"AYAH bagaimana sih. Wong masih Lebaran, kok tinggalkan rumah. Tamu-tamu dan keluarga siapa yang menemani. Aneh, ini kan masih libur panjang, cuti bersama, ayah kok sudah kerja. Perusahaan apa sih kerjaan ayah, nggak manusiawi sekali. Tidak beragama kali, benci. Benci......"
Tanggal 15 Oktober 2007, dua hari selepas Lebaran atau Idul Fitri 1428 H, atau tepatnya, seorang kawan redaktur pada satu koran di bawah Persda Network, mencurahkan isi hatinya. Dia seakan memuntahkan isi hatinya, uneg-unegnya, bahkan hal-hal yang sebetulnya rahasia keluarga. Urusan dalam negeri sendiri, atau konsumsi internal, bukan untuk dieskpose ke publik.
Rupaya kawan tadi tidak kuasa menahan gejolak hati. Dia coba memancing saya, dengan mengajukan pertanyaan apakah tidak menikmati cuti panjang Lebaran. Kami memang baru saling kenal nama lewat YM, face to face belum.
"Saya piket, bos. Mengisi waktu, saat kawan-kawna wartawan muslim merayakan hari rayanya, saya dan beberapa teman tugas piket dan meliput. Inilah arti indah dari keberagaman, saling mengisi. Saat yang lain menjalankan ritual agamanya, berslitaruhami dengan sanak-saudara, bernostalgia, dan lain-lain. Sedangkan sebagian lainnya tugas seperti biasa. Jadi pasokan berita, tetap ada. Apalagi kalau ada peristiwa besar, kita tetap dapat. Indah bukan keberagaman itu."
"Ya... ya... saya paham. Tapi..." tulis sobat pada Ymnya yang nongol di layar komputer saya. Disusul pengakuan dia yang sebenarnya masih rada kalut. Dia bekerja di satu kota, yang berjauhan dengan anak-istri. Pada hari-hari kerja normal, dia bekerja dua pekan, dan libur dua hari, untuk 'setoran'.
Sang sobat mengaku kadang-kala berpikir atas realits yang ada. Serba terbalik. Anomali. Misalnya, ketika orang lain bekerja pagi sampai sore, dia justru bekerja sore sampai malam. Ketika yang lain bangun pagi dan berangkat untuk mencari nafkah, dia masih tidur pulas di peraduan.
"Yah, beginilah hidup wartawan. Saya menyadari itu, dan mengatakan itulah risiko wartawan. Tetapi, kadang-kadang, istri dan keluarga tidak paham juga. Mereka minta dispensasi, setidaknya pada saat Hari Raya yang hanya sekali dalam setahun," kata kawan saya. "Ya, saya paham..."
Begitulah hidup wartawan. Bak kelelawar. Saya pun pernah mengalami. Hingga lima tahun pertama saya bekerja, ngalong, saya terus bertanya dan bermenung. "Apakah ini jalan hidupku? Apakah pilihan jadi wartawan sudah jalan terbaik? Apakah tidak ada pekerjaan yang lebih manusiawi? Bagaimana mendidik anak dan dekat dengan mereka kalau ayah lebih banyak di luar rumah, pergi pagi saat anak sekolah (saat anakku kelak beranjak gede) dan pulang setelah mereka terlelap."
Namun pertanyaan semacam itu sudah berlalu masanya. Sekarang saya sudah 'rela' menerima pekerjaan jurnalis, dan bahkan sudah menikmatinya. Kendati berangkat pagi, dan pulang larut malam. Kendati dalam perjalanan menunggang sepeda motor hampir dua jam sekali jalan (pagi- siang), menghirup debu-deru kota.
Pasca-Lebaran, kemacetan ibu kota kian menggila. Akhir-akhir ini, ketika proyek jalur khusus TransJakarta atau busway ala Jakarta terus dikembangkan, kemacetan Jakarta semakin tak terkendali. Hampir semua ruas jalan menjadi simpul kemacetan. Rute yang saya lalu, Depok- Pasar Rebo-Cililitan-Cawang-Pancoran-Senayan, sengaja saya alihkan melalui rute Pasar Minggu. Jalur ini pun bukan bebas macet, namun lebih mending dibandingkan rute pertama, pascaproyek busway.
Jika orang banyak menaruh benci pada hari Senin, karena beban kerja yang biasanya menumpuk. Mereka ngomel, I hate Monday. Bagi saya dan sebagian warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), hari-hari yang paling dibenci adalah Rabu dan Jumat. I hate Wednesday. I hate Friday. Pada Rabu dan Jumat kemacetan Jakarta luar biasa, tidak semacet hari Senin dan hari lainnya.
Karena lelah di jalan, dan sering kurang tidur di rumah, saya seringkali sambil terkantuk-kantuk di jalan. Membunuh kantuk, saya sekejap menepikan sepeda motor, melelapkan mata barang lima menit di bawah pohon rindang, atau di SPBU guna menghindari kecelakaan fatal.
Tidak apa-apalah. Semua itu merupakan perjuangan. Dan kelak, semoga menghasilkan, sehingga ada yang dapat dibanggakan sebagai buah-buah ketekunan. Jika tidak, maka binasalah orang- orang yang tekun dalam doa dan karya. Mereka akan jera.
Saya masih percaya pada gurindam, "ida-ida do jolma na bosur, jala jora-jora ma jolma na male" (seseorang akan ketagihan berbuat baik jika mendapatkan imbalalan setimpal, sebaliknya dia akan jera karena balasnya tidak setimpal).
Inilah sebait lagu, yang sering saya dendangkan saat berkendara sekadar memacu optimisme hidup, atau sekadar menghilangkan sesak di dada:
ANAKKON HI DO HAMORAON DI AU
Reff.. Anakkon hi do hamoraon di au
Marhoi hoi pe au inang da tu dolok tu toruan
Mangalului ngolu-ngolu naboi parbodarian
Asal ma sahat gelleng hi da sai sahat tu tujuan
Anakkon hi do hamoraon di au
Nang so tarihut hon au pe angka dongan
Ndada pola marsak au disi
Marsedan marberlian, marcincin nang margolang
Ndada pola marsak au disi
Hugogo pe massari arian nang bodari
Lao pasikkolahon gellengki
Naikkon marsikkola satimbo-timbona
Sikkap ni natolap gogokki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar