Rabu, 04 Juni 2008

Lepas, Tanpa Beban



* Tips Menaklukkan Rasa Grogi di Hadapan Publik

KOMENTATOR sepakbola di televisi kerap kali kita dengar melontarkan analisisnya terhadap penampilan satu klub underdog tapi tampil memukau dan mengatasi klub perkasa dan ternama pada partai final. Tim ini di pasar taruhan tidak diunggulkan sama sekali. Sang komentator menilai, klub lemah itu mampu tampil kompak, dan kuat saat bertahan, dan efektif menyerang karena tampil lepas, tanpa beban. Nothing to lose.

Bagi para pemain klub ini, misalnya, maju ke babak final pun sudah melampaui taget, jadi andai kalah di final tidak soal, yang penting tampil sekuat tenaga, konsentrasi, dan sebaik mungkin.

Sebaliknya, klub ternama dan diunggulkan memenangi laga, tampil jauh di bawah form. Di luar dugaan pengamat dan penikmat sepakbola, dari yang biasanya pertahanan gerendel, dan kokoh, serangan cepat dan tak kenal lelah, striker setajam silet, namun kali ini grogi dan mandul. Amburadul lah pokoknya.

Untuk klub ini, hebat yang diisi para pemain kelas dunia ini, pengamat mengatakan, mental pemain terlalu terbebani sehingga tertekan dan tak dapat bermain bagus. Sebelum turun ke lapangan hijau, mereka dicekoki target "harus juara".

Strategi tampil lepas, tanpa bebas ini saya coba terapkan, Selasa (3/6/2008). Di Ballroom Teluk Jakarta Hotel Mercure Ancol, sejulah kurang lebih 40 praktisi perbankan dari BNI sedang mengikuti pelatihan kehumasan.

Dalam presentasi, saya bangga, bukan sombong, karena ternyata saya betul-betul bisa. Bisa menundukkan rasa malu saya, menguasai grogi saya, menaklukkan ketakutan saya. Ini terlihat dari banyaknya feedback, berupa pertanyaan-interaksi.

Bahkan saya sedikit kagok, dua jam sudah habis, saat seorang dari meja yang dekat panitia mengacungkan tangan, saya stop pembicaraan dengan asumsi sudah habis waktu. Ternyata dugaan saya meleset.

Orang yang mengacungkan telunjuk bukan menginterupsi waktu, melainkan menambah pertanyaan walaupun jatah waktu sudah lewat. Ini yang paling seri, para Kanwil dan VIP itu mendatangi saya, maaf, bahkan seperti mengerubut untuk bertukar kartu nama.

Saya belakangan mendapat informasi dari kawan saya, Ewa, panitia dan audiens merasa puas, metode saya tidak membosankan, dan materi sesuai fakta, bukan teori, dan lebih-lebih memberi solusi mengatasi wartawan nakal.

Sedikit pun hati saya tidak ada maksud congkak dengan informasi dari mas Ewa di mana panitia dan peserta pelatihan merasa terpuaskan dan berjanji mengundang lagi pada acara lainnya, tetapi setidaknya mebuat saya bangga pada sugesti kata-kata, kalau kita bilang bisa, pasti bisa, perosalnnya bukan tidak bisa tapi tidak mau. "Terima kasih Tuhan."

Berikut adalah beberapa usaha yang saya lakukan mengatasi grogi atau gugup di depan umum, hari itu.
1. MENELADANI NABI 'MUDA'
"Saya bisa. Saya harus mampu. Yesus Kristus saja memimpin sejak usia muda. Dia berdiri di tengah ribuan orang tua muda, laki perempuan, mengotbahi mereka dan menuntun pada para perubahan sikap-paradigma, sebelum Yesus mati di kayu salib pada usi 30 tahun. Dia seorang guru sekaligus gembala yang baik."

Saya kemudian meneladani Nabi Muhammad Saw saja telah memimpin sejak usia 24 tahun dan kemudian menjadi rasul. Saya kutip dari syiar kia Ahmad Mustofa Bisri (http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis⊂=2&id=334), 'sabda Nabi Muhammad: Yassiruu walaa tu'assiruu (Buat mudahlah dan jangan mempersulit).

Pagi itu saya bangun. hanya sedikit beban. Sehabis mandi, saya serapan bersama Ewa. Sejak dari lift sampai ke meja makan, saya bertemu dengan para VIP BNI. Mereka tampil perlente. Dasi melintang dileher, menggantung di dada, jas, kemeja diseterika rapi, rambut tersisir berminyak, sepatu mengilap dll. Mencleng lah pokoknya.

"Siapa pembicara pertama pagi ini," tanya yang satu kepada yang lain. "Dari Persda, Grup Kompas Gramedia," kata yang lain. Saya dengan kebiasaan 'buruk', menunduk sambil tersipu.

Malam sebelumnya, urusan dalam perut agak kurang berse. Sering ke belakang. Di ruang sarapam hotel, makanan tentu 'lezat-nikmat', seperti ucapan khas putriku, Elisabeth Uli. tapi saya menahan diri, dan hanya menyantap seporsi bubur ayam.

2. TATAP SEISI RUANGAN
Saya cepat-cepat menyelesaikan serapan. Dari basement, segera bergegas ke ruang Teluk Jakarta, ke ruang pelatihan. Saya mengikuti nasihat guru sipirutal dan pengamat inteligen, Grand Dynno Cresbon, yang pernah saya tangkap diucapkan kepada seorang sahabat, "Sebelum tampil berbicara, agar tidak grogi, tinjau lebih dahulu arena siang atau ruang pertemuan. Ruangan dalam keadaan kosong pun tak apa-apa, yang penting agar aura, dan tatapan mata tidak asing. Kemudian sesampainya di depan hadiri, tataplah mata tetamu, secara horizontal 'taklukkan' semua mereka. Itulah kiat atau tips mengatasi grogi saat berbicara apda seminar atau forum besar."

Saran itu 100 persen saya terapkan. Belum ada perserta duduk di kursi, keculai karyawan hotel yang menjagai lokasi pelatihan dan seorang teknisi IT, saya langsung masuk. Dengan pede saya memasuki ruangan, menatap seisi ruang dengan yakin, setelah cukup yakin saya serahkan materi powerpoint.
3. BERNYANYI NYARING
Lalu saya ke kamar 633. Kok ternyata masih agak nervous. Saya pun menggunakan jurus lan, bernyanyi lagu riang dengan suara lepas, teriak sekencangnya. "Jangan ada beban. Ayo, kita bisa," ajakku pada hatiku sendiri untuk menyemangati. Dua lagu berlalgu, kemudian bergabung ke Teluk Jakarta di lantai I, di sana para peserta sudah menunggu.

Betul, saya tampil lepas. Bak presenter ulung, atau motivator yang acapkali dari mimbar ke mimbar berceramah, saya tampil pede. Di podium, sederet meja dengan empat kursi disediakan. Saya tidak duduk di sana, saya ambik corong mikrofon wireless, mengenalkan diri, dan berlenggak-lenggok di hadapan para bos BNI di floor.

3. PEKIK KEMERDEKAAN
Saya berusaha mempengaruhi mental para hadirin dengan melibatkan mereka secara emosional, bahwa mereka sejiwa dengan saya. Mereka satu semangat dengan saya, semangat nasionalisme. Saya cari cara, meneriakkan yel-yel kebangsaan. (Andai saya satu perusahaan dengan mereka, barangkali kultur atau semboyan internal perusahaan dapan dijadikan pekikan yel-yel).

"Berhubung hari ini masih awal Juni, hari lahirnya Pancasila baru kita peringati kemarin, dan hari Kebangkitan Nasional pun lama berlalu, maka masilah kita teriakkan pekik Merdeka. Saya bukan politisi PDIP yang suka memekikkan Merdeka, tapi saya seorang yang cinta bangsa ini," kataku disambut peserta. Bahkan ada yang minta agar pekikan Merdeka diulang dan tangan dikepal dan diayunkan lebih tinggi ke angkasa. Hahahah sungguh menakjubkan..

4.AHLI DI BIDANGNYA
Saya sadar betul, audiens di hadapan saya bukan orang-orang semabarangan. Secara ekonomi dan pengalaman, di bidang perbankan, pasti mereka unggul. Mereka bukan pemula. Melainkan para 'Panglam', Kepala wilayah, asisteant vice president dan manager dari 12 kantor wilayah BNI di seluruh Indonesia. Praktisi perbankan senior, leader, top management. Sisanya dari kantor pusat BNI di Jakarta.

Di antara hadirin adalah Intan Abdams Katoppo, Corporate Secretary BNI Muhammad Safak, Manager Corporate Communication Division , Zulnasri, Asistant Vice President Corporate Communication Division.

Pejabat BNI dari wilayah antara lain, Irwan Gurning, AVP-Penunjang Bisnis & Layanan Kanwil 8 Denpasar, Alsje C Ngantung, Pemimpin Kelompok GSN Kantor Wilayah 10 Jakarta, Giana Suryadarma, Assistant Vice Prisident Kanwil 04 Bandung.

Ada lagi St Subardi, Pemimpin Kelompok Bisnis dan Layanan Kanwil 06 Surabaya, Joppy J. Lamonge, Pemimpin Wilayah Kanwil 11 Manado, Bahfiar Yulianto, Manajer Kanwil 05 Semarang.

Seorang mantan wartawan senior, Aqua Dwipayana, yang melakukan lompatan kwantum menjadi Direktur Image Communication, Building Winning Reputation.

Meski mereka andal di bidangnya, saya tidak kecut. Saya yakin, di bidangan jurnalisitk, saya jauh lebih unggul. Jurnalis hidup saya, wartawan darah pekerjaan saya, menulis berita dan sejenisnya habitat saya, berhubungan dengan nara sumber dari pejabat tinggi negara sampai maling biasa saya lakukan, sekali lagi saya meyakinkan hati, "Hai jiwaku, jangan takut, jangan grogi."

5. TARIK NAPAS DALAM-DALAM
Sebelum melangkah ke hadapan audiwns, saya tarik napas dalam-dalam. Entah karena saya mengidap sedikit asma, dengan menarik napas dalam-dalam, biasanya tenaga langsung jreng, dan badan serasa berotot. Tidak gemetar. Cukup dua atau tiga kali tarik napas, lalu tahan di dalam perut sekitar 10 detik, embuskan. Dan diulang.

Kalau gemetar, biasanya pita suara pun bergetar. Kalau suara bergetar karena suara vibrant di karaoke sih nggak soal, tapi kalau bergetar apalagi gemetaran karena grogi kan jadi nggak asyik. Alih-alih vibrasi, melainkan jadi malu-maluin... Dengan

6. PASTIKAN KONTAK DENGAN AUDIENS
Banyak orang menganggap saya tipe serius. Tidak banyak cakap, tidak banyak omong, bukan ember atau pembual. Itu mungkin kesan mereka yang belum begitu lama beragaul. Sedangkan satu dua rekan dekat, mengatakan tidak pendiam amat. Sesekali bercana, tetapi sering. Tidak bisa membuat orang lain terpingkal-pingkal sampai terkencing-kencing karena tertawa, apalagi se hebat Babe Bolot. Nggak. Tidak sehebat mereka.

Di awal saya sadar betul, pada presentasi kemarin, penampilan saya yang kumal di hadapan orang-orang berdasi akan dianggap sepele. Karena itu saua berusaha, tampil mengesankan. Saya dekati meja ke meja, bahkan sambil berbicara, berdialog saya kasihkan kartu nama, atau perlihatkan kartu pers/karyawan sebagai pertanda bahwa setiap wartawan yang meliput selalu dilengkapi identitas sehingga untuk mencegah rongrongan wartawan bodrex, atau wartawan tanpa surakabar, narasumber wajib menanyakan kartu identitas di awal perjumpaan.

Saya berusaha menatap dan kontak langsung agar audiens tidak mengantuk. Sesekali saya berguyon, walaupun spontas saja, tapi setidaknya mereka tertawa --senyuman yang disertai yang sampai kedenagran suara ngakak) tiga kali selama saya presentasi. Saya kadang heran, karena tidak biasa guyon....

7. KUASAI MATERI
Bahan yang saya bawakan adalah Koran Lokal Berebut Kue Otonomi Daerah." Setelah mendesain kerangka atau bingkai slide, menyangkut kira-kira apa isi materi, kemudain mencarikan konten yakni berita-berita koran maupun website.

Walau mencomot dari sana-sini, saya coba yakinkan diri, bahan-bahan ini sesuai fakta. Bukan teori melulu, tetapi saya break down menjadi hal-hal praktis, sehingga memberi informasi dan permasalahan yang sering dihadapi narasumber.

Saya coba sampaikan bagaiman informasi sejelas mungkin, tanpa ada yang ditutup-tupi terutama dalam hal praktik wartawan nakal yang sering merongrong wibawa profesi.

8. JAWAB DENGAN ILUSTRASI
Satu jam pertama saya lalui dengan 'ceramah'. Selebihnya dialog. Cukup banyak penanya. isi pertanyaan mereka rata-rata praktis, bukan teori. Mereka menanyakan bagaimana menghadapi wartawan nakal, yang datang mencari-cari masalah, bukan mencari berita yang betul. Mau dihadapi secara hukum, dianggap bukan siasat bagus.

Audiens beranggapan, mempolisikan wartawan adalah sia-sia belaka. Alih-alih mendapat keadilan, ujung-ujungnya malah diporoti, karena di mata bankers, wartawan berteman dengan polisi, sehingga bisa saja main mata untuk menguras si banker.

Ada juga pertanyaan tentang, berita yang layak dimuat seperti apakah. Apakah urusan internal perbankan juga harus dijelaskan kepada wartawan, kendati pun itu bukan isu konsumsi publik, namun dengan dalih wartawan berhak mendapat informasi, sang wartawan mengobok-obok sampai isi dapur bank.

Bagaimana pula urusan amplop. Sebaiknya, amplop diberikan ke wartawan atau tidak.

Jawaban saya untuk hal-hal di atas adalah, saat berurusan dengan wartawan lakukan bebrapa hal:
1. Anggaplah wartwan sebagai sahabat, mitra bisnis.
2. Jangan jauhi wartawa.

3. Andai ada kegiatan yang perlu dipublikasi, sering-seringlah menguncang wartawan

4. Setiap wartawan yang datang tanpa diundang, entah mau konfirmasi sendiri atau pada acara, sebaiknya tanyakan kartu pers, ID card dari persuahaan media tempat dia bekerja.

5. Jika ragu, pastikan menelepon ke kantor yang bersangkutan dan menanyakan perihal status si wartawan apakah betul dari media yang bersangkutan.

6. Andai ada media belum terkenal, tanyakanlah company profile perusahaan media dia, dan jangan lupa konfirmasi kepada atasannya di kantor.

7. Apabila tujuan mencurigakan, segera saja tolak, dengan alasan halus, misalnya akan meeting, ada tamu, dan lain-lain. Intinya tidak usah dilayani

8. Dalan kasus tertentu yang tidak berkait dengan aktivitas profesi perbankan, misalnya ada kasus pidana, jangan bersikap kasar apalagi sampai menganiaya wartawan. Jawab saja seadanya, sesuai versi anda. Tugas wartawan memang mesti check and recheck, cover both side.

9. Apabila si wartawan nakal, yang mencari-cari masalah yang ujung-ujungnya duit atau memeras, segera saja tantang ke jalur hukum atau bawa ke pengacara, atau kontak kawan anda yang wartawan betulan sebagai upaya meng-counter.

10. Seperti hukum suap-menyuap, kedua belah pihak dapat dijerat: si pemberi suap dan sipenerima. Karena itu, sekalian untuk pendidikan bangsa dan profesi wartawan hindari memberi amplop (tentu berisi uang) kepada waratawan. Sebab tidak ada jaminan berita dimuat sebagai imbalan imbalan uang yang anda berikan. Cara elegan dan sehat adalah, lebih baik mendatangi pemimpin redaksi atau redaktur, lalu memasang iklan. Saat memasang ikaln, terus terang saja meminta bonusnya berita, sehingga uang yang dikeluarkan perbankan/narasumber secara syah masuk ke perusahaan, bukan merupakan suap. Dengan begitu, ada jaminan bahwa berita (tentu saja berita yang mempunyai nilai jual), akan dimuat. Tidak mengecewakan pemasang iklan.

11. Apabila memberi penjelasan kepada wartawan, jangan beranggapan wartawan orang pintar, jenius sehingga penjelasan apa adanya, dan dangkal. Sebaliknya anggap mereka orang kebanyakan, berpendidikan rendah, sebab yang dia tulis untuk dikonsumsi banyak orang, termauk masyarakat berpendidikan rendah.

***
BLESSING IN DISGUISE
Pertemuan, atau keberadaan saya di hadapan para pemimpin BNI itu di luar dugaan. Boleh dibilang Blessing in disguise. Kawan saya di Persda yang biasa meliput di desk ekonomi, Hendra Gunawan merekomendasi nama saya ketika Zulnasri alias Tachy, Asistant Vice President Corporate Communication Division mencari seorang wartawan ekonomi yang dapat menjadi partner berdiskusi di forum BNI.

Walau masih sangat minim, pengalaman meliput hingga redaktur Desk Ekonomi, Bisnis dan Finance di Banjarmasin Post, Tribun Jabar mapun di Persda menjadi bekal berharga mengisi otak perihal pengetahuan ekonomi buat saya.

Mendapat tawaran semacam itu semula saya ragu. Tidak pede. Merasa nggak mampu, rendah diri, tidak layak menyampaikan materi di hadapan para banker senior. Apalgi ketika menelpon, Tachy mengatakan, saya akan berceramah di hadapan para Pangdam, Kepala Wilayah BNI se- Indonesia.

Walau hati kecut, saya tidak langsung menolak. Saya mengingat nasihat seorang sahabat dan mitra diskusi saya, Achmad Subechi, yang saat ini Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim diagar energi positif terus mengalir ke arah produktivas jangan sesekali memvonis diri sendiri tidak mampu, jangan menuding diri sendiri bodoh, lemah, tidak cakap. Sebaliknya, bilanglah 'Ya, aku bisa!"

Kekuatan kata pula ditekankan Wakil Pemipin Redaksi Kompas, Trias Kuncahyono dalam forum diskusi baru-baru ini. Dia mengutip kekuatan sabda Tuhan, seperti kisah penempaan/penciptaan, "Terjadilah, maka terjadi." Atau, "Kun Faya Kun". Kalangan motivator, dan hipnotis pun menempatkan kata-kata sebagai kekuatan yang amat dahsyat, dapat mengubah seseorang berubah 180 derajat, dari baik menjadi buruk, sebaliknya dari penjahat menjadi teladan.

"Bolehkah saya tahu, kira-kira apa yang dimintakan secara rinci apa yang akan dibutuhkan. Bolehkah saya dikirimi TOR-nya?" Itulah permintaan saya kepada Tachy. "Deal", Tachy pun mengirimi jadwal pelatihan kehumasan BNI yang berlangsung dua hari di Ancol.

Begitu jadwal dan narasumber saya terima, "gilaaaaaaaa......" Saya berterik setengah bergumam. Pada kolom pembicara/narasumber tercantum nama-nama keren, seperti presenter kondang Helmy Yahya, jurnalis senior Metro Tv Desi Anwar, dan Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Ahmad Djauhar.

CERAMAH DUA JAM
Dalam jadwal, jatah berbicara dua jam, pukul 10.00-12.00. Saya ditawari Tachy kemungkinan perubahan jadwaal, jadi pagi, pukul 08.00-10.00, karena Ahmad Djauhar, seperti kabanyakan wartawan, susah bangun pagi. Apalagi saya yang tinggal di Depok, sekitar 60 kilometer dari Ancol, tentu sangat sulit memenuhi permintaan itu. Lalu dicarikanlah solusi, saya menginap di Mercure, hotel berbintang empat di Taman Impian Jaya Ancol.

Setelah itu, saya lupakan hambatan dari dalam jiwa. Saya butuh dua hari menyusun materi untuk disampaikan, yakni tentang Mapping Media Massa Lokal/Regional. Tema yang saya susun akhirnya Koran Lokal berebut Kue Tonomi Daerah.

Bahan makalah seadanya itu, memuat perjalanan pers dari masa ke masa, mulai dari era kolonial, pengekangan hingga pembredelan di era Bung Karno dan Pak Harto, era reformasi dan per keblalasan pada tiga presiden 'seumur jagung' BJ Habibie, Gus Dur dan Megawati. Kemudian, bagaimana trik-trik tersembunyi rezim SBY yang coba menekan pers setidaknya mengingatkan pers dengan mengumpulkan para pemilik maupun pemimpin media.

Di sini saya tekankan, dari masa ke masa, terjadi perubahan. Dan setiap perubahan rejim, diikuti perubahan gaya dan kepemimpinan, termasuk perubahan pers. Bung Karno dan Pak Harto ada kemiripan. Di awal pemerintahan, keduanya menjanjikan kebebasan pers, namun belakangan terjadi penekanan bahkan pembredelan.

Dugaan saya terhadap perubahan sikap itu adalah, terori kepemimpinan yang abslut. Moralis dan Sejarahwan Inggris, Lord Acton, tahun 1887 telah memberi nasihat berharga buat generasi terkini, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely."

Kesimpulan saya, karena keduanya berkuasa terlalu lama dan otoriter, jadilah kekuasaan absolut yang koruptif. Sedangkan Habibie, Gus Dur dan Mega, tidak mempunyai kesempatan itau. SBY, presiden hasil pemilihan langsung pertama, sudah berjalan empat tahun, dan berpotensi untuk mengikuti Soeharto, jika tidak dikontrol ketat sejak dini. (Domuara Damians Ambarita)


Tidak ada komentar: