UNTUNG tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Demikian pepatah zadoel yang sering dinasehatkan orangtua kepada anak yang suka grasa-grusu. Seseorang yang coba merancang dengan segala daya upaya untuk meraih keuntungan besar, tetapi mengabaikan aspek-aspek lain seperti spiritual.
Banyak pemuda berdarah muda dan panas, maunya menang sendiri di sisi lain mengenyahkan yang lain. Seakan bumi ini milik sendiri sedangkan yang lain indekos. Ini adalah milikku, itu adalah kepunyaanku, yang di sana adalah hakku, yang di sini milik orang tuaku, kelompokku, sedangkan yang lain punya apa-apa. Ya demikianlah kenyataannya. Serakah. Kemaruk.
Rasa menang sendiri ini sering kali menghindapi diri saya, juga mungkin Anda dan yang lain. Inginnya selalu pemenang, sedangkan yang lain pecundang. Ingin selalu untung, yang lain biarlah rugi tidak apa-apa. Ingin rasanya berjaya, yang lain biarlah merana. Tertawa di atas penderitaan orang lain.
Tidak sebatas keinginan menang atas orang lain, kadang-kadang nafsu besar pun rasanya ingin menempatkan kita pada posisi superordinat. Merangsang akal untuk mengalahkan segala- galanya, bila perlu mengabaikan mereka, termasuk benda-benda yang ktia yakini ada meskipun tak terlihat. Bahkan dalam hal peruntungan pun, seakan-akan semuanya didasarkan pada logika pikiran, tidak lagi mengenal sial, musibah, malang, tetapi menggantinya dengan prinsip semuanya bisa diatur.
Ketika darah panas menguasai sukmaku, belasan tahun lalu, saya pun pernah membantah, pembenaran orang-orang yang sedikit-sedikit mengatakan, aduh nasib-nasib. Kenapa mesti begini, nasib sial tidak berkesudahan.
Dulu, saya membantah juga, kalau kecelakaan lalu-lintas misalnya dikaitkan dengan nasib. Pikiran saya, janga-jangan karena pengendara/pemilik/sopir tidak hati-hati atau karena tidak pernah mengecek kelengkapan kendaraan seperti rem dll.
Ternyata nalar saya tak sepenuhnya betul. Banyak kejadian musibah, justru kendaraannya baru saja diservice, rem mantap dan semua sparepart prima. Kecelakaan terjadi di luar kendali manusia. Kesimpulan saya, sial memang tidak dapat ditolak. Kalau sudah sial, yah sial saja, paling upaya yang dapat dilakukan adalah banyak-banyak menyucikan sukma, dan iman lewat ritual kontempelasi, doa, dan sebagainya.
Sepekan lalu, saya menghadapi contoh musibah. Saat hendak pergi ke kantor, seperti biasa saya menunggang si Supra Fit. Saat melintas di Jalan Juanda Depok, menuju Margonda, saya disalib pengendara yang berboncengan dengan istri dan anak diapit. Entah sengaja atau tidak, saya sempat bergumam, "Wah, ayah yang tidak baik, kurang memedulikan anak bini. Berboncengan dengan anak bini kok masih ngebut." Saya menoleh jarum speedometer menunjuk angka 80.
Sambil berkata begitu, saya langsung terbayang ceceran darah dan tubuh manusia akibat kecelakaan. Seketika saya 'membelai' atau 'mengelus' dashboard si Supra, sembari berkata ya Tuhan, jauhkan bala dari saya dan kendaraan yang saya tumpangi ini. Cara itu sering saya lakukan jika kaget karena nyaris senggolan atau keserempet.
Eh, sekitar 5 menit kemudian, saya mengerem agak mendadak -tetapi tidak amat-amat terpaksa, karena satu Carry berhenti mendadak di depan, menjelang persimpangan di bundaran UI. Saya berhasil mehindari menubruk mobil di depan, dengan sedikit bermanuver ke kiri.
Eh, tiba-tiba, brukkkkkkkk.... Betis kanan saya seperti dihajar benda keras yang luar biasa dahsyat. Motor dalam kondisi berhenti, tiba-tiba melaju tak terkendali, dan terdorong kencarng, jatuh ke kiri dan menubruk trotoar sedangkan saya terlempar. Kaki seketika tak berdaya, seperti mati rasa, saya takut, kaki patah.
Sekejap orang-orang sudah berkerumun, sebagian membopong saya agar berdiri, sebagain lagi memabntu mendirikan sepeda motor. Laki-laki yang saya anggap 'kurang ajar' tadi, ternyata menubruk saya dari belakang. Emosi saya sempat hampir bangkit, tetapi luluh oleh jeritan tangis bocah laki-laki dan ibu yang mengaduh di belakang saya. Mereka yang menyalib saya tadi, belakangan menubruk saya dari belakang. Betapa sialnya saya.
Satu lagi, Senin (22/10) sekitar pukul 24.00, saya menyaksikan mobil MPV terbakar hebat di ruas jalan tol dekat pintu Tebet. Ada empat orang personle polisi, dan kerumunan massa hanya menonton karena tidak dapat melakukan apa-apa terhadap amukan api. Pemilik mobil tentu saja menyayangi kendaraan itu, dan dia tidak ingin harta bendanya sirna begitu saja. Tetapi apa boleh buat, itulah sial.
Saya tak dapat melupakan tradisi Amang dan Inang (ayah & bunda), ketika baru membeli kerbo biasanya memecahkah telur ayam kampung tepat di kepala kerbo kemudian ditaburi beras, dan diperciki air pangurason (air jeruk purut yang diyakini suci). Hal yang sama dianjurkan ketika, anak-anaknya membeli kendaraan bermotor, sepeda atau mobil.
Saya menangkapnya sebagai sugesti barangkali. Kalau orang menganggap itu musrik atau berhala terserahlah, saya melihatnya sebagai bentuk peneguhan hati/sukma/kalbu, setelah melakukan ritual itu, kita akan lebih yakin berkendara. Dengan yakin, konsentrasi, dan tentu berharap penyelenggaraan illahi, maka kita akan jauh dari kecelakaan. Itulah ritual semacam tolak bala. Suatu upaya sinkronisasi fisik, psikis, dan roh terhadap alat yang kita gunakan demi manfaat optimum. (domuara ambarita)
Banyak pemuda berdarah muda dan panas, maunya menang sendiri di sisi lain mengenyahkan yang lain. Seakan bumi ini milik sendiri sedangkan yang lain indekos. Ini adalah milikku, itu adalah kepunyaanku, yang di sana adalah hakku, yang di sini milik orang tuaku, kelompokku, sedangkan yang lain punya apa-apa. Ya demikianlah kenyataannya. Serakah. Kemaruk.
Rasa menang sendiri ini sering kali menghindapi diri saya, juga mungkin Anda dan yang lain. Inginnya selalu pemenang, sedangkan yang lain pecundang. Ingin selalu untung, yang lain biarlah rugi tidak apa-apa. Ingin rasanya berjaya, yang lain biarlah merana. Tertawa di atas penderitaan orang lain.
Tidak sebatas keinginan menang atas orang lain, kadang-kadang nafsu besar pun rasanya ingin menempatkan kita pada posisi superordinat. Merangsang akal untuk mengalahkan segala- galanya, bila perlu mengabaikan mereka, termasuk benda-benda yang ktia yakini ada meskipun tak terlihat. Bahkan dalam hal peruntungan pun, seakan-akan semuanya didasarkan pada logika pikiran, tidak lagi mengenal sial, musibah, malang, tetapi menggantinya dengan prinsip semuanya bisa diatur.
Ketika darah panas menguasai sukmaku, belasan tahun lalu, saya pun pernah membantah, pembenaran orang-orang yang sedikit-sedikit mengatakan, aduh nasib-nasib. Kenapa mesti begini, nasib sial tidak berkesudahan.
Dulu, saya membantah juga, kalau kecelakaan lalu-lintas misalnya dikaitkan dengan nasib. Pikiran saya, janga-jangan karena pengendara/pemilik/sopir tidak hati-hati atau karena tidak pernah mengecek kelengkapan kendaraan seperti rem dll.
Ternyata nalar saya tak sepenuhnya betul. Banyak kejadian musibah, justru kendaraannya baru saja diservice, rem mantap dan semua sparepart prima. Kecelakaan terjadi di luar kendali manusia. Kesimpulan saya, sial memang tidak dapat ditolak. Kalau sudah sial, yah sial saja, paling upaya yang dapat dilakukan adalah banyak-banyak menyucikan sukma, dan iman lewat ritual kontempelasi, doa, dan sebagainya.
Sepekan lalu, saya menghadapi contoh musibah. Saat hendak pergi ke kantor, seperti biasa saya menunggang si Supra Fit. Saat melintas di Jalan Juanda Depok, menuju Margonda, saya disalib pengendara yang berboncengan dengan istri dan anak diapit. Entah sengaja atau tidak, saya sempat bergumam, "Wah, ayah yang tidak baik, kurang memedulikan anak bini. Berboncengan dengan anak bini kok masih ngebut." Saya menoleh jarum speedometer menunjuk angka 80.
Sambil berkata begitu, saya langsung terbayang ceceran darah dan tubuh manusia akibat kecelakaan. Seketika saya 'membelai' atau 'mengelus' dashboard si Supra, sembari berkata ya Tuhan, jauhkan bala dari saya dan kendaraan yang saya tumpangi ini. Cara itu sering saya lakukan jika kaget karena nyaris senggolan atau keserempet.
Eh, sekitar 5 menit kemudian, saya mengerem agak mendadak -tetapi tidak amat-amat terpaksa, karena satu Carry berhenti mendadak di depan, menjelang persimpangan di bundaran UI. Saya berhasil mehindari menubruk mobil di depan, dengan sedikit bermanuver ke kiri.
Eh, tiba-tiba, brukkkkkkkk.... Betis kanan saya seperti dihajar benda keras yang luar biasa dahsyat. Motor dalam kondisi berhenti, tiba-tiba melaju tak terkendali, dan terdorong kencarng, jatuh ke kiri dan menubruk trotoar sedangkan saya terlempar. Kaki seketika tak berdaya, seperti mati rasa, saya takut, kaki patah.
Sekejap orang-orang sudah berkerumun, sebagian membopong saya agar berdiri, sebagain lagi memabntu mendirikan sepeda motor. Laki-laki yang saya anggap 'kurang ajar' tadi, ternyata menubruk saya dari belakang. Emosi saya sempat hampir bangkit, tetapi luluh oleh jeritan tangis bocah laki-laki dan ibu yang mengaduh di belakang saya. Mereka yang menyalib saya tadi, belakangan menubruk saya dari belakang. Betapa sialnya saya.
Satu lagi, Senin (22/10) sekitar pukul 24.00, saya menyaksikan mobil MPV terbakar hebat di ruas jalan tol dekat pintu Tebet. Ada empat orang personle polisi, dan kerumunan massa hanya menonton karena tidak dapat melakukan apa-apa terhadap amukan api. Pemilik mobil tentu saja menyayangi kendaraan itu, dan dia tidak ingin harta bendanya sirna begitu saja. Tetapi apa boleh buat, itulah sial.
Saya tak dapat melupakan tradisi Amang dan Inang (ayah & bunda), ketika baru membeli kerbo biasanya memecahkah telur ayam kampung tepat di kepala kerbo kemudian ditaburi beras, dan diperciki air pangurason (air jeruk purut yang diyakini suci). Hal yang sama dianjurkan ketika, anak-anaknya membeli kendaraan bermotor, sepeda atau mobil.
Saya menangkapnya sebagai sugesti barangkali. Kalau orang menganggap itu musrik atau berhala terserahlah, saya melihatnya sebagai bentuk peneguhan hati/sukma/kalbu, setelah melakukan ritual itu, kita akan lebih yakin berkendara. Dengan yakin, konsentrasi, dan tentu berharap penyelenggaraan illahi, maka kita akan jauh dari kecelakaan. Itulah ritual semacam tolak bala. Suatu upaya sinkronisasi fisik, psikis, dan roh terhadap alat yang kita gunakan demi manfaat optimum. (domuara ambarita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar