Minggu, 07 Desember 2008

Sebulir Padi pun Hargailah

KRISIS finansial global, bukan lagi sebatas ancaman. Asal muasalnya memang dari negara nun jauh di sana, di barat, Amerika Serikat. Tetapi imbasnya sudah terasa, dan terjadi di mana-mana. Tidak usah repot-repot bicara ekonomi makri, ambruknya kerajaan bisnis Aburizal Bakrie, atau meruginya Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir pada investasi pasar modalnya, juga tak usah mengingat ambruknya PT Bank Century Tbk akibat gagal/kalah kliring, krisis kini semakin terasa di rumah tangga terutama berpenghasilan pas-pasan.

Cobalah dengar perbincangan di hipermarket, swalayan, pasar tradisional, hingga para ibu-ibu pembeli pada pedagang asongan, mereka menggerutu karena kenaikan harga kebutuhan pokok di luar nalar manusia sehat. Ya, semua kebutuhan mengalami kenaikan harga.

Tapi kondisi itu tentu saja pengecualian pada segelintir orang berkecukupan. Krisis sih krisis, tapi mereka tetap tampai serba wah. Mobil merk terbaru, motor keluaran anyar, tetap saja marak di jalanan. Penumpang angkutan udara untuk melancong ke luar negeri pun tak surut.

Kaum berduit ini pun tak perlu repot-repot, sampai berbusa-busa sekadar menawar seikat sayur atau sepotong ikat, atau sebungkus garam atau semug beras. Buat mereka hidup melimpah, makanan berlebih. bahkan sisa-sisa panganan berlebih cukup untuk sekali makan seorang tak punya.

***
Nasi Tak Boleh Sisa
Bicara tentang nasi, saya ingat sewaktu kecil. Ya, sebulir beras. Sewaktu saya kecil, orang tua kami, amang (mendiang) dan inang di kampung, selalu menanamkam agar setiap buliran nasi yang sudah disendok ke dalam piring harus dihabiskan. Tidak boleh berlebih dan dibuang. 'Filsafat' beras ini memang sangat dalam buat sebah perjuangan orang kampung.

Maklum, karena di Sihaporas, saat itu, tahun 1980-an, sulit mendapatkan beras. Kalaupun ada hanya beras gunung/darat. Untuk mendapatkan seliter beras, susahnya setengah hidup. hahah...... Saya masih mengalami, pagi dan malam saja makan nasi, sedangkan siang makan ubi atau 'gadong'.

Katakanlah dari proses bercocok tanam, padi ditanam di ladang kering yang disebut 'mangordang' atau 'martaduk', seseorang memegang dua ptong kayu sekaligus dengan ujung diruncingkan, seperti pensil diraut, lalu diposisikan menyilang (seperti leter x) dan dihunjamkan ke bumi untuk membuat lubang tempat menanam buliran padi.

Pangordang biasanya berjalan mundur, dan kadang-kadang kejedot bongkahan atau batang pohon bekas tebangan. Lalu di depannya, bebrapa 'partaduk', beramai-ramai menabur/memasukkan buliran padi ke dalam lubang. Padi ditanam pada 'juma roba' bukaan baru pada tanah yang masih berunsur hara banyak, padi tumbuh baik walau tanpa dipupuk (kimia maupun kandang).

Martaduk, saat itu dilakukan dengan cara marsialapari atau marsidapari atau gotong royong. Setelah dari ladang si A, besok atau lusa gantian ke ladang si B. Asyik, ramai, guyub, dan kompak.

Fase pertama ini biasanya disediakan hidangan enak. Kalau saban hari hanya 'gulamo tinutung'/ikan asin bakar, pada saat 'Mangordang, menu biasanya daging lengkap dengan sayur setidaknya ikan teri sambal atau ikan rebus, 'diarsik'.

Padi tumbuh, tinggi. Waktunya padi berisi, bunting atau 'boltok'. Saat itu banyak ancaman terhadap tanaman, entah hama semacam monyet, aili/babi hutan, maupun penyakit, termasuk musim yang kemarau panjang. Ada istilah puso, gagal panen.

Mungkin karena tingginya risiko itu, para leluhur/pendahulu selalu sengaja membuat acara ritual yang dikenal kegiatan "Martondi Eme". Diadakan acara doa bersama yang dipusatkan di satu ladang. Lalu di tempat itu doa diikuti makan besar bersama dengan lauk ikan sungat dan lomang (lemang) ada juga 'sibak', bahan dasar jagung ditumbuk dan didiamkan beberapa malam untuk fermentasi.

Sehari sebelumnya, biasanya semua warga kampung memanen ikan 'mandurung tu bombongan nabolon', membuka tambak buatan dengan menanggul sungai. Mandurung dilakukan sekali setahun. Ikan yang lazim didapat adalah si birsak, pora-pora, ihan (dikenal dengan sebutan ikan
batak), limbat (lele).

Setelah makan, setiap rumah tangga lalu membawa serta 'itak gurgur' (beras tepung mentah dikasih gula, seperti lampet) dan 'sanggar' tanaman liar bangsa palm, dan bambu bekas tempat memasak lemak, bangun-bangun dan rudang. Semua itu digantung di setiap sudut ladang.

Maksud dari ritual itu, doa agar padi berkembang dengan baik, jauh dari hama penyakit, dan panennya kelak memuaskan. Sehari sesudahnya disebut 'manangsang robu', hari pantang ke ladang padi tadi.

Saat musim panen, tidak semua orang memaneng dengan mudah. Saat itu, menggunakan alat sabit masih dianggap tabu, karena konon 'tondi' atau roh eme takut kalau padi dipotong pada batangnya, jadi leher padi yang 'diotom'. Tapi sebagian orang yang lebih modern dan berpikir praktis, mulai berani 'manabi'/sabit.

Untuk merontokkan buliran padi, dulu beluma da mesin. Lalgi-lagi cara gotong royong yang ditempuh, dengan istilah mardege'. Dege = injak. Jadi buliran padi diinjak-injak, secara berkelompok. Biasa dilakukan sore hingga larut malam, bahkan pagi buta. Mada itu ada istilah
'mardege di rondang bulan', yang sering dimanfaatkan para muda-mudi mencari berkenalan, pendekatan, bahkan mencari jodoh. Asyik memang.

Siangnya dilanjutkan kegiatan 'mamurpur' membersihkan padi dari jerami atau membuang 'halampung', padi hampa, tak ada isi. Kemudian padi dijemur agar dapat ditumbuk.

Setelah panen, tibalah masa yang ditunggu-tunggu. Namanya 'marsipaha lima', pesta besar sambil mengucap syukur atas panen yang baik. Warga pun ramai-ramai 'manduda i losung', menumbuk padi menjadi beras. Manduda bersama-sama pada balok besar dan panjang, yang terdapat tiga sampai lima lubang 'losung'. Satu 'losung', bisa ditumbu atau 'diduda' dua orang secara bersamaan, dengan ala atau 'andalu" bergantian, selang-seling.

Proses ini menggambarkan betapa berharganya sebulir beras/nasi di kala warga belum terbiasa mengonsumsi beras swah. Bukan karena tidak kenal, tetapi karena lemahnya daya beli yang hanya mengandalkan pemberian alam. Wajarlah, penduduk Sihaporas lebih banyak merantau, meninggalkan kampungnya yang masih tertingggal, jauh dari kemajuan.

** *
MAGNET JAHE

Kira-kira tahun 1981-1982 --saya sebut kira-kira karena tidak ada data pasti. Tapi saat itu saya sudah sekolah SD, masuk tahun 1980. Bermula dari Abang saya, Pak Herbina Ambarita, yang kawin dengan Br Sidauruk dari Tambunraya, membawa kira-kira puluhan kilogram bibit jahe. Ketika itu, jahe mulai marak ditanam di Simalungun, termasuk di Sidamanik dan Raya. Pak Herbi mendapatkan bibit dari pihak Mertua.

Belasan kilogram jahe itu ditanam di lahan yang terletak di samping rumah, Jabu Nabalga, yang sekarang pemukiman, antara lain rumah Edy Ambarita, Saor Ambarita, dan Lamhot Ambarita.

Pendek kata tanaman jahe cepat memuncak menjadi komodits unggulan untuk ekspor dari Sumut. Masa kejayaan ini berlangsung kurang lebih 20 tahun, hingga akhir 1990-an. Jahe diikuti pula tanaman tumpangsari lainnya seperti cabe, jagung, dan sayur-sayuran. Silih berganti dapat ditanami juga dengan padi dan tomat.

Masa itu betul-betul menjadi masa keemasan. Mencari uang sejuta dua juta bahkan belasan juta tidak sulit. Malah banyak pemuda yang karena tekun bercocok tanam, dapat memiliki kendaraan bermotor pribadi semacam sepeda motor dan mobil.

'Peradaban' bercocok tanam inilah yang menjadi magnet Sihaporas. Para perantau atau keturunannya kembali ke desa untuk bertani. Bercocok tanam jahe dan palawija lainnya.

Kini, Sihaporas mulai maju, setidaknya sarana transportasi tidak terisolasi, waulpun masih becek saat hujan. Penduduk yang tadinya tidak lebih dari 50 keluarga di tiga kampung, Lumban Ambarita Sihaporas, Sihaporas Bolon, dan Aekbatu, kini berkembang menjadi Desa Sihaporas yang telah dialiri listrik dan taliair.

Setelah masa kejayaan jahe, kopi usia pendek yang dinamai Kopi Ateng, kini menjadi unggulan bagi petani yang tidak menjual tanahnya kepada PT TPL (dahulu Indorayon). Semoga sharing ini bermanfaat sekadar pelepas rindu ke 'bonapasogit'. (domu damianus ambarita)

1 komentar:

defantri.com mengatakan...

pertamaxxx...

benar bangat itu...

karena petani tidak memilih-milih sewaktu menanam dan yang sebutir kita buang itu juga yang dirawat dengan baik...

jadi hargai semua...

...have fun