SEBELUM Tim Usia di Bawah 23 Tahun (U-23) PSSI dibantai Suria tujuh gol tanpa balas, tim senior dihajar tim yang sama di Jakarta, 4-1. Hasil ini makin mempertontonkan comping-camping persepakbolaan nasional, setelah pada Piala Asia, Juli lalu, juga tak berkutik di kandang sendiri.
Untung juga keok. Andai menang, mungkin Nurdin Halid, sang Ketua Umum yang menjadi pesakitan di LP Cipinang untuk kedua kali dalam kasus korupsi, akan menepuk dada. "Ini lho, kinerja PSSI. Di penjara saja, PSSI masih bertaji. Siapa bilang persepakbolaan Indonesia, mandul. Ngapain mesti mengganti saya."
Barangkali Nurdin tidka malu diwawancarai wartawan. Dia akan mengumbar pernyataan membabi buta dan tak terukur ke khlayak ramai melalui media, atau sekabatas bisik-bisik dengan pengurus PSSI lainya yang rajin menyambangi Nurdin di dalam bui.
Kembali pada pertandingan Timnas saat menjamu Suria di gelora Bung Karno dua pekan silam. Saya menyaksikan satu hal yang ironis, memilukan, sekaligus prihatin. Papan pergantian pemain yang diangkat inspektur pertandingan adalah bahal plastik manual.
Perangkat pendukung yang sering digunakan pada pertandingan klub-klub Tarkam (antarkampung). Perangkan manual yang jauh dari kelayakan pada level pertandingan internasional. Jika di negeri tetangga atau asing sudah menggunakan alat digital, PSSI masih setia dengan alat-alat manual.
Seperti halnya perusahaan-perusahaan minilik negara (BUMN) yang setia dengan monopoli, semacam Peramina, PLN, Telkom, hanya akan menjadi jago-jago kandang ketika dilindungi pemerintah. Menjadi katak dalam tempurung. Begitu era berubah, globalisasi dan liberalisasi menjalar ke mana-mana, semua tersapu akan angin perubahan, terseok-seok.
Rasanya, PSSI pun tinggal menunggu hadirnya, PSSI impor agar mau berubah. Entah PSSI impor dalam artian pembekuan dari FIFA, lalu, PSSI vakum dan muncul lagi penggant. Bila itu pilihannya, tanpa didahului kesdaran Nurdin dan pengurus PSSI yang ada tak berniat mundur/bubar, termat mahallah biaya yang ditanggung insan olahraga nasional.
Pak Nurdin, seburuk-buruknya Soeharto, Eyang masih mau undur diri. Lengser keprabon. Sebelum digilas, silakan minggir bossssss... Kasihan persepakbolaan nasional, yang sebenarnya tidak memajukan pesepabola lokal tetapi menafkahi pemain asing, dan menggemukkan agen pemain asing, serta menyuburkan KKN 'proyek' transfer dan gaji pemain asing. (domuara ambarita)
Kamis, 22 November 2007
Era Digital
Posted by domu.damianus.ambarita.blog at 11/22/2007 10:24:00 PM
Labels: Ganyang Koruptor
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar