SOROT
Komoditas Unggulan
Domuara Ambarita
PERBINCANGAN seputar fobia terhadap globalisasi dan persaingan bebas masih sayup-sayup terdengar. Padahal, ini tidak mesti ditakuti. Seperti dikatakan Sudhamek Agoeng, CEO Garuda Food Group pada suatu kesempatan, pasar mendunia ini justru harus dianggap peluang yang semakin meluas, mendunia.
Kita dapat memasarkan produk ke mana saja, tanpa harus disekat-sekat. Bebas ekspor ke negeri mana pun. Tidak dibatasi. Kepentingan politik atau alasan proteksi industri/ekonomi bangsa sekalipun tidak mempan lagi mengungkung perdagangan bebas. Tarif dieliminasi, beban bea masuk ekspor/impor pun mulai dihapus.
Kini, satu-satunya hambatan adalah seberapa kuat daya saing industri atau perusahaan sendiri? Mampu atau tidak satu perusahaan hasilkan komoditas unggulan terhadap produk sejenis buatan pesaingnya.
Dalam era persaingan sempurna ini, semua produsen/pedagang/industri atau pengusaha sah-sah saja menjual barangnya di negara mana pun juga. Syaratnya, asal komoditasnya diminati konsumen. Harganya bersaing (baik jika lebih murah) dan kualitas memuaskan, jadi ukuran pertama dan utama.
Saat ini ada syarat lain. Terkait merebaknya ancaman-ancaman terorisme, beberapa negara membuat aturan bioterorisme. Aturan yang mensyaratkan satu komoditas bebas atau minim mengandung bakan kimia, apalagi ada kemungkinan unsur bahan peledak.
Memang perekonomian kita masih tetap prihatin. Sektor riil belum semua sungguh-sungguh bangkit pascakrisis moneter tujuh tahun silam. Namun sebagian masih membanggakan, seperti keramik produksi Sawargi Itong Saputra yang mampu menembus pasar ekspor.
Adalah prestasi luar biasa, bila keramik buatan Jabar ini diterima di daratan Eropa: Belanda dan Prancis, serta di benua Amerika: Argentina dan Meksiko.
Kok mampu bersaing ya di pasaran dunia? Hj Nani, pemilik Sawargi Itong Saputra menuturkan siasatnya. Memproduksi cara tradisional, pilihan desain, lukisan dan warna dibuat menarik. Itulah kelebihannya sehingga unggul dari produk lain, termasuk keramik asal Cina yang membanjiri pasar lokal.
Sayang kapasitas produksi masih terbatas, sehingga produsen kewalahan memenuhi demand. Agar produk unggulan seperti industri keramik ini berkembang baik dan negara meraup dolar, mestinya tidak ada keraguan kalangan perbankan untuk mengucurkan kredit ke sektor ini. Kendati industri kecil, lebih tepat rasanya menyalurkan pinjaman kepada sektor riil yang mampu mengekspor daripada menumpuk utang konglomerat hitam. (*)
* Tribun Jabar (30/08/2004)
Sabtu, 15 September 2007
Posted by domu.damianus.ambarita.blog at 9/15/2007 10:06:00 PM
Labels: Gagas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar