Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (4-Habis)
Tidak Pede Menyaingi Nahum Situmorang
SETELAH menciptakan lagu Anggar Pareman, Godman Ambarita lalu berpikir untuk memopulerkannya. Agar dapat didengar khalayak ramai, maka dia merasakan perlu mengganden media massa. Untuk tampil ke RRI Medan sangat jauh dari harapan. Ia masih merasa sebagai pemuda desa dan belum punya nama, tidak mungkin saya bisa bernyanyi menyaingi Nahum Situmorang dan Ismail Hutajulu. "Awak ini apalah," ujar Godman berseloroh menirukan gaya bicara orang Medan.
Walau rada kecul nyali, ia tetap mempunyai keinginan memopulerkan lagu karangannya. Godman pun atur siasat dan tampil sebagi pelopor, mengajak teman-teman untuk berkumpul dan belajar bernyanyi. Kebetulan pada tahun 1963, keadaan ekonomi di Parapat sungguh berat karena sepinya wisatawan yang berkunjung.
Untunglah didukung wisatawan lokal yang datang dari perkebunan yang tersebar di seluruh Provinsi Sumatera Utara. Sehingga untuk menambah penghasilan rata-rata anak-anak remaja Parapat terpaksa terjun mencari duit di lokasi rekreasi, menjual jasa mulai dari menyewakan tikar, sampan dan pelampung, tukang parkir hingga menjadi calo kapal penumpang yang akan membawa wisatawan berlibur ke Pulau Samosir. Para calo kapal tersebut disebut agen.
Selanjutnya bersama teman-temannya yang bekerja satu profesi sebagai agen yakni Jangkit Sirait, Neger Laut Sinaga, Pariel Silalahi, Jules Ambarita, Willy Hutapea, setiap hari Minggu sore setelah wisatawan pulang berkumpul di lapo tuak Sihombing yang terletak di Siburak-burak Tigaraja, Parapat.
"Sambil ber-lisoi minum tuak kami bersama-sama mempelajari lagu Anggar Pareman. Dan di lapo itu pulalah kami selalu berlatih setiap ada lagu baru yang saya ciptakan," urai Godman.
Setelah lulus SMA dari Narumonda Porsea, tahun 1966, ia berangkat merantau ke Jakarta. Dasarnya, ia berpikir kalu tetap di kampung tidak akan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Berhubung kehidupan penyanyi selalu dicemooh waktu di kampung maka begitu di Jakarta dia bertekad untuk tidak menyentuh gitar dan tidak mau bernyanyi.
Kebetulan lingkungan kota Jakarta tidak dapat memungkinkan bernyanyi di sembarangan tempat seperti layaknya di kampung halaman. Dia mengaku jujur, sangat suka mendengarkan nyanyia entah dari tape recoder atau orang bernyanyi, tapi untuk memetik gitar apalagi menyanyi berhenti sama sekali. Ditambah lagi kehidupan di Jakarta memaksa harus bekerja keras.
"Waktu berjalan terus, sekitar tahun 1970-an saya terkejut, lagu Bunga Na Bontar sangat popular di kalangan orang Batak. Artis-artis Batak di Jakarta menyanyikan dalam bentuk andung (merintih/cengeng). Sebenarnya hati saya protes karena nadanya tidak sesuai dengan roh lagu itu pada waktu saya mendapatkan inspirasi di sebuah desa kecil di Saribu Jawa. Sebab walau suasana," katanya.
Berhubung dinyanyikan sesuai perasaan penyanyi, maka terjadi degradasi baik dalam bentuk nada maupun syair. Adanya perubahan itu sah-sah saja. Berhubung kala itu masih dalam tahap hidup berjuang mencari sesuap nasi dan sekolah, maka tentu. Godman tidak bisa berbuat apa-apa. Namun dia tetap punya mimpi untuk sekali waktu meluruskan dan menyanyikan Bunga Na Bontar dalam bentuk asli, termasuk Uju MAngolu dan Anggar Pareman.
"Akhirnya pada tahun 2006 saya bertemu dengan Helmud Ambarita, Bando Simbolon dan Bona Sinaga. Kami mempunyai kesamaan nasib. Saya harus meninggalkan kecintaan saya bernyanyi di lapo tuak untuk mengubah nasib ke Jakarta, sementara mereka bertiga meninggalkan Lombok karena turis tidak ada lagi yang datang ke pulau itu," kata Godman.
Mereka tadinya mengadu nasib bernyanyi di hotel-hotel berbintang di Lombok. Dan masa lalu itulah cikal bakal nama grup bang Exalom (Ex Anak Lombok). Godman menawarkan untuk merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk asli, dan mereka setuju, dan terbentuklah Exalom Band. Dengan alasan yang sanagat pribadi, Bona Sinaga hanya ikut dalam album pertama, kemudian digantikan oleh Ucok Power Sinaga. Dan untuk album kedua Dohar Simbolon turut bergabung.
Exalom berupaya tampil beda dari band lainnya yang telah lebih dulu eksis di belantara musik tradisional. Perpaduan antara musik modern dengan sentuhan khas musik Batak yang dinamis dan kaya dengan aksenuitas yang khas, aransemen musik yang diolah dan dikelola manajemen Exalom secara profesional memberi warna baru dalam khasanah musik Batak.
Untuk mendukung performance Exalom, manajemen telah mempersiapkan tim yang bekerja di belakang panggung. Godman Ambarita bertindak sebagai Produser Eksekutif, pentolan Trio Amsisi Iran Ambarita sebagai arranger merangkap Music Director. Exalom berada di bawah bendera PT Gita Karya MandiriI, perusahaan yang memanajemeni secara profesional kegiatan bermusik Exalom.
Cita-citanya menambah semarak musik daerah Tapanuli belum tuntas. Namun bagimana pun, sejarah telah mecatatkan karya ciptanya. Selamat jalan Godman! (Persda Network/Domu Damians Ambarita)
Tidak Pede Menyaingi Nahum Situmorang
SETELAH menciptakan lagu Anggar Pareman, Godman Ambarita lalu berpikir untuk memopulerkannya. Agar dapat didengar khalayak ramai, maka dia merasakan perlu mengganden media massa. Untuk tampil ke RRI Medan sangat jauh dari harapan. Ia masih merasa sebagai pemuda desa dan belum punya nama, tidak mungkin saya bisa bernyanyi menyaingi Nahum Situmorang dan Ismail Hutajulu. "Awak ini apalah," ujar Godman berseloroh menirukan gaya bicara orang Medan.
Walau rada kecul nyali, ia tetap mempunyai keinginan memopulerkan lagu karangannya. Godman pun atur siasat dan tampil sebagi pelopor, mengajak teman-teman untuk berkumpul dan belajar bernyanyi. Kebetulan pada tahun 1963, keadaan ekonomi di Parapat sungguh berat karena sepinya wisatawan yang berkunjung.
Untunglah didukung wisatawan lokal yang datang dari perkebunan yang tersebar di seluruh Provinsi Sumatera Utara. Sehingga untuk menambah penghasilan rata-rata anak-anak remaja Parapat terpaksa terjun mencari duit di lokasi rekreasi, menjual jasa mulai dari menyewakan tikar, sampan dan pelampung, tukang parkir hingga menjadi calo kapal penumpang yang akan membawa wisatawan berlibur ke Pulau Samosir. Para calo kapal tersebut disebut agen.
Selanjutnya bersama teman-temannya yang bekerja satu profesi sebagai agen yakni Jangkit Sirait, Neger Laut Sinaga, Pariel Silalahi, Jules Ambarita, Willy Hutapea, setiap hari Minggu sore setelah wisatawan pulang berkumpul di lapo tuak Sihombing yang terletak di Siburak-burak Tigaraja, Parapat.
"Sambil ber-lisoi minum tuak kami bersama-sama mempelajari lagu Anggar Pareman. Dan di lapo itu pulalah kami selalu berlatih setiap ada lagu baru yang saya ciptakan," urai Godman.
Setelah lulus SMA dari Narumonda Porsea, tahun 1966, ia berangkat merantau ke Jakarta. Dasarnya, ia berpikir kalu tetap di kampung tidak akan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Berhubung kehidupan penyanyi selalu dicemooh waktu di kampung maka begitu di Jakarta dia bertekad untuk tidak menyentuh gitar dan tidak mau bernyanyi.
Kebetulan lingkungan kota Jakarta tidak dapat memungkinkan bernyanyi di sembarangan tempat seperti layaknya di kampung halaman. Dia mengaku jujur, sangat suka mendengarkan nyanyia entah dari tape recoder atau orang bernyanyi, tapi untuk memetik gitar apalagi menyanyi berhenti sama sekali. Ditambah lagi kehidupan di Jakarta memaksa harus bekerja keras.
"Waktu berjalan terus, sekitar tahun 1970-an saya terkejut, lagu Bunga Na Bontar sangat popular di kalangan orang Batak. Artis-artis Batak di Jakarta menyanyikan dalam bentuk andung (merintih/cengeng). Sebenarnya hati saya protes karena nadanya tidak sesuai dengan roh lagu itu pada waktu saya mendapatkan inspirasi di sebuah desa kecil di Saribu Jawa. Sebab walau suasana," katanya.
Berhubung dinyanyikan sesuai perasaan penyanyi, maka terjadi degradasi baik dalam bentuk nada maupun syair. Adanya perubahan itu sah-sah saja. Berhubung kala itu masih dalam tahap hidup berjuang mencari sesuap nasi dan sekolah, maka tentu. Godman tidak bisa berbuat apa-apa. Namun dia tetap punya mimpi untuk sekali waktu meluruskan dan menyanyikan Bunga Na Bontar dalam bentuk asli, termasuk Uju MAngolu dan Anggar Pareman.
"Akhirnya pada tahun 2006 saya bertemu dengan Helmud Ambarita, Bando Simbolon dan Bona Sinaga. Kami mempunyai kesamaan nasib. Saya harus meninggalkan kecintaan saya bernyanyi di lapo tuak untuk mengubah nasib ke Jakarta, sementara mereka bertiga meninggalkan Lombok karena turis tidak ada lagi yang datang ke pulau itu," kata Godman.
Mereka tadinya mengadu nasib bernyanyi di hotel-hotel berbintang di Lombok. Dan masa lalu itulah cikal bakal nama grup bang Exalom (Ex Anak Lombok). Godman menawarkan untuk merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk asli, dan mereka setuju, dan terbentuklah Exalom Band. Dengan alasan yang sanagat pribadi, Bona Sinaga hanya ikut dalam album pertama, kemudian digantikan oleh Ucok Power Sinaga. Dan untuk album kedua Dohar Simbolon turut bergabung.
Exalom berupaya tampil beda dari band lainnya yang telah lebih dulu eksis di belantara musik tradisional. Perpaduan antara musik modern dengan sentuhan khas musik Batak yang dinamis dan kaya dengan aksenuitas yang khas, aransemen musik yang diolah dan dikelola manajemen Exalom secara profesional memberi warna baru dalam khasanah musik Batak.
Untuk mendukung performance Exalom, manajemen telah mempersiapkan tim yang bekerja di belakang panggung. Godman Ambarita bertindak sebagai Produser Eksekutif, pentolan Trio Amsisi Iran Ambarita sebagai arranger merangkap Music Director. Exalom berada di bawah bendera PT Gita Karya MandiriI, perusahaan yang memanajemeni secara profesional kegiatan bermusik Exalom.
Cita-citanya menambah semarak musik daerah Tapanuli belum tuntas. Namun bagimana pun, sejarah telah mecatatkan karya ciptanya. Selamat jalan Godman! (Persda Network/Domu Damians Ambarita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar