SOROT
Politisasi Sampah Mengapa Tidak?
Oleh Domuara Ambarita
BANDUNG kota metropolitan terkotor. Kota kembang menyandang predikat negatif ini bersama Kota Bekasi. Untuk kota besar status itu diterima Kota Banjarmasin dan Kabupaten Tangerang. Penetapan kota metropolitan dan kota besar terkotor dilakukan dalam acara malam anugrah penghargaan lingkungan dan Adipura di Jakarta, Senin (12/6).
Banyak kalangan menilai wajar predikat kota terkotor disandang Bandung. Sebab dalam kurun 16 bulan ke belakang, pascalongsor TPA Leuwigajah yang menewaskan lebih 100 orang, Februari 2005, Bandung nyaris tak lepas dari persoalan penumpukan sampah. Bau busuk pun merebak di seluruh sudut kota yang mengambil misi sebagai kota jasa: turisme dan pendidikan.
Wakil Gubernur Jabar, H Nu'man Abdul Hakim, di antaranya berterus terang mengaku malu dengan predikat kota terkotor. Karena itu, ia meminta kasus ini hendaknya dijadikan pembelajaran bagi seluruh pemerintah daerah di Jawa Barat. Jika pemerintah daerah berhasil membuat kota bersih, tentu mereka akan mendapat reward.
style="font-size:85%;">
Namun ada juga yang tak setuju Bandung kota 'bau'. Walikota Bandung, Dada Rosada, misalnya. Ia berdalih, 'Kalau Bandung disebut kota terkotor berarti seluruh sudut kota kotor dan bau, padahal kenyataaanya jalan-jalan masih banyak yang bersih.'
Atas inisiatif sendiri atau entah ada yang menggerakkan, Senin lalu ada unjuk rasa yang seakan membela walikota, menolak Bandung diganjar Kota Metropolitan terkotor se-Indonesia. Mereka merasa terhina. Entah apa pula paramater digunakan sehingga masih menampik kota ini berlabel kotor. Entahlah.
Barangkali sebagian dari kita masih suka berpura-pura. Munafikkah?
Mendebat apakah predikat terkotor sudah objektif atau tidak, mungkin tak pernah berujung. Pro-kontra bisa berlangsung lama. Kalau demikian adanya, mengapa walikota tidak mengalihkan energi dari kesia-siaan belaka ke arah positif.
Mengaku sajalah keliru, lalu minta maaf kepada publik selaku pembayar pajak/retribusi sembari berjanji menghimpun segala potensi untuk sungguh-sungguh mengatasi persampahan dan memelihara kebersihan kota.
Hari-hari ini, isu politisasi dalam kasus sampah ini mencuat di beberpa milis. Di sana dilansir, ada dugaan masalah sampah sengaja di-blow up untuk menjegal Walikota menuju periode kedua, atau menutup peluang menuju kandidat gubernur Jabar. Tudingan itu boleh-boleh saja. Itulah demokrasi, dan itulah konsekuensi buat figur pejabat publik. Tidak ada yang salah andai pun masalah ini merasuk ranah politik. Justru, kandidat lain atau oposasn harus bisa mengemas isu itu demi sukses (tentu kelak kekeliruan serupa tidak diulangi). Wajar kan?
Sudah saatnya, kita mengajak warga meningkatkan kesadaran politiknya. Di antaranya dengan mengerti secara komprehensif tokoh-tokoh politik atau pejabat publik. Dengan demikian, ketika tiba saatnya pesta demokrasi, konstituen dapat mengenali calon. Figur yang dinilai baik dan sukses di bidangnya akan diidolakan, sebaliknya kita harus ajak pemilih menolak calon yang gagal. Gagal menjaga hal-hal yang dinginkan khalayak ramai, seperti semboyan yang digaungkan sedari kita TK: kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kekeluargaan.
Ajakan berpolitik dan menentukan pilihan secara apa adanya, bukan soal suka tidak suka kepada orang per orang. Lebih utuh lagi, sebagai cerminan kedewasaan berpolitik baik bagi konstituen, maupun kandidaat. Ini juga pembelajaran buat pejabat publik, siapa pun orangnya, agar lebih tegas dan serius menangani hak-hak publik. Walau tanpa mengenyampingkan perasaan krisis, dia tidak harus penakut. Bukan pula peragu mengambil kebijakan kalau itu demi kepentingan umum, kendatipun mendapat perlawanan seperti unjuk rasa segelintir warga. Kita butuh sosok yang tegas, berani dan lugas (tidak sama dengan diktator) memutuskan sesuatu yang propublik. (*)
Politisasi Sampah Mengapa Tidak?
Oleh Domuara Ambarita
BANDUNG kota metropolitan terkotor. Kota kembang menyandang predikat negatif ini bersama Kota Bekasi. Untuk kota besar status itu diterima Kota Banjarmasin dan Kabupaten Tangerang. Penetapan kota metropolitan dan kota besar terkotor dilakukan dalam acara malam anugrah penghargaan lingkungan dan Adipura di Jakarta, Senin (12/6).
Banyak kalangan menilai wajar predikat kota terkotor disandang Bandung. Sebab dalam kurun 16 bulan ke belakang, pascalongsor TPA Leuwigajah yang menewaskan lebih 100 orang, Februari 2005, Bandung nyaris tak lepas dari persoalan penumpukan sampah. Bau busuk pun merebak di seluruh sudut kota yang mengambil misi sebagai kota jasa: turisme dan pendidikan.
Wakil Gubernur Jabar, H Nu'man Abdul Hakim, di antaranya berterus terang mengaku malu dengan predikat kota terkotor. Karena itu, ia meminta kasus ini hendaknya dijadikan pembelajaran bagi seluruh pemerintah daerah di Jawa Barat. Jika pemerintah daerah berhasil membuat kota bersih, tentu mereka akan mendapat reward.
style="font-size:85%;">
Namun ada juga yang tak setuju Bandung kota 'bau'. Walikota Bandung, Dada Rosada, misalnya. Ia berdalih, 'Kalau Bandung disebut kota terkotor berarti seluruh sudut kota kotor dan bau, padahal kenyataaanya jalan-jalan masih banyak yang bersih.'
Atas inisiatif sendiri atau entah ada yang menggerakkan, Senin lalu ada unjuk rasa yang seakan membela walikota, menolak Bandung diganjar Kota Metropolitan terkotor se-Indonesia. Mereka merasa terhina. Entah apa pula paramater digunakan sehingga masih menampik kota ini berlabel kotor. Entahlah.
Barangkali sebagian dari kita masih suka berpura-pura. Munafikkah?
Mendebat apakah predikat terkotor sudah objektif atau tidak, mungkin tak pernah berujung. Pro-kontra bisa berlangsung lama. Kalau demikian adanya, mengapa walikota tidak mengalihkan energi dari kesia-siaan belaka ke arah positif.
Mengaku sajalah keliru, lalu minta maaf kepada publik selaku pembayar pajak/retribusi sembari berjanji menghimpun segala potensi untuk sungguh-sungguh mengatasi persampahan dan memelihara kebersihan kota.
Hari-hari ini, isu politisasi dalam kasus sampah ini mencuat di beberpa milis. Di sana dilansir, ada dugaan masalah sampah sengaja di-blow up untuk menjegal Walikota menuju periode kedua, atau menutup peluang menuju kandidat gubernur Jabar. Tudingan itu boleh-boleh saja. Itulah demokrasi, dan itulah konsekuensi buat figur pejabat publik. Tidak ada yang salah andai pun masalah ini merasuk ranah politik. Justru, kandidat lain atau oposasn harus bisa mengemas isu itu demi sukses (tentu kelak kekeliruan serupa tidak diulangi). Wajar kan?
Sudah saatnya, kita mengajak warga meningkatkan kesadaran politiknya. Di antaranya dengan mengerti secara komprehensif tokoh-tokoh politik atau pejabat publik. Dengan demikian, ketika tiba saatnya pesta demokrasi, konstituen dapat mengenali calon. Figur yang dinilai baik dan sukses di bidangnya akan diidolakan, sebaliknya kita harus ajak pemilih menolak calon yang gagal. Gagal menjaga hal-hal yang dinginkan khalayak ramai, seperti semboyan yang digaungkan sedari kita TK: kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kekeluargaan.
Ajakan berpolitik dan menentukan pilihan secara apa adanya, bukan soal suka tidak suka kepada orang per orang. Lebih utuh lagi, sebagai cerminan kedewasaan berpolitik baik bagi konstituen, maupun kandidaat. Ini juga pembelajaran buat pejabat publik, siapa pun orangnya, agar lebih tegas dan serius menangani hak-hak publik. Walau tanpa mengenyampingkan perasaan krisis, dia tidak harus penakut. Bukan pula peragu mengambil kebijakan kalau itu demi kepentingan umum, kendatipun mendapat perlawanan seperti unjuk rasa segelintir warga. Kita butuh sosok yang tegas, berani dan lugas (tidak sama dengan diktator) memutuskan sesuatu yang propublik. (*)
- * Tribun Jabar (20/06/2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar