IBUNYA anak-anak rada sensi, alias sensitif dan mudah marah beberapa hari ke belakang. Saat baru bangun pagi, kerap kali saya mendengar suara ocehan nada tinggi, bahkan ketus. Judes. Tidak biasanya begitu.
Naiknya notasi bicara sekian oktaf, dan emosi istri terasa setelah arus mudik ramai, saat seorang perempuan belia yang selama ini dengan rajin, dan sigap membereskan urusan dapur kami. Sudah dua kali lebaran dia pulkam ke Purwokerto. Cuti lebaran kami beri waktu dua pekan.
Selama pembantu mudik, praktis urusan mencuci, memasak, menyapu dan mengepel rumah menambah kesibukan istri dari semua sudah direpotkan dengan memandikan Dorthy, bayi berusia hampir enam bulan, memberi serapan, menyusui, hingga meninabobokannya. Tugas lainnya, memandikan Uli, putri sulung kami berusia tiga tahun lebih lima hari, menyuapinya makan lalu memberi obat rutin dua kali sehari.
Saya coba mencari tahu, kok istri tiba-tiba sensi begitu. Ia berubah dari seorang ibu rumah tangga yang sabar, rajin, baik, ulet dan sedikit bersuara keras itupun jika ada kerterlaluan. Saya temukan jawabannya, mungkin penyebab utama adalah kelelahan atau kesibukan atas tugas berat setelah pembantu mudik sejak pekan lalu.
Banyak ibu-ibu atau keluarga di perkotaan mengalami hal serupa. Bedanya, solusi mereka kaum berduit mudah saja.Bukan hanya di Indonesia, sangat mungkin majikan-majikan di mancanegara pun demikian. Mengungsi ke hotel, tidur di kamar-kamar hotel lalu semua mengandalkan jasa pelayan hotel.
Mudik, ya pulang kampung. Kota-kota besar memang sepi ditinggal mudik sebagian besar warganya, termasuk pembantu. Pengalaman dari mudik PRT atau TKI akan memberi 'pelajaran' berharga kepada majikannya, bahwa pekerjaan rumah yang dianggap remeh dan sepele ternyata tidak mudah, membutuhkan kecakapan tertentu.
Momen ini bisa menjadi titik awal kesadaran para majikan memanusiakan pembantu, bukan diasingkan atau dipandang seakan-akan bukan golongan kita yang berujung pada ketidakberperikemanusiaan. Sejatinya, namanya juga pembantu, mestinya hanya tenaga tambahan yang membantu pekerjaan orang yang dibantu. Bukan sebaliknya.
Lebaran sudah berlalu. Mudik beralih balik. Perkotaan hidup kembali, jalan-jalan mulai ramai dan aktivitas masyarakat berangsur terlihat kendati belum normal. Arus balik masih terus berlanjut. Bukan hanya penduduk kota yang kembali, diperkirakan banyak pendatang baru.
Khusus bagi para pendatang baru dari kalangan pendidikan dan keterampilan rendah, sebaiknya berpikir secara mendalam sebelum memutuskan 'urbanisasi'. Mengadu nasib dan peruntungan boleh-boleh saja, tetapi jangan konyol.
Janganlah berangkat ke kota hanya karena tergoda oleh tebaran pesona saudara atau pemudik. Jangan terjebak metafora pandangan sempit seperti kata perumpaan "rumput tetangga selalu tampak lebih hijau dari rumput sendiri".
Kota semacam Jakarta terlalu keras dan tidak ramah buat orang-orang lugu dan baik hati. Hidup di kota tidak sesederhana di desa. Sopan santun yang terjada dalam kekerabatan dan sistem sosial di desa oleh masih kentalnya nuansa persaudaraan, di kota kebalikannya. Saudara kandung pun bisa jadi orang asing, ketika keberadaannya tidak signifikan menguntungkan.
Lagi pula, mencoba peuntungan tidak harus ke metropolitan. Lebih mulia kiranya, tinggal di desa mempekerjakan orang lain, daripada di kota menjadi musuh masyarakat. Asal sabar, tekun-ulet, tidak kenal menyerah, cerdas melihat kesempatan-peluang, wong deso pun banyak yang hidup berkecukupan. Ingat, tidak semua orang kota hidup layak.
Banyak tunawisma, gelandangan, pengemis, bahkan dipaksa situasi menjadi perampok, atau pencuri untuk sekadar bertahan hidup. Di era otonom daerah ini, pemerintah daerah saatnya berlomba memajukan daerahnya mencegah urbaniasi orang-orang hebat, cerdik, dan pandai yang seharusnya menjadi asset berharga. (*)
Naiknya notasi bicara sekian oktaf, dan emosi istri terasa setelah arus mudik ramai, saat seorang perempuan belia yang selama ini dengan rajin, dan sigap membereskan urusan dapur kami. Sudah dua kali lebaran dia pulkam ke Purwokerto. Cuti lebaran kami beri waktu dua pekan.
Selama pembantu mudik, praktis urusan mencuci, memasak, menyapu dan mengepel rumah menambah kesibukan istri dari semua sudah direpotkan dengan memandikan Dorthy, bayi berusia hampir enam bulan, memberi serapan, menyusui, hingga meninabobokannya. Tugas lainnya, memandikan Uli, putri sulung kami berusia tiga tahun lebih lima hari, menyuapinya makan lalu memberi obat rutin dua kali sehari.
Saya coba mencari tahu, kok istri tiba-tiba sensi begitu. Ia berubah dari seorang ibu rumah tangga yang sabar, rajin, baik, ulet dan sedikit bersuara keras itupun jika ada kerterlaluan. Saya temukan jawabannya, mungkin penyebab utama adalah kelelahan atau kesibukan atas tugas berat setelah pembantu mudik sejak pekan lalu.
Banyak ibu-ibu atau keluarga di perkotaan mengalami hal serupa. Bedanya, solusi mereka kaum berduit mudah saja.Bukan hanya di Indonesia, sangat mungkin majikan-majikan di mancanegara pun demikian. Mengungsi ke hotel, tidur di kamar-kamar hotel lalu semua mengandalkan jasa pelayan hotel.
Mudik, ya pulang kampung. Kota-kota besar memang sepi ditinggal mudik sebagian besar warganya, termasuk pembantu. Pengalaman dari mudik PRT atau TKI akan memberi 'pelajaran' berharga kepada majikannya, bahwa pekerjaan rumah yang dianggap remeh dan sepele ternyata tidak mudah, membutuhkan kecakapan tertentu.
Momen ini bisa menjadi titik awal kesadaran para majikan memanusiakan pembantu, bukan diasingkan atau dipandang seakan-akan bukan golongan kita yang berujung pada ketidakberperikemanusiaan. Sejatinya, namanya juga pembantu, mestinya hanya tenaga tambahan yang membantu pekerjaan orang yang dibantu. Bukan sebaliknya.
Lebaran sudah berlalu. Mudik beralih balik. Perkotaan hidup kembali, jalan-jalan mulai ramai dan aktivitas masyarakat berangsur terlihat kendati belum normal. Arus balik masih terus berlanjut. Bukan hanya penduduk kota yang kembali, diperkirakan banyak pendatang baru.
Khusus bagi para pendatang baru dari kalangan pendidikan dan keterampilan rendah, sebaiknya berpikir secara mendalam sebelum memutuskan 'urbanisasi'. Mengadu nasib dan peruntungan boleh-boleh saja, tetapi jangan konyol.
Janganlah berangkat ke kota hanya karena tergoda oleh tebaran pesona saudara atau pemudik. Jangan terjebak metafora pandangan sempit seperti kata perumpaan "rumput tetangga selalu tampak lebih hijau dari rumput sendiri".
Kota semacam Jakarta terlalu keras dan tidak ramah buat orang-orang lugu dan baik hati. Hidup di kota tidak sesederhana di desa. Sopan santun yang terjada dalam kekerabatan dan sistem sosial di desa oleh masih kentalnya nuansa persaudaraan, di kota kebalikannya. Saudara kandung pun bisa jadi orang asing, ketika keberadaannya tidak signifikan menguntungkan.
Lagi pula, mencoba peuntungan tidak harus ke metropolitan. Lebih mulia kiranya, tinggal di desa mempekerjakan orang lain, daripada di kota menjadi musuh masyarakat. Asal sabar, tekun-ulet, tidak kenal menyerah, cerdas melihat kesempatan-peluang, wong deso pun banyak yang hidup berkecukupan. Ingat, tidak semua orang kota hidup layak.
Banyak tunawisma, gelandangan, pengemis, bahkan dipaksa situasi menjadi perampok, atau pencuri untuk sekadar bertahan hidup. Di era otonom daerah ini, pemerintah daerah saatnya berlomba memajukan daerahnya mencegah urbaniasi orang-orang hebat, cerdik, dan pandai yang seharusnya menjadi asset berharga. (*)
1 komentar:
Hello, regarding the music, please check out my anti-war stuff: Gravitator's CD "Democracy Tanks" is out now!
Posting Komentar