SELASA (27/11/2007), seorang sahabat lama menyapa dari seberang Laut Jawa. Kami berbicara ngaler ngidul via YM. Dialah Dade, kawan saya yang sama-sama memulai hidup jurnalistik di Borneo, koran ternama, Banjarmasin Post, sembilan tahun silam.
Sekali waktu, saya pernah iri padanya, ketika ia meninggalkan saya, sahabat baik di negeri Seribu Sungai, sebutan untuk Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Awal tahun 2000, Kang Dade yang asli Majalengka, Jawa Barat, dibutuhkan tenaganya untuk menyukseskan proyek baru, Koran Metro Bandung, kini Tribun Jabar. Koran ini terbit perdana 23 Februari 2000.
Ya, wajar saya iri, tapi tidak dengan embel-embel dengki. Di pikiran saya, begitu beruntungnya Kang Dade, perusahaan membutuhkan dia berarti karena kualitas, kredibilitas, integritas dan pengabdiannya luar biasa. Tekad saya adalah, bagaimana supaya bisa mengikuti jejaknya.
So, saya harus membuat yang terbaik. Bagaimana caranya? Sebagai jurnalis pemula, saya saat itu sering dan lebih sering membaca berita-berita apda banyak media cetak lokal maupun nasional sebagai pembanding sekaligus tempat berlajar, semakin sering berdiskusi, bertanya pada wartawan yang lebih senior, learning by doing atas beberapa kasus di lapangan.
Dan satu paling menempa saya adalah, panasnya suhu Banjarmasin. Tidak saja dalam artian iklim yang gerah, sumu, dan membuat keringat bercucur deras, tetapi panasnya atmosfer juga berbanding lurus dengan emosi kebanyakan warga. Bukan rahasia, tingkat kriminalitas terutama baku-bunuh sangat tinggi terjadi di Banjarmasin.
Peristiwa ini, semula kami sebut, berita dari langit. Berija kejadian, yang tidak dapat direncanakan si wartawan, kecuali memasang telinga, dan mata di mana-mana. Sebanyak mungkin bergaul dengan tukang ojek, penarik becak, sopir angkot, membangun jaringan dengan reserse, merangkul petugas UGD, bahkan sering-sering begadang atau bermalam di kamar mayat, adalah beberapa jalan untuk mendapatkan berita yang on the spot, uptodate, eksklusif, human interest dan mungkin multiangle.
Dari desk kriminal, sempat rolling ke politik, kemudian 'dibuang' di pelosok ke Tanjung, ibukota Kabupaten Tabalong, kemudian diterjunkan ke medan perang tradisional, mangayau pembantaian tebas leher antara etnis Dayak dengan Madura di Sampit, sejak 18 Februari 2001.
Sedikit banyak, saya memang telah minum garam kalimantan dan minum banyu Martapura. Anekdot orang Kalimantan, terutama suku Banjar meyakini, apabila sudah meneguk atau minum Banyu Martapura atau air dari Sungai Martapura, yang melintas membelah Kota Banjarmasin.
Awal tahun ini, saya dengan Kang Dade, kembali berpencar setelah lima tahun lebih bersama- sama di Metro Bandung/Tribun Jabar. Saya upgrade ke Persda guna membantu directing peliputan di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan Kang Dade sedianya diincar untuk memperkuat Tribun Batam, namun hanya beberapa bulan di sana, kemudian tabulik pulang ke Banjarmasin Post karena sudah minum banyu Martapura. Hahahaa.a.a.a...
Beberapa pekan, kami tak berkomunikasi. Selasa itu, tanpa bas-basi, Kang Dade langsung menohok ke persoalan pencairan uang pada Jamsostek. Juli lalu, kami memang tak berhasil meraup uang segar yang sudah hampir sembilan tahun ngendon di brankas Jamsostek.
Dana yang cukup membeli satu pikap susu fomula itu tidak dapat diambil, karena memang Jamsostek menetapkan peraturan menara gading buat pekerja. Setiap pekerja didaftarkan perusahaan menjadi anggota Jamsostek, ia wajib menyetor iuran (plus tanggungan perusahaan) Jamsostek. Uang itu sebenarnya hak pekerja, tetapi oleh Jamsostek dibuat syarat yang bertele-te untuk mencairkannya.
Pengalaman saya, syarat mencairkan atau mengajukan klaim Jamsostek: 1) keanggotaan minimum 5 tahun, 2) Surat pengunduran diri/berhenti, KK/KTP asli, Kartu Jamsostek asli. Syarat lainnya, memiliki masa tunggu minimal 6 bulan, yang dibuktikan dengan surat C1 (penonaktifan kartu anggota dari perusahaan sebelumnya).
Bagaimana kalau ada pekerja tidak belum sampai lima tahun menjadi anggota? "Tidak boleh" Lalu ke mana uangnya, apakah jadi hak Jamsostek? "Mungkin, ya. Tapi boleh juga dilanjutkan lagi, jika pemilik kartu pindah kerja pada perusahaan yang juga menyertakan perusahaan menjadi anggota."
Bagaimana kalau seseorang pemilik kartu anggota, katakan sudah empat tahun 11 bulan bekerja, tapi dipecat/berhenti, lalu jadi wiraswasta? Entahlah, semoga dana yang bersangkutan tidak menjadi sumber dana untuk dimanipulasi/dikorup orang Jamsostek.
Perbincangan saya dengan kang Dade mengenai peluang meraup dana selama sembilan tahun, masih terganjal karena kami bedua hampir bersamaam non-aktif di Bandung, yakni Juli. Sedianya, Desember ini dapat dicairkan, namun belum jelas, karena kabar dari dia yang baru kembali ke kampung halaman di Majalengka, lalu menyempatkan diri mampir ke Jamsostek Jalan Suci Bandung, katanya urusan ini masih panjang.
Kini kami berada dalam jarang yang relatif jauh. Kang Dade memilih mendekat ke nyonya rumah yang calon dokter di kota Intan, Martapura, Kalsel, ada pun saya di Depok. Namun kami masih tetap berada dalam naungan perusahaan yang sama: Kompas Gramedia.
Hidup serba bersahaja atau lebih tepat melarat, saya masih tetap yakin motivasi bernuansa perumpaan yang beberapa dikumandangkan kang Dade, yakni kita mesti membuktikan diri, Matahari Terbit dari Timur, sekali waktu akan diberkahi Allah. Karena matarahi memang masih terbenam di barat hahahahahah........ (domuara ambarita)
Kamis, 29 November 2007
Matahari dari Timur
Posted by domu.damianus.ambarita.blog at 11/29/2007 09:22:00 PM
Labels: Suluh Sukma
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Hai salam kenal. Nama Anda sering saya dengar. Saya dulu juga pernah jadi anggota Jamsostek 1996-1998, juga ketika masih bekerja di BPost (Saya angkatan Mariatul Kiptiah). Tiap gajian dipotong untuk bayar iuran. Saat cabut dari BPost, Jams pun tak terurus. salam, yudi yusmili
Posting Komentar