Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (2)
Curi-curi Waktu ke Lapo Tuak
KEGEMARAN Godman Ambarita mendengar musik tersalur karena kebetulan stasiun Radio Republik Indonesia (RR)I Medan sering menyiarkan acara Tapanuli Populer setiap hari Minggu. Dua penyanyi ternama dan belakangan menjadi legenda penyanyi Tapanuli, Nahum Situmorang, dan Ismail Hutajulu tampil secara bergantian.
"Sesibuk apapun, kalau Nahum Situmorang bersama group Solu Bolon mengisi acara di radio, kegiatan akan saya hentikan," kata Godman mengenang masa mudanya.
Tahun 1960-an setiap hari Minggu jam 14.00-15.00, RRI Medan menyiarkan vocal group Solu Bolon mengumandangkan lagu-lagu Tapanuli seperti Denggan ni Lagumi, Maragam-ragam, Pulo Samosir, Toba Holbung, Modom ma Damang Ucok, Dengke Jair dan sebagainya
Godman mengaku, sejak kecil telah menggemari berat Opera Batak Tilhang. Boleh disebut lagu-lagu yang didendangkan vocal group Solu Bolon maupun Opera Tilhang sungguh sangat meresap dan menggetarkan hatinya dan mendorong ingin cepat main gitar. Keinginan itu muncul dan menggebu-gebu setiap usai mendengar alunan suara dari Solu Bolon.
Tapi bagaimana caranya, sementara saat itu Godman tidak memiliki gitar atau alat musik lainnya? Caranya adalah ia sering-sering pergi ke lapo tuak, atau warung penjual aren/nira khas Batak yang lazim dikunjungi orang sambil bernyanyi dengan iringan gitar. Kala lapo sepi pengunjung, dan gitar menganggur, dimanfaatkan Godman untuk belajar memetik senar gitar.
"Jujur saya akui bahwa sekitar tahun 1960-an di Parapat, tidak banyak remaja yang seusia saya mau belajar gitar karena dianggap pargaul atau preman. Namun demikian saya tetap cinta musik, belajar gitar dan menyanyi. Rasanya indah kalau sudah dapat menyanyi sambil memetik gitar," ujarnya.
Kemudian untuk menambah perbendaharaan musik, setiap Minggu pagi jam 07.00-08.00, ia rajin mendengarkan lagu-lagu Pop Barat melalui program "Music City" dari Radio Singapura dan berlanjut dari jam 08.00-09.00 dari Radio Malaysia., yang terdengar dengan terang di Siantar.
Bahkan sampai dengan tahun 1964, mantan Kepala PDAM Jakarta Utara itu mengaku tidak pernah absen mengikuti perkembangan lagu-lagu Pop Barat. Beberapa lagu yang sangat terkesan dan saya sukai saat itu seperti: A Little Bit a Soap, Spanish Harlem(Chiff Richard), Sukyaky, Sealed With a Kiss, Sad Movies, I Need U (Ricky Nelson), Eighteen Yellow Roses, Roses are Red My Love, Twist (Chubby Checker), Send Me The Pillow.
Lagu-lagu Koes Bersaudara yang lagi top saat itu seperti Oh Kasihku, Senja, Pagi yang Indah, Telaga Sunyi, dan Dewi Rindu menjadi favorit Godman. Termasuk juga menyukai lagu Patah Hati dari Rahmat Kartolo.
Pada waktu itu belum ada tape recorder sehingga semua lagu direkam dalam piringan hitam dan diputar melalui gramophone. Gramophone termasuk barang mewah, sehingga hanya mereka yang tergolong orang kaya yang memilikinya.
Tentu saja bagi remaja yang pernah bersekolah di Pematang Siantar, sekitar tahun 1963, pasti pernah merasakan asyiknya mendengar hingar-bingar lagu-lagu Pop Barat dan Indonesia yang diputar melalui gramophone di kedai penjual Es Johor yang berada di Jalan Cipto. Masa itu Jalan Cipto merupakan tempat rendezvous para remaja.
"Singkatnya, begitu bisa main gitar saya rajin mempraktekkan sambil bernyanyi. Manakala saya menyanyikan lagu-lagu pop Barat atau Indonesia di lapo tuak atau martandang di pelosok desa sudah pasti menjadi pusat perhatian orang karena remaja-remaja masa itu paling-paling menyanyikan lagu opera Batak. Suatu kebanggaan tersendiri yang tidak dapat dinilai dengan uang." (Persda Network/Domu Damians Ambarita)
Curi-curi Waktu ke Lapo Tuak
KEGEMARAN Godman Ambarita mendengar musik tersalur karena kebetulan stasiun Radio Republik Indonesia (RR)I Medan sering menyiarkan acara Tapanuli Populer setiap hari Minggu. Dua penyanyi ternama dan belakangan menjadi legenda penyanyi Tapanuli, Nahum Situmorang, dan Ismail Hutajulu tampil secara bergantian.
"Sesibuk apapun, kalau Nahum Situmorang bersama group Solu Bolon mengisi acara di radio, kegiatan akan saya hentikan," kata Godman mengenang masa mudanya.
Tahun 1960-an setiap hari Minggu jam 14.00-15.00, RRI Medan menyiarkan vocal group Solu Bolon mengumandangkan lagu-lagu Tapanuli seperti Denggan ni Lagumi, Maragam-ragam, Pulo Samosir, Toba Holbung, Modom ma Damang Ucok, Dengke Jair dan sebagainya
Godman mengaku, sejak kecil telah menggemari berat Opera Batak Tilhang. Boleh disebut lagu-lagu yang didendangkan vocal group Solu Bolon maupun Opera Tilhang sungguh sangat meresap dan menggetarkan hatinya dan mendorong ingin cepat main gitar. Keinginan itu muncul dan menggebu-gebu setiap usai mendengar alunan suara dari Solu Bolon.
Tapi bagaimana caranya, sementara saat itu Godman tidak memiliki gitar atau alat musik lainnya? Caranya adalah ia sering-sering pergi ke lapo tuak, atau warung penjual aren/nira khas Batak yang lazim dikunjungi orang sambil bernyanyi dengan iringan gitar. Kala lapo sepi pengunjung, dan gitar menganggur, dimanfaatkan Godman untuk belajar memetik senar gitar.
"Jujur saya akui bahwa sekitar tahun 1960-an di Parapat, tidak banyak remaja yang seusia saya mau belajar gitar karena dianggap pargaul atau preman. Namun demikian saya tetap cinta musik, belajar gitar dan menyanyi. Rasanya indah kalau sudah dapat menyanyi sambil memetik gitar," ujarnya.
Kemudian untuk menambah perbendaharaan musik, setiap Minggu pagi jam 07.00-08.00, ia rajin mendengarkan lagu-lagu Pop Barat melalui program "Music City" dari Radio Singapura dan berlanjut dari jam 08.00-09.00 dari Radio Malaysia., yang terdengar dengan terang di Siantar.
Bahkan sampai dengan tahun 1964, mantan Kepala PDAM Jakarta Utara itu mengaku tidak pernah absen mengikuti perkembangan lagu-lagu Pop Barat. Beberapa lagu yang sangat terkesan dan saya sukai saat itu seperti: A Little Bit a Soap, Spanish Harlem(Chiff Richard), Sukyaky, Sealed With a Kiss, Sad Movies, I Need U (Ricky Nelson), Eighteen Yellow Roses, Roses are Red My Love, Twist (Chubby Checker), Send Me The Pillow.
Lagu-lagu Koes Bersaudara yang lagi top saat itu seperti Oh Kasihku, Senja, Pagi yang Indah, Telaga Sunyi, dan Dewi Rindu menjadi favorit Godman. Termasuk juga menyukai lagu Patah Hati dari Rahmat Kartolo.
Pada waktu itu belum ada tape recorder sehingga semua lagu direkam dalam piringan hitam dan diputar melalui gramophone. Gramophone termasuk barang mewah, sehingga hanya mereka yang tergolong orang kaya yang memilikinya.
Tentu saja bagi remaja yang pernah bersekolah di Pematang Siantar, sekitar tahun 1963, pasti pernah merasakan asyiknya mendengar hingar-bingar lagu-lagu Pop Barat dan Indonesia yang diputar melalui gramophone di kedai penjual Es Johor yang berada di Jalan Cipto. Masa itu Jalan Cipto merupakan tempat rendezvous para remaja.
"Singkatnya, begitu bisa main gitar saya rajin mempraktekkan sambil bernyanyi. Manakala saya menyanyikan lagu-lagu pop Barat atau Indonesia di lapo tuak atau martandang di pelosok desa sudah pasti menjadi pusat perhatian orang karena remaja-remaja masa itu paling-paling menyanyikan lagu opera Batak. Suatu kebanggaan tersendiri yang tidak dapat dinilai dengan uang." (Persda Network/Domu Damians Ambarita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar