Kereng Pangi Belum Padam, Sampit Membara
"Mahalau Ma, Ike tuh uluh itah kia" (Numpang lewat Ma, kami orang sini juga).
BERKECAMUKNYA peristiwa berdarah di Kereng Pangi, medio Desember 2000, belum hilang dari ingatan warga Kalimantan Tengah. Luka menganga yang tercabik-cabik oleh perseteruan saudara sebangsa setanah air pun belum terobati. Bak api dalam sekam, amarah tetap membara. Hanya selang dua bulan tepatnya Minggu (18/2) dini hari, muncul kasus serupa di wilayah yang sama Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalteng. Bagaimana gambaran terkini di sana, berikut tulisan wartawan Banjarmasin Post Domuara Ambarita, dari lokasi kerusuhan.
MEMUTUSKAN meliput langsung pertikaian berbau etnis yang melibatkan masyarakat Madura dan Dayak di Sampit, bagi empat wartawan BPost di Kantor Biro Palangka Raya tidak mudah. Beberapa kali rencana, bahkan sudah pamitan hendak bertolak, selalu gagal. Alhasil, kami hanya mendengar isu ke isu. Tentu menyajikan berita pun sebatas konfirmasi dan statement pejabat. Apalagi setelah rekan kami, H Badri yang bertugas di Sampit, tak lagi `leluasa' turun lapangan. Sebab posisinya `terancam' di tengah kota porak-poranda, membara. Pasalnya menyangkut keamanan jiwa.
Di Palangka Raya, ibukota Kalteng beragam isu berseliweran. Baik tentang situasi pertikaian di lapangan, jumlah korban, keadaan masyarakat atau pejabat serta gambaran lain. Kabar rasional, irasional atau menyeramkan mistik. Pokoknya menyeramkan.
Situasi ini menggugat naluri kewartawanan. (Tentu) dengan motivasi rekan-rekan dan seizin mabes di Banjarmasin, maka Jumat (23/2) pukul 10:45 WIB, bertolak dari Palangka Raya menuju Sampit. Dengan perlengkapan seadanya, pakaian hanya lengket di badan dan dalih misi kemanusiaan, rombongan 15 wartawan lokal, nasional dan luar negeri membawa satu pick up mi instan dan minuman mineral meluncur ke pusat konflik, Sampit.
Bertindak sebagai pimpinan rombongan merangkap juru bicara sekaligus penerjemah, Sutransyah Ketua PWI Cabang Kalteng yang juga wartawan BPost di Palangka Raya.
Hingga menempuh jarak 80-an km, iring-iringan empat mobil rombongan masih dapat dipacu. Begitu memasuki kawasan Kasongan, 86 km sebelah barat laut Palangka Raya, laju kendaraan drastis turun sampai ke titik nol.
Soalnya memasuki Kelurahan Kasongan Baru, tepatnya di pertigaan jalan menuju Palangka Raya, Kasongan Baru dan Kereng Pangi, sekelompok orang tampak dengan gagah berani berjaga-jaga di tengah jalan. Begitu merapat, rombongan dicegat. Tampak agak curiga, belasan laki-laki tua dan muda dilengkapi senjata tajam, berupa mandau, tombak, panah sampai dengan senjata api dum-duman semuanya dihiasi pita warna merah, mendekati mobil rombongan.
Meski demikian, dengan ramah mereka menyilakan rombomgan PWI plus ini meluncur. Tentu dihului salam berupa pasword bahasa daerah dari Sutransyah. "Mahalau Ma, Ike tuh uluh itah kia" (Numpang lewat Ma, kami orang sini juga- Red). Demikian kerap diucapkan Sutransyah yang juga wartawan harian ini di Palangka Raya.
Kemudian disambut mereka yang berjaga-jaga tadi: "Ayo bei, indai damai tuh," (Silakan, kerusuhan belum reda juga, Red) jawab mereka. Jarak sekitar 150 meter, kemudian selang 500 meter di pertigaan menuju Sampit, perkataan serupa terulang.
Sutransyah menjelaskan inti dialog tadi. Ia mohon permisi melintas, seraya mengaku sebagai putra Dayak. Tujuan hendak menjemput keluarga di Sampit. Sedangkan balasan dari yang berjaga-jaga, silakan saja. Tetapi belum damai. Artinya situasi dan pertikaian di Sampit masih berkecamuk.
Sepanjang jalan menuju Sampit, semua wartawan di rombongan kami pada posisi buritan, sepakat memperhatikan hal-hal menarik. Termasuk mencatat sekitar 52 pos yang dinamai Pos Dayak atau Laskar Dayak. Penjagaan dengan persenjataan lengkap. Tak luput memperhatikan wanita, nenek-nenek turut menenteng senjata, seperti tampak di Desa Luwuk Bunter.
Memasuki Kereng Pangi, Jalan Raya Sampit-Palangka Raya Km 19, pengguna jalan raya kian ramai. Ada satu ciri-ciri unik, yakni setiap kendaraan mengibarkan bendera atau kain hitam, pelintas mengenakan pita merah atau kuning. Kalau berpapasan meski mengacungkan tangan atau sapaan "Hidup Dayak....."
Sementara itu, di kiri dan kanan jalan masih tampak jelas puing-puing rumah atau bangunan yang konon terbakar hangus pada puncak kerusuhan Desember silam. Sebagian puing-puing masih berdiri, lainnya rata dengan tanah. Melintas lebih jauh, kobaran api mulai tampak dan situasi kian menegangkan.
Memasuki wilayah Kecamatan Cempaga, situasi kian seram. Sementara arus massa kian padat, rentetan pembakaran rumah-rumah penduduk terjadi, kepulan asap secara jelas tampak di depan. Tak terlalu jauh, kepulan asap masih terus membubung dari sisa-sisa salah satu rumah, akibat aksi pembakaran oleh massa. Menjelang Desa Parit, asap juga masih mengepul di tiga rumah warga pendatang di sana.
Pada pukul 13:50 WIB, saat rombongan meluncur di Desa Rubung Buyung, melihat kepulan asap melangit lagi arah depan, arah Sampit. Sesampainya di pemukiman warga di Desa Patai, kobaran api kami saksikan melahap dua rumah milik warga pendatang (sebutan penyamaran untuk Madura). Satu rumah dari kayu satunya lagi dari beton permanen atap sirap.
Menurut Effendi warga Desa Patai RT 6, aksi pembakaran dilakukan massa yang hilir mudik sepanjang siang itu. "Yang melakukan pembakaran, orang melintas," ucapnya dimintai informasi sambil menyaksikan lidah api menjilat satu per satu bagian rumah itu. Rumah korban itu adalah milik Saniman dan Mathalil, keduanya warga pedatang yang telah mengungsi ke Sampit.
Dari Effendi diketahui, massa bergerak selalu menyerukan pembumihangusan rumah-rumah pendatang, etnis tertentu, tanpa alasan jelas, Effendi yang juga warga lokal mengaku tak tahu banyak. Hanya wartawan juru foto, baik media cetak maupun elektronik, dibolehkan mengabadikan kobaran api tersebut.
Rumah-rumah warga pendatang di Desa Cempaka Mulia Barat tampaknya tak lepas dari sasaran keberingasan massa. Sedikitnya 20 unit rumah hangus terbakar. Semuanya tampak rata dengan tanah, karena memang terbuat dari kayu.
Membara, sepertinya kata ini tak berlebihan diucapkan. Memasuki Bajarum Kecamatan Kota Besi Hulu, sedikitnya dari 32 rumah warga masih mengepul karena beberapa menit sebelumnya dibakar massa penduduk lokal. Satu sawmill beserta kayu-kayumya terletak di areal seluas sekitar 500 persegi, ikut dilahap si jago merah.
Jhony seorang penduduk lokal dengan madau di pinggang dan tombak di tangan kiri mengatakan, rumah dibakar setelah kosong. Dikhabarkan, para pemilik rumah itu telah diungsikan aparat ke kota Sampit.
Sedangkan puluhan rumah 1 km menjelang Baamang Sampit Kota Mentaya, juga mengalami hal serupa. Rumah-rumah di tengah kebun nenas dan kelapa sawit, tinggal puing-puing dan arang. Kondisinya sudah tak membara. Diperoleh informasi, pembakaran dilakukan pada Rabu (21/2) atau Kamis (22/2).
Di kota Sampit sendiri, persisnya dipandang dari Jl Sampurna tampak kelam. Pekatnya kepulan asap di sebelah barat, kemudian pelabuhan arah timur kota membuat kota ini tampak gelap-gulita walau baru pukul 17:30 WIB.
Di tengah gegap-gempitanya para petugas keamanan, seperti dari satuan 621/Manuntung Kalsel, Satuan Brimob Polri yang jumlah ratusan, aksi sweeping terhadap etnis tertentu terus dilakukan penduduk lokal yang sudah dari beberapa daerah tingkat dua se Kalteng bahkan dari Kalimantan Barat.
Di pusat kota, tampak ribuan pengungsi dipusatkan di kantor Pemkab, gedung DPRD dan Mapolrtes setempat. Sedangkan di beberapa ruas jalan seperti Jalan A Yani, S Parman, Tjilik Riwut, RA Kartini tampak bangkai-bangkai perabot dan harta benda hangus terbakar berserakan di jalan. Misalnya sepeda motor, becak, sepeda, juga barang elektronik.
Aksi pembakaran pun terus terjadi, hingga pukul 22:00, Kota Sampit masih `diterangi' cahaya si jago merah. Ini tampak di depan kantor Depag setempat, persis di tengah kota. Kemudian ke arah Jalan A Yani di sekitar pelabuhan Sampit. (*)
Banjarmasin Post, 25/02/2001
Sabtu, 15 September 2007
Posted by domu.damianus.ambarita.blog at 9/15/2007 10:18:00 PM
Labels: Sampit Mangayau
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar