PULKAM: Mudik di Terminal bus Lebak Bulus, Jakarta (bawah/Persda Network/FX Ismanto),
dan Suasana di pelabuhan Soekarno Hatta Makassar saat TKI asal Makassar mudik
dari Malaysia (Tribun Timur/abbas sandi)
PULANG dan berhari raya di kampung. Sembilan tahun lalu, kali terakhir saya mudik menempuh jalur darat. Menumpang bus Mawar Selatan dari pool di Cawang, Jakarta Timur, berangkat sore, sekitar pukul 15.00. Harinya saya tak ingat. Saya menumpang bus AC Toilet, tapi bukan Executive Class. Satu yang tak kulupa, gadis pujaan yang kini memberiku dua anak, ikut mengantar ke pool bus.
Seingat saya, meluncur menuju Pulau Sumatera, san bus tiba di Merak, Banten (ketika itu masih Provinsi Jabar) memasuki senja. Selanjutnya antre beberapa jam, menunggu giliran naik ke fery penyeberangan ke Bakauheni, Bandar Lampung.
Bus melaju di atas rata-rata. Ngebut. Sopir utama, dan sopir kedua dan kernet seakan terburu- buru. Entah apa yang mereka kejar. Padahal saat itu malam tahun baru masih empat hari ke depan, mestinya tidak perlu tergesa-gesa.
Saya pulang menjelang pergantian tahun, suatu ritual yang menjadi puncak tahunan buat masyarakat Toba, yakni Tahun Baru. Pada pergantian tahun. Seakan lebih agung daripada Natal, Paskah atau apa pun.
Tiba di Lampung, bus terus melaju menempuh jalan lintasan barat, ke Martapura, Lahat Padang, Danau Singkarak, lalu Padang Sidempuan. Jalan berkelok-kelok, membuat pusing tujuh keliling. Sopir terkesan hapal betul lekukan-lekukan atau tikungan jalan. Dia terus melibas, tancap gas, kendati jurang terjal nan dalam sekali menganga di tepi jalan, atau tebing tinggi yang tampak siap menerkam dari tebing gunung.
Jalan sempit tidak jadi soal. Bus terus melaju. Kalau kebetulan berpapasan dengan bus atau tronton di tikungan tajam, daripada badan bus membentur dinding bebatuan keras, sopir menghentikan bus dan memberi kesemaptan kepada kendaraan dari arah berlawanan lebih dahulu melintas. Tapi sikap itu jarang, si sopir berkeras, dan sopir dari kendaraan lainlah yang lebih banyak mengalah. Entahlah, apakah pengemudi Mawar Selatan mempedulikan puluhan penumpang, atau menomorsatukan ugal-ugalannya, hanya dia yang tahu.
Kalau di Pantura Pulau Jawa ada horor bajing loncat yang sering memangsa truk pengangkut muatan berharga, di Lahat, dikenal dengan perampok nekat. Alkisah, segerombolan orang sering kali membentangkan balok kayu besar, atau memarkir truk di tengah jalan seakan-akan mogok, atau orang-orang sendiri nekat berdiri di badan jalan menyetop laju mobil sambil menghunuskan parang, sebagai ancaman.
Saya sendiri tak tahu apa yang terjadi malam itu, sebelum apa alasan sopir teru membalap. Tangan dan kaki sampai pegal luar biasa menyangga badan agar tidak merosot dari kursi, perut goncang seperti mau menumpahkan semua isinya. Mula, pusing. Kantuk yang teramat dalam mengalahkan rasa khawatir saya kalo terjadi apa-apa. Saya pulas, kemudian dibangunkan suara gedubrakkkkkk....
Apaan tuh? Tabrakan yah? Begitu suara-suara penasaran saya dengar. Suara itu mengagetkan saya dari tidur. Ternyata tv yang menggantung di samping sopir copot lalu terjatuh dan menghantam dashboard bus. Tapi tidak banyak orang yang tahu insiden dini hari itu, terutama penumpang yang duduk di deretan kursi bagian belakang bus. Sudah ditimpa 'musibah', sopir masih terus tekan pedal gas.
Menjelang tengah hari, bus melintasi Danau Singkarak. Omelan penumpang semakain tak terbendung, desakan kepada kru bus agar segera mencari rumah makan. Penumpang sudah kelaparan, satu dua anak-anak menangis. Tidak lebih setengah jam, bus berangkat.
Baru kira-kira 20 menit, seorang wanita hamil tua beranjak dari kursi, menuju toilet. Wah, bau faces dengan cepat menebar ke seluruh bus ditiup angin dari kondisioning udara. Seorang ibu-ibu dengan nada melawak, mengingatkan banyak orang yang memaki sembari menutup hidung, mengatakan bau-... bau...
Malam kedua, saya turun di kota salak, Padangsidempuan, sektiar puku 01.00 WIB, berarti hanya sekitar 36 jam tempuh, lebih cepat sekitar enam jam dari biasanya. Mawar Selatan terus melaju ke Sipirok, Parapat-Toba Lake, Pematang Siantar, dan berakhir di Medan.
***
Mudik hanya sekali dalam setahun. Itu bagi orang-orang berduit, yang manpu membeli tiket angkutan pulang pergi bersama keluarga setiap Lebaran, atau Natal. Kalau orang kere, yang pencahariannya hanya mampu untuk makan sehari-hari, mungkin mudik hanya sekali dalam dua, tiga, lima atau sepuluh tahun.
Kebanggaan bila bisa mudik. Bersilaturahmi dengan sanak-saudara. Namun bagaimana jika kebanggaan itu terganggung oleh ketidaknyamanan angkutan lalu-litnas. Macet, antre karena tidak cukup kapal fery, atau kondisi jalan rusak.
Bukan rahasia, ruas jalan-ruas jalan menjadi keluhan tak kunjung padam. Kalau di Pulau Jawa kemacetan karena perbandingan jalan dan volume kendaraan tak seimbang, dari satu sudut ini bida ditafsirkan penduduknya kaya-kaya, sedangkan di luar Pulau Jawa, kemacetan seringkali terjadi lebih karena minimnya infrastruktur jalan. Kalau pun ada, kualitas sangat buruk, jalan, sempit, penuh kubangan, sering sekali longsor, dan sejenisnya.
Seperti kata Mantan Mendagri Syarwan Hamid yang saya wawancarai secara khusus Maret silam, padahal penyumbang devisa negara terbesar adalah sumber daya alam di daerah di luar Pulau Jawa. Pendapatan dikuras dari daerah, tapi perimbalan atau perimbangan ke daerah. Ketidakadilan. Perlakuan itulah yang menyulut pemberontakan semarak di berbagai daerah.
Kondisi keamanan saat ini menang sudha jauh dari hiruk pikuk kerusuhan dan pertikaian, termasuk gerakan separatis 'tidur'. Namun tidak ada jaminan, pergolakan yang menunut Aceh Merdeka, Papua Merdeka, Riau Merdeka, Kaltim Merdeka, Makassar Merdeka, jika ketidakadilan masih terus menghiasi bumi nusantara.
Bukan mustahil, kelak ada tuntutan Bali Merdeka, Kalimantan gabung ke Sarawark, NTT gabung Timor Leste dan sebagainya. Ini tantangan sesungguhnya.
Marilah memanfaatkan memontum mudik Lebaran, hari-hari ini hingga pekan depan, sebagai langkah hijrah dari kungkungan berpikir feodal, sentralistik menjadi solider yang mengayomi, mendampingi bukan melulu instruksi pusat ke daerah, dan terutama memerdekakan diri dari nafsu keserakahan yang mengenyangkan perut sendiri. (domuara ambarita)
Selasa, 02 Oktober 2007
Jalur Mudik
Posted by domu.damianus.ambarita.blog at 10/02/2007 08:23:00 PM
Labels: Gagas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar