Malinkundang Malu Mengaku Wong Deso
DALAM pengantar buku Culture Matters: How Values karya Lawrence Horrison dan Samuel Huntington tahun 2000, Huntington mengatakan, nilai budaya berperan penting bagi kemajuan bangsa.
Ada beberapa negara yang berkembang pesat karena didorong budaya. Misalnya, Cina, Jepang, Korea dan India.
Tiga nama negara terdahulu merupakan bangsa-bangsa dari orang-orang berkulit langsat. Mereka masih tetap menjunjung tinggi bahasa setempat, nama dengan marga, dan budaya lokal. Budaya dan kebiasaan mereka ternyata dapat beradaptsi dengan globalisasi. India dengan atribut dan pakaian yang khas/unik di dunia, kini menjadi negara maju dalam hal teknologi informasi.
Shinto di Jepang misalnya, hari raya memperingati/penyembahan arwah para leluhur seprti juga dikenal di banyak kalangan, seperti 'mangolkal holi' (menggali tulang-belulang leluhur dari liang kubur dinaikkan kepada bangunan tugu dalam suku Batak (Parmalim), atau Tiwah (mengangkat tulang-belulang leluhur dan disimang di atas para) pada Kaharingan (Hindu) di Kalimantan. Hal sama dilakukan di Toraja.
Selain menjadi khanasan budaya, ritual itu dapat menambah aneka ragam tradisi yang menambah eksotisme bangsa. Seperti halnya atraksi budaya Bali yang laris manis dijual ke kalangan pelancong asing untuk meraup dolar.
Bukti lain positifnya daya dobrak budaya adalah, pesatnya perkembangan tekonologi yang berimbas pada perekonomian Korea Selatan. Pada tahun 1960, kondisi Korsel (Asia) masih sederajat dengan Ghana (Afrika), namun 40-an tahun ke belakang, Korea melesat menjadi kekuatan ekonomi dunia dengan teknologi mutakhir.
Huntington mengatakan, di Korea berkembang nilai-nilai budaya yang membuat warganya tumbuh maju. Di antara nilai-nilai itu adalah pendidikan, disiplin, menghargai waktu, dan orientasi pada kemajuan.
Tradisi atau adat-istiadat yang lintas agama. Jika belakangan agama cenderung menjadi pemantik perselisihan, ketika keberagaman dianggap aneh dan orang yang tidak sealiran dengan kita adalah musuh yang memicu radikalisme bahkan sampai baku bunuh, maka gugatan seperti apakah pesan kenabian sesungguhnya yang diusung agama kian ramai diwacanakan.
Karena Agama menyangkut keyakinan dogmatis sehingga agak sensitif dan ternyata sulit diperdebatkan, mari kita cari formula alternatif penyelesaian masalah. Mencar-cari kunci jawaban yang efektif, menjadi perekat yang mengakar. Pola komunal Ambon yang dirajut dalam Pelagandong, kendati sempat tercabik-cabik oleh konflik bernuansa agama, perlu digelorakan kembali.
Di tanah dan bangsa Batak, ada yang disebut kekerabatan Dalihan Na Tolu. Dalihahan = tungku, alat penyangga priuk di atas lidah/bara api, Na Tolu = Bertiga/segitiga/tiga kaki. Arti harfiahnya, Tiga Serangkai yang kokoh, manunggal, tidak terpisahkan.
Apa saja unsur tiga serangkai itu? Elek Marboru (sayang, penyabar, mengayomi perempuan (menantu laki-laki berikut cucu-cucu dari anak perempuan, tergolong Boru); Hombar Mardongan Tubu (menjalin hubungan harmonis dengan saudara laki-laki, semarga berikut anak-anak dan keluaranya); serta Somba Marhula-hula (hormat, santun, dan menghargai pihak keluarga istri).
Jauh sebelum masuk agama-agama dari Timur Tengah ke Nusantara, para leluhur melandasi hidup dan kekerabatan dengan prinsip itu. Bila Dalihan Natolu dipedomani, niscaya kedamaian dan keseraian hidup akan terbina terus. Jauh dari konflik. Kalaupun ada, persoalan akan dapat diatasi dengan penuh persaudaraan, yang dalam bahasa biblisnya disebut kasih sayang, atau qurani menyebut silaturahim.
Dunia semakin berkembang, teknologi berkembang, komunikasi dna transportasi lancar, makan mobilitas warga pun kian tinggi. Kaum emigran atau perantau makin menyebar, di mana di satu tempat belum ditemukan banyak saudara-kerabat, sehingga bisa saja tidak cukup hanya mengandalkan Hukum Dalihan Natolu.
Maka di perantauan, konsep ini diperluas menjadi Dalihan Natolu Plus. Selain tiga unsur kekerabatan tadi, ditambahkan satu lagi tetangga. Ini mengutip perumpaan, "Solhotpe pe Mardongat Tubu, Solhotan do hombara jabu." Kendati kita punya kerabat yang baik dan terbina hubungan serasi, namun jika kita tinggal berjauhan, tentu saja kondisi sehari-hari susah terpantau. Andai ada kemalangan, kecelakaan, atau musibah, tentu tetangga (hobar jabu) lah yang lebih duluan tahu, daripada keluarga tadi. Untuk itu, kita pun dianjurkan membina hubungan yang baik dengan tetangga. Entah tetangga di sekitar rumah/kediaman, kampung, juga rekan sekantor.
Tradisi, budaya dan kearifan lokal seperti ini, mestinya tidak dikucilkan. Jangan dianggap kuno, dan kolot apalagi diharamkan selanjutnya dimusihi dan dibinasakan. Pegiat tradisi pun jangan pula malu menjunjung nilia-nilai tradisionalnya. Mari terus terapkan dengan baik dan bijak, beradaptasi dengan alam sekitar dan dunia luar, sehingga tidak menjadi bulan-bulanan kaum moderat. Jangan seperti dongen Malinkundang, yang terkutuk akibat malu mengaku wong deso. Ayo kamu bisa! Tunjukkan, kalau wong deso pun mampu bersaing dengan warga metropolitan!!!
DALAM pengantar buku Culture Matters: How Values karya Lawrence Horrison dan Samuel Huntington tahun 2000, Huntington mengatakan, nilai budaya berperan penting bagi kemajuan bangsa.
Ada beberapa negara yang berkembang pesat karena didorong budaya. Misalnya, Cina, Jepang, Korea dan India.
Tiga nama negara terdahulu merupakan bangsa-bangsa dari orang-orang berkulit langsat. Mereka masih tetap menjunjung tinggi bahasa setempat, nama dengan marga, dan budaya lokal. Budaya dan kebiasaan mereka ternyata dapat beradaptsi dengan globalisasi. India dengan atribut dan pakaian yang khas/unik di dunia, kini menjadi negara maju dalam hal teknologi informasi.
Shinto di Jepang misalnya, hari raya memperingati/penyembahan arwah para leluhur seprti juga dikenal di banyak kalangan, seperti 'mangolkal holi' (menggali tulang-belulang leluhur dari liang kubur dinaikkan kepada bangunan tugu dalam suku Batak (Parmalim), atau Tiwah (mengangkat tulang-belulang leluhur dan disimang di atas para) pada Kaharingan (Hindu) di Kalimantan. Hal sama dilakukan di Toraja.
Selain menjadi khanasan budaya, ritual itu dapat menambah aneka ragam tradisi yang menambah eksotisme bangsa. Seperti halnya atraksi budaya Bali yang laris manis dijual ke kalangan pelancong asing untuk meraup dolar.
Bukti lain positifnya daya dobrak budaya adalah, pesatnya perkembangan tekonologi yang berimbas pada perekonomian Korea Selatan. Pada tahun 1960, kondisi Korsel (Asia) masih sederajat dengan Ghana (Afrika), namun 40-an tahun ke belakang, Korea melesat menjadi kekuatan ekonomi dunia dengan teknologi mutakhir.
Huntington mengatakan, di Korea berkembang nilai-nilai budaya yang membuat warganya tumbuh maju. Di antara nilai-nilai itu adalah pendidikan, disiplin, menghargai waktu, dan orientasi pada kemajuan.
Tradisi atau adat-istiadat yang lintas agama. Jika belakangan agama cenderung menjadi pemantik perselisihan, ketika keberagaman dianggap aneh dan orang yang tidak sealiran dengan kita adalah musuh yang memicu radikalisme bahkan sampai baku bunuh, maka gugatan seperti apakah pesan kenabian sesungguhnya yang diusung agama kian ramai diwacanakan.
Karena Agama menyangkut keyakinan dogmatis sehingga agak sensitif dan ternyata sulit diperdebatkan, mari kita cari formula alternatif penyelesaian masalah. Mencar-cari kunci jawaban yang efektif, menjadi perekat yang mengakar. Pola komunal Ambon yang dirajut dalam Pelagandong, kendati sempat tercabik-cabik oleh konflik bernuansa agama, perlu digelorakan kembali.
Di tanah dan bangsa Batak, ada yang disebut kekerabatan Dalihan Na Tolu. Dalihahan = tungku, alat penyangga priuk di atas lidah/bara api, Na Tolu = Bertiga/segitiga/tiga kaki. Arti harfiahnya, Tiga Serangkai yang kokoh, manunggal, tidak terpisahkan.
Apa saja unsur tiga serangkai itu? Elek Marboru (sayang, penyabar, mengayomi perempuan (menantu laki-laki berikut cucu-cucu dari anak perempuan, tergolong Boru); Hombar Mardongan Tubu (menjalin hubungan harmonis dengan saudara laki-laki, semarga berikut anak-anak dan keluaranya); serta Somba Marhula-hula (hormat, santun, dan menghargai pihak keluarga istri).
Jauh sebelum masuk agama-agama dari Timur Tengah ke Nusantara, para leluhur melandasi hidup dan kekerabatan dengan prinsip itu. Bila Dalihan Natolu dipedomani, niscaya kedamaian dan keseraian hidup akan terbina terus. Jauh dari konflik. Kalaupun ada, persoalan akan dapat diatasi dengan penuh persaudaraan, yang dalam bahasa biblisnya disebut kasih sayang, atau qurani menyebut silaturahim.
Dunia semakin berkembang, teknologi berkembang, komunikasi dna transportasi lancar, makan mobilitas warga pun kian tinggi. Kaum emigran atau perantau makin menyebar, di mana di satu tempat belum ditemukan banyak saudara-kerabat, sehingga bisa saja tidak cukup hanya mengandalkan Hukum Dalihan Natolu.
Maka di perantauan, konsep ini diperluas menjadi Dalihan Natolu Plus. Selain tiga unsur kekerabatan tadi, ditambahkan satu lagi tetangga. Ini mengutip perumpaan, "Solhotpe pe Mardongat Tubu, Solhotan do hombara jabu." Kendati kita punya kerabat yang baik dan terbina hubungan serasi, namun jika kita tinggal berjauhan, tentu saja kondisi sehari-hari susah terpantau. Andai ada kemalangan, kecelakaan, atau musibah, tentu tetangga (hobar jabu) lah yang lebih duluan tahu, daripada keluarga tadi. Untuk itu, kita pun dianjurkan membina hubungan yang baik dengan tetangga. Entah tetangga di sekitar rumah/kediaman, kampung, juga rekan sekantor.
Tradisi, budaya dan kearifan lokal seperti ini, mestinya tidak dikucilkan. Jangan dianggap kuno, dan kolot apalagi diharamkan selanjutnya dimusihi dan dibinasakan. Pegiat tradisi pun jangan pula malu menjunjung nilia-nilai tradisionalnya. Mari terus terapkan dengan baik dan bijak, beradaptasi dengan alam sekitar dan dunia luar, sehingga tidak menjadi bulan-bulanan kaum moderat. Jangan seperti dongen Malinkundang, yang terkutuk akibat malu mengaku wong deso. Ayo kamu bisa! Tunjukkan, kalau wong deso pun mampu bersaing dengan warga metropolitan!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar