Rabu, 31 Oktober 2007

Rasul Alternatif (II)

PERKELAHIAN sengit tiba-tiba meletup. Seorang laki-laki paruh baya, sontak bangkit dari duduknya di bangku kayu panjang, menggenggam tangan sembari mengayun ke wajah lawan biacaranya yang tampak lebih tua. Sebelumnya mereka masih terbahak-bahak oleh lelucon gaya parmitu di warung kopi. Suasana sekejap berubah jadi tegang, emosi dan menyulut perkelahian sengit hanya gara-gara si paruh baya dikatai, "tidak beradat."

Itulah sepenggal cerita dari kejadian belasan tahun silam yang tetap tersimpan di ingatan saya. Bagi sebagian masyarakat etnis Batak, merasa sangat tersinggung bila disebut orang tidak tahu adat. Ketersinggungnya mencapai ubun-ubun, jauh melebihi emosi daripada ketika diperolok tidak beragama atau tak bertuhan.

Dalam kehidupan keseharian masyarakat Toba misalnya, memang waktu, tenaga, dan biaya banyak tersita untuk urusan adat. Apa pun agamanya, adat tidak terpisahkan dari kehidupan. Sedari hal-hal suca cita seperti kelahiran, dan perkawinan, hingga kemalangan misalnya meninggal, semuanya disertai acara adat: tinggal ukurannya kecil atau besar.


Biaya untuk adat misalnya membeli ulos (selendang tradisional), hidangan makan berikut aksesorinya berlipat ganda daripada biaya yang disumbangkan ke masjid, gereja, atau untuk urusan agama. Ya, terkesan kuno dan kontradiksi memang, tapi demikianlah faktanya.

Masih dalam kaitan kebertuhanan dan keberagamaan, belum lama, saya membaca artikel tentang faham tak bertuhan atau atheis. Dengan mengampanyekan platform mari menjauhi agama-agama yang dianggap justru sebagai pemicu utama konflik, permusuhan, kerusuhan, dan perang di muka bumi, komunitas ini berhasil menarik simpati orang lain dan populasinya terus bertambah.

Artikel ini menyedot konsentrasi. Segera setelah membaca, kekhawatiran memenuhi rongga dada. Sesak. Khawatir. Paradigma ini mempertajam lini penyerang kubu lawan yang sudah ada yakni kapitaliesme yang terus memperlemah religiositas penganut agama-agama dunia. Bila komunitas ini merger, akan hadir sesosok skuad lawan superpower yang antara lain dicirikan foya-foya, glamour, dan hedonisme.

Atheis dan kapitalisme global sama-sama menjadi ancaman serius pada kaum beragama. Komunitas atheis masuk lewat celah dishramoni agama-agama. Mereka gunakan zoom in sisi gelap agama-agama; kasih sayang memudar, toleransi mengendur, perang-pembunuhan meningkat dari para pelaku yang nyata-nyata beragama, bahkan coba mengambil dalih agama- Allah dalam membinasakan orang lain. Adapun kapitalisme menghamba pada uang atau harta.


Di tengah kondisi masyakar yang karut-marut terutama karena perekonomian yang belum kunjung baik, malah masih mengimpit, angka orang-orang yang kehilangan harapan terus meningkat. Orang bunuh diri senantiasi menghiasi media, orang gila makin banyak di jalanan, penjahat beranak-pinak.

Adakah kaitan krisis ini terhadap maraknya aliran-aliran yang tampil beda akhir-akhir ini? banyak orang tua risau karena anak-anak yang mereka sayangi meninggalkan rumah tanpa diketahui. Mereka diperkirakan mengikuti penyejuk hati baru. Bermunculan pula sosok beserta aliran yang mengklaim sebagai rasul atau nabi alternatif ala Ahmad Mushadeq dengan kendaraan Al-Qiyadah Al-Islamiayah, Lia Aminuddin dengan kedamaian Taman Eden-nya.

Betulkah ada pencarian sosok penasihat spiritual alternatif, ataukah ini mainan orang-orang yang berkepetingan untuk menguntungkan kelompok atau pribadi? Entahlah. Ketua Umum PP Muhammadiyah sudah berani menuding ada yang bermain untuk Pemilu 2009.

Andai itu tidak betul, analisisnya sebenarnya sederhana. Pertanyaan kita kembalikan kepada pemuka agama dan penganut-penganutnya. Apakah sudah betul menjalankan tugas untuk kedamaian, bukan kekacauan (baca: a = tidak, gama = kacau). Bukan pada tataran retorika transenden, tetapi praksis membumi.

Dalam konteks manusiawi, mengasihi sesama, toleransi atau pergaulan, tentu saja hubungan horizontal lebih prioritas. Apalah gunanya kita sabah waktu memuliakan atau bersyahadat untuk Allah, tetapi hati kita jauh darinya. Buat apa manis di mulut, pahit kenyataan.

Mulut sampai berbusa-busa mendengungkan cinta kasih atau kasih yang mengeratkan silaturahmi, tetapi ketika seorang hina dina datang mengiba untuk sesuap nasi, bantuan untuk kelaihran anak, pertolongan anaknya yang terjangkit tumor atau kanker, busung lapar, terancam putus sekolah, tetapi sang kaya raya menutup rapat pintu hatinya.

Data Merill Lynch menunjukkan angka spektakuler, orang kaya Indonesia melonjak, bahkan masuk di level terkaya Asean dan dunia. Ironisnya, angka kemiskinan masih tak terpei, mencapai penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta tahun ini. Dua kutub berjauhan.

Sesungguhnya, iman dan perbuatan pararel. Raga yang tanpa roh adalah jasat atau mati, demikian juga iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati atau kosong. Ironislah kiranya, kita mengaku sebagai masyarakat agamis jika tidak dibarengi perbuatan-perbuatan yang memanusiakan sesama manusia. Ingat manusia adalah sahabat bagi sesasama (homo homini socious), bukan saling memangsa seperti serigala (homo homini lupus). (Domuara Ambarita)

Tidak ada komentar: