JUMAT (26/10) tengah hari, hujan rintik-rintik mengguyur bumi di sekitar Palmerah. Tidak begitu lebat, tetapi relatif lama, sehingga cukup membasahi bumi. Kaum muslim yang baru saja usai menunaikan shlat Jumat di masjid di kawasan Kompas-Gramedia, Jalan Gelora, tak luput dari basah oleh hujan.
Hujan tidak begitu lebat, juga tidak disertai sambarat kilet-petir, apalagi angin ribut. Kendati bukan hujan lebat, sejumlah bocah memanfaatkan hujan sebagai peluang usaha. Semula hanya seorang bocah, usia kira-kira 10 tahun. Mengenakan kaus T-shirt kuning, kolor biru tua, tanpa alas kaki, dia dengan sigap menyamper orang-orang yang baru saja bersantap siang.
Di Jalan Gelora, antara Gedung Kompas dengan gedung Persda, ada dua Rumah Makan Padang, dan satu Warung Tegal. Sementara di antara depan gedung Persda dan Bedeng 200, berjejer warung makan kaki-lima yang menyajikan aneka ragam penganan.
GADIS PAYUNG Foto Bola
Saat jam makan siang, warung-warung itu selalu diapdati pelanggan, yang umumnya karyawan-ti KKG, atau relasi. Eh hampir lupa, ada juga di sana koran Bisnis Jakarta, media kelompok Bali Post.
Si bocah itu menyodorkan payung golf hijau. Pengguna berlindung dari hujan, sedangkan dia mengekor dari belakang, tanpa menghiraukan tetesan 'kencing Tuhan', meminjam istilah dongeng leluhur.
Siang itu, saya lebih dini makan. Lazimnya makan siang saya, setelah menunaikan tugas-tugas mengirim listing berita, baru makan siang, eh makan sore, sekitar pukul 16.00. Saya menyantap sayur kesayangan, pare di Warteg yang terletak di antara dua RM Padang.
Sambil mengikuti pengguna jasa, si bocah pengojek payung tampak menghitung lembaran uang kertas yang basah kuyup di genggamannya. Terlihat jelas keceriaan. Saat itu, di meraup hasil dari usaha pemain tunggal, monopoli. Ia menawarkan payung, tapi saya tolak, karena jarak ke kantor cukup dekat, tidak lebih 100 langkah sebelah kaki.
Jam dinding menunjukkan waktu 13.05. Hujan masih mengguyur. Kali ini curahnya meningkat sedikit. Saya baru ingat, harus menunaikan kewajiban mengirim uang cicilan rumah ke BNI, segera saya ambil sebundel koran, seksi Klasika Kompas. Menuruni anak tangga, ambil akses pintu aktif, lalu berjalan ke ATM Mandiri di dekat Pasar Palmerah. Di bawah, ternyata sudah banyak pengojek payung, ada tujuh laki-laki usia di bawah 15 tahun.
Semula saya tak menghiraukan hujan. Berlalu, berjalan cepat hingga kelur dari ATM baru kusadari, koram sudah basah kuyup. Saya ragu, apakah melanjutkan ke BNI yang jaraknya sekitar 120 meter. Kalau diteruskan pasti basah. Padahal jam kerja masih lama, sampai larut malam.
Saya berbalik arah. Sebelum sampai ke Persda, para bocah pengojek payung tadi menyongsong. "Payung, oom. Payung!" kata mereka seperti menjajakan barang dagangan.
Yup. Saya terima penawaran dari bocah yang terlihat lebih 'menjual': berlari mendekat, suara lebih lantang, dan tatapan mata yang sayup. Bocah tadi mengaku bernama Rio. Dia kelas IV satu SD Negeri. Saya diojek PP. Dari Persda ke ATM dan kembali ke Persda.
Saya menawarkan kepada Rio agar menunggu di halaman Persda saja, tidak perlu ikut ke ATM: kasihan dia capek, dan saya akan kembali. Ternyata dia lebih merasa wajib memberi layanan jasa terbaik sehingga membuntuti di belakang.
Saat saya masuk ke bank, Rio memanfaatkan waktu lowong itu mengojek pengguna jasa, yang kebetulah terjebak hujan di samping BNI. Saya berdecak kagum, salut pada Rio. Kendati ojeknya masih saya sewa, dia menyempatkan waktu jeda untuk menghasilkan uang. Kurang dari 2 jam berproduksi, Rio meraup Rp 11 ribu. "Mau jajan, membeli mi atau bakso," kata Rio, menjawab saya.
"Buku atau alat tulis duah lengkap?" tanyaku. "Sudah," sahut Rio sambil melangkah, mengatupkan bibirnya yang membiru keedinginan.
Mengutip terorinya mas Febby, guru ilmu ekonomi saya di bidang industri koran, katanya, dalam bisnis, prinsip sumber daya overload lebih baik daripara sumber daya idle, atau menganggur. Overload akan menguntungkan perusahaan, sedangkan bila ada sumber daya idle akan merugikan, tidak ekonomis, bahkan multieffectnya bisa lebih dahsyat merusak kinerja-kultur perusahaan.
Masih dalam terori ini, overload akan berdampak positif. Seloyang kue dibagi lima orang lebih bermakna, daripada kue yang sama dikonsumsi 10 orang. Idealnya, overload ini ditafsirkan demand banyak, sehingga perusahaan memperoleh laba. Laba itu akan kembali ke karyawan berupa kesejahteraan-upah. Sedangkan jika menganggur berarti perusahaan tidak berproduksi dan rentan gulung tiker, dengan demikian, jangankan menuntut perbaikan kesejahteraan, untuk mendapatkan upah seadanya saja tidak ada jaminan.
Kembali kepada anak-anak pengojek hujan tadi, saya menangkap sebuah kecerdasan yang dipertontonkan mereka dalam memanfaatkan peluang usaha. Dalam hal usaha musiman, pelaku usaha mesti lebih jeli, kapan datangnya peluang, dan berapa lama masa berlakunya.
Untuk pengojek hujan, karena waktunya tidak ada seorang pun yang dapat memastikan berapa lamanya 'Tuhan Kencing', maka mereka harus lebih giat dan cepat menjemput bola. Bila musim (hujan) berlalu, peluang usaha pun sirna.
Bila bocah-bocah ingusan dapat dengan jeli melihat eluang usaha, menekuninya dengan usaha keras, tak gentar menghadapi guyuran hujan, dan sangat mungkin terjadi sambaran halilentar-petir, mengapa kaum cerdik pandai tidak mencoba peruntungan dengan memnafaatkan peluang bisnis musiman.
Peluang usaha musiman tidak hanya pengojek hujan, masih banyak lainnya. Misalnya pengusaha busana muslim/muslimat menjelang Lebaran, pedagang jas hujan menjelang musim hujan, pedagang masker saat kemarau, produsen buku- buku ada tahun ajaran baru, dan lain sebagainya.
Setuju atau tidak setujukah Anda pada Suluh Sukma "Peluang Usaha Musiman" ini? Apa pun argumentasi atau sharing Anda, sangat berarti buat saya! (Domuara Ambarita)
Hujan tidak begitu lebat, juga tidak disertai sambarat kilet-petir, apalagi angin ribut. Kendati bukan hujan lebat, sejumlah bocah memanfaatkan hujan sebagai peluang usaha. Semula hanya seorang bocah, usia kira-kira 10 tahun. Mengenakan kaus T-shirt kuning, kolor biru tua, tanpa alas kaki, dia dengan sigap menyamper orang-orang yang baru saja bersantap siang.
Di Jalan Gelora, antara Gedung Kompas dengan gedung Persda, ada dua Rumah Makan Padang, dan satu Warung Tegal. Sementara di antara depan gedung Persda dan Bedeng 200, berjejer warung makan kaki-lima yang menyajikan aneka ragam penganan.
GADIS PAYUNG Foto Bola
Saat jam makan siang, warung-warung itu selalu diapdati pelanggan, yang umumnya karyawan-ti KKG, atau relasi. Eh hampir lupa, ada juga di sana koran Bisnis Jakarta, media kelompok Bali Post.
Si bocah itu menyodorkan payung golf hijau. Pengguna berlindung dari hujan, sedangkan dia mengekor dari belakang, tanpa menghiraukan tetesan 'kencing Tuhan', meminjam istilah dongeng leluhur.
Siang itu, saya lebih dini makan. Lazimnya makan siang saya, setelah menunaikan tugas-tugas mengirim listing berita, baru makan siang, eh makan sore, sekitar pukul 16.00. Saya menyantap sayur kesayangan, pare di Warteg yang terletak di antara dua RM Padang.
Sambil mengikuti pengguna jasa, si bocah pengojek payung tampak menghitung lembaran uang kertas yang basah kuyup di genggamannya. Terlihat jelas keceriaan. Saat itu, di meraup hasil dari usaha pemain tunggal, monopoli. Ia menawarkan payung, tapi saya tolak, karena jarak ke kantor cukup dekat, tidak lebih 100 langkah sebelah kaki.
Jam dinding menunjukkan waktu 13.05. Hujan masih mengguyur. Kali ini curahnya meningkat sedikit. Saya baru ingat, harus menunaikan kewajiban mengirim uang cicilan rumah ke BNI, segera saya ambil sebundel koran, seksi Klasika Kompas. Menuruni anak tangga, ambil akses pintu aktif, lalu berjalan ke ATM Mandiri di dekat Pasar Palmerah. Di bawah, ternyata sudah banyak pengojek payung, ada tujuh laki-laki usia di bawah 15 tahun.
Semula saya tak menghiraukan hujan. Berlalu, berjalan cepat hingga kelur dari ATM baru kusadari, koram sudah basah kuyup. Saya ragu, apakah melanjutkan ke BNI yang jaraknya sekitar 120 meter. Kalau diteruskan pasti basah. Padahal jam kerja masih lama, sampai larut malam.
Saya berbalik arah. Sebelum sampai ke Persda, para bocah pengojek payung tadi menyongsong. "Payung, oom. Payung!" kata mereka seperti menjajakan barang dagangan.
Yup. Saya terima penawaran dari bocah yang terlihat lebih 'menjual': berlari mendekat, suara lebih lantang, dan tatapan mata yang sayup. Bocah tadi mengaku bernama Rio. Dia kelas IV satu SD Negeri. Saya diojek PP. Dari Persda ke ATM dan kembali ke Persda.
Saya menawarkan kepada Rio agar menunggu di halaman Persda saja, tidak perlu ikut ke ATM: kasihan dia capek, dan saya akan kembali. Ternyata dia lebih merasa wajib memberi layanan jasa terbaik sehingga membuntuti di belakang.
Saat saya masuk ke bank, Rio memanfaatkan waktu lowong itu mengojek pengguna jasa, yang kebetulah terjebak hujan di samping BNI. Saya berdecak kagum, salut pada Rio. Kendati ojeknya masih saya sewa, dia menyempatkan waktu jeda untuk menghasilkan uang. Kurang dari 2 jam berproduksi, Rio meraup Rp 11 ribu. "Mau jajan, membeli mi atau bakso," kata Rio, menjawab saya.
"Buku atau alat tulis duah lengkap?" tanyaku. "Sudah," sahut Rio sambil melangkah, mengatupkan bibirnya yang membiru keedinginan.
Mengutip terorinya mas Febby, guru ilmu ekonomi saya di bidang industri koran, katanya, dalam bisnis, prinsip sumber daya overload lebih baik daripara sumber daya idle, atau menganggur. Overload akan menguntungkan perusahaan, sedangkan bila ada sumber daya idle akan merugikan, tidak ekonomis, bahkan multieffectnya bisa lebih dahsyat merusak kinerja-kultur perusahaan.
Masih dalam terori ini, overload akan berdampak positif. Seloyang kue dibagi lima orang lebih bermakna, daripada kue yang sama dikonsumsi 10 orang. Idealnya, overload ini ditafsirkan demand banyak, sehingga perusahaan memperoleh laba. Laba itu akan kembali ke karyawan berupa kesejahteraan-upah. Sedangkan jika menganggur berarti perusahaan tidak berproduksi dan rentan gulung tiker, dengan demikian, jangankan menuntut perbaikan kesejahteraan, untuk mendapatkan upah seadanya saja tidak ada jaminan.
Kembali kepada anak-anak pengojek hujan tadi, saya menangkap sebuah kecerdasan yang dipertontonkan mereka dalam memanfaatkan peluang usaha. Dalam hal usaha musiman, pelaku usaha mesti lebih jeli, kapan datangnya peluang, dan berapa lama masa berlakunya.
Untuk pengojek hujan, karena waktunya tidak ada seorang pun yang dapat memastikan berapa lamanya 'Tuhan Kencing', maka mereka harus lebih giat dan cepat menjemput bola. Bila musim (hujan) berlalu, peluang usaha pun sirna.
Bila bocah-bocah ingusan dapat dengan jeli melihat eluang usaha, menekuninya dengan usaha keras, tak gentar menghadapi guyuran hujan, dan sangat mungkin terjadi sambaran halilentar-petir, mengapa kaum cerdik pandai tidak mencoba peruntungan dengan memnafaatkan peluang bisnis musiman.
Peluang usaha musiman tidak hanya pengojek hujan, masih banyak lainnya. Misalnya pengusaha busana muslim/muslimat menjelang Lebaran, pedagang jas hujan menjelang musim hujan, pedagang masker saat kemarau, produsen buku- buku ada tahun ajaran baru, dan lain sebagainya.
Setuju atau tidak setujukah Anda pada Suluh Sukma "Peluang Usaha Musiman" ini? Apa pun argumentasi atau sharing Anda, sangat berarti buat saya! (Domuara Ambarita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar