau ubi/singkong yang ditembus tusukan ilalang.

Singkong itu dibakar, dibenang di bawah purunan, tanah panas di bawah arang-tungku. Setelah ubi dikeringkan oleh panah arang, singkong dibenam. Jadi membakarnya tidak di atas api membara atau arang panas. Setelah masak, Amang mengambil singkong lalu marmilmil atau membaca mantera dan menyebut "supaya kalian pintar".

Mantera itu, bagi anda barangkali tidak betul, atau jangan-jangan jadi berhala, sehingga tabu. Namun Domu kecil sangat yakin, hal itu memang membuat pintar. Saat ini, dengan nalar yang ditambahkan kepada saya, setidaknya saya dapat mengambil makna di balik itu adalah:

  • Amang memberi sugesti kepada anak-anaknya, bahwa makan singkong pun, manusia dapat bertahan hidup, bahkan menjadi pandai. Ini sepadan seperti firman Tuhan, bahwa hidup tidak hanya dari ragi/roti.

  • Amang tahu, makanan pokok lain yang lebih llezat dan jumlahnya tersedia selain singkong, tidak ada lagi. Yang ada beras, jumlah terbatas, dan mahal untuk ukuran desa, Maka beras hanya dikonsumsi malam dan pagi, atau pada acara-acara tiual dan pesata besar saat panen raya.

  • Amang coba menanamkan nilai-nilai moral, memanfaatkan sumber-sumber terbatas pun, anak-anaknya harus terus mempunyai motivasi, tujuan dan obsesi yakni menjadi orang pintar. Kalau pintar kan, konotasinya berhasil.

Seingat saya, Inang dan Amang tidak pernah memukuli kami dengan kasar, seperti sering diperlihatkan orang tua lain kepada naknya, yang sampai kejar-kejaran di halaman luas untuk melakukan suaatu hal saja, misalnya unutk mandi atau agar anaknya turut ke ladang, atau agar anaknya bersekolah. Tidak. Amang dan Inang bukan tipe itu.

Rumah kami adalah rumah adat.Rumah bolon. Ruma gorga. Rumah balai eprtemuan Marga Amabrita dari perantauan maupun ada acara-acara besar. Rumah ukuran besar, yang dpat menampung kurang lebih 150 orang.

Sekali waktu, saat ada gondang, atau pesat adat dengan alatmusik giondang, acara ini rutin sebagai acara tahunan atau dwitahunan, saya memohon izin kepada Inang agar tidak usah kesekolah.

Inang tidak mecubit saya. Juga tidak memukul. Membentak pun tidak. Malah dengan nada sangat lunak, seakan merasa berterima kasih dan meminta saya libur atau tak usah sekolah sekalin. "Olo, nauli mai. Baenma, unang pola sikkola. Alai lao maho du balian, parmahan horbo. Unang sampe male, unang sampe mardando"

Padahal nadanya mengejek, dan bahkan memberi beban yang sebenarnya lebih berat daripada pergi ke sekolah. Saya disuruh menggebla kerbau, dengan catatan, ternak tidak boleh lapar dan lepas sehingga merusak tanaman orang lain. Diberi pilihan semacam itu, saya berpikir, keputusan saya lebih baik sekolah. Saya minta diberi relaksasi atau refreshing dari rutinitas sekolah, kok malah diperintah menggembala. Wah repot ini...

Itulah cara-cara kecil, contoh sederhana, tapi menurut saya sangat arif dan bijak, dengan kearifan lokal, Amang dan Inang membina kami anak-anaknya. Kami keluarga besar. 14 orang anak lahir dari rahim seroang ibu, satu ayah.

"Berkat melimpa bari Janda," firman Tuhan. Setelah ayah meninggal, kami anak-anaknya malah menyelesaikan sekolah sampai sarjana. Domu, Abang Baren dan Ito Donna bisa jadi sarjana. Ada pun Jonni, karena bandal, tidak merampungkan kuliahnya, kendati sempat memasuki tahun keempat.

Saya bangga,orang desa, bahkan suku anak dalam yang terasing, saat ini dapat hidup di kota besar, setelah berpindah-pindah dan mennyinggahi banyak kota seperti Lampung, Semarang, Banjarmasin, Balikpapan, Palangkaraya, Pontianak, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan saata ini di Jakarta. Saya bangga pada diri saya dan latar belakang saya, keluarga saya, asal susul saya, walaupun saat ini masih berstatus kuli-kuli, dan rasanya akan tetap jadi kuli. Mauliate Oppung Debata, Terima Kasih Tuhan (Domuara Damians Ambarita)




Tidak ada komentar: