Biniku Dayak Mandomai
MAWAN, seorang kakek renta harus menderita akibat pertikaian antaretnis yang meledak di Kuala Kapuas, Kamis (22/3). Seorang laki-laki kakek 16 cucu, tertatih-tatih bersembunyi di gubuk di hutan karet Desa Sei Pasah Dalam, selama dua hari.
Kelahiran Modi Kaulu, Sampang Pulau Madura, ini sejak Kamis pagi mengungsi, meninggalkan rumahnya di Desa Sei Pasah RT XI. Itu, bersamaan meletusnya pertikaian yang menelan banyak korban jiwa.
Mengungsi, baginya bukanlah pilihan. "Aku disuruh Arwin keluar. Mengambil pakaian saja tidak sempat, ditendangnya pintu lalu dipaksa lari," tutur Mawan, dalam perjalanan di Jalan Sei Pasah Darat menuju Mapolres Kapuas, Sabtu (24/3).
Armin adalah anak sulung Mawan dari perkawinannya dengan Umun, putri Dayak Mandomai. Hingga Sabtu, guru Madrasah di RT XI, ini masih kabur ke hutan bersama lima orang kawannya.
Sebelum meninggal sekitar 20 tahun silam, istrinya sempat memberinya dan membesarkan tiga keturunan. Anak kedua, Judi alias Atang berdiam di Kapuas. Dan, bungsunya, Buha tinggal mewarisi rumahnya di Mandomai.
"Biniku orang Dayak Mandomai. Kuburannya di sana. Anak-anak juga lahir dan besar di sini (Kalimantan, Red)," kata Mawan dalam bahasa Banjar yang lancar, samar dari logat Madura.
Itulah salah satu alasan dia, enggan diungsikan dari wilayah Kapuas yang ditempatinya sejak akhir 1940-an, setelah kemerdekaan RI.
Dia meminta tetap bertahan di Kapuas. Sekalipun masih mempunyai kerabat dua orang --adiknya perempuan dan seorang lainnya laki-laki di tanah kelahirannya, dia menolak dievakusi ke Madura.
Mawan dijemput petugas Polres setempat dari gubuk milik Syahran, suku Banjar. Mengenakan peci, celana pendek hitam, kemeja lengan pendek biru dan sarung menggantung di leher. Di lantai gubuk `deritanya' tasbih kristal kehijau-hijauan melingkar.
Konstruksi gubuk panggung ukuran sekitar 1,5 X 2 meter berdiri di atas sungai rawa-rawa. Tiangnya kayu bulat, atap ilalang, di alas ada lima lembar papan usang berlapuk. Tepat di pinggir selatan kebun karet tumpang sari tanaman rambutan.
Dia berhasil ditemukan dalam upaya pencarian dan penyelamatan warga pendatang. Suatu operasi yang diyakini ada sebagian warga melarikan diri ke hutan atau lokasi yang dianggap aman dari pengejaran etnis Dayak, dalam pertikaian berdarah.
Dalam pengawalan ketat menuju ibu kota Kapuas, Mawan menyaksikan puing-puing puluhan rumah rata dengan tanah akibat dibakar. Menurut Angling, aparat dari Kelurahan Sei Pasah, jumlah hunian terbakar di RT X dan RT XI sebanyak 71 rumah. Termasuk rumah Arwin, hunian terakhir di RT XI sebelum dia mengungsi.
Wajahnya tiba-tiba tampak memucat, termenung dengan mata berkaca-kaca. "Aduh... semua habis dicucul (dibakar, Red)," ucapnya ketika melintasi perkampungannya di KM 6.
Satu regu anggota Polres Kapuas yang berhasil menyelamatkan Mawan, melakukan penyisiran saat itu. Kasat Serse Iptu Polisi Berry, yang sebelumnya memimpin operasi di Jl Sei Pasah Darat membagi tim. Satu regu berserta aparat TNI, menyisir sampai ke pedalamam sekitar 10 kilometer dari jalan protokol, belakangan menemukan Mawan.
Setelah berhasil meyakinkan warga, Asui (20) penduduk RT XI Sei Pasah Dalam, menunjukkan gubuk persembunyian Mawan kepada polisi.
Dari pengakuan laki-laki berdarah Banjar ini, di wilayah permukimannya ada beberapa warga pendatang melarikan diri.
Pengakuan Mawan dan penuturan Usai, kakek 16 cucu dari ketiga anaknya, selama di persembunyian dia mengenakan sepasang pakaian yang melekat di badan. Masih di gubuk itu, dia tidak pernah menikmati santapan lezat.
Kalaupun ada makanan, hanya ala kadarnya yang disumbangkan warga sekitar. Misalnya, sehari sebelum penyelamatan atas dirinya, dia hanya makan lima buah pisang pemberian Usai. Sedangkan saat penemuan dirinya, Mawan mengaku belum menikmati sesuap pun nasi. (dla)
* Banjarmasin Post, 27/03/2001
Sabtu, 15 September 2007
Posted by domu.damianus.ambarita.blog at 9/15/2007 10:19:00 PM
Labels: Sampit Mangayau
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar