Sabtu, 23 Agustus 2008

Rerimbun Pohon Cengkeh dekat Terminal Kuningan, Cirebon


Monyet, Petani Cengkeh yang Congkak

PRODUSEN
rokok menjerit. Harga komoditas cengkeh melonjak dari Rp 35 ribu per kilogram menjadi Rp 55 ribu. Sudah mahal barnag tidak ada. Kejadian ini karena hasil panen menipis, sedangkan permintaan meningkat. Maka berlangsunglah hukum pasar, supply terbatas sedangkan demand meningkat, maka harga akan naik.
Gua Maria Sawer Rahmat, Cigugur, Cisantana

Tidak seperti kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, yang menaikkan harga bahan bakar minyak antara lain minyak tanah dan elpiji, namun barang justru langka. harga sudah mahal, tetapi ketersediaan barang tidak terjamin untuk dibeli konsumen.

Imbas dari kelangkaan cengkeh, produsen rokok selaku konsumen cengkeh terpaksa mencari sumber alternatif, antara lain mengimpor cengkeh dari luar negeri.


Baru-baru ini, saya bepergian ke Kuningan, Cirebon, ke Gua Maria di Cisantana, Cigugur, Kuningan. Lokasinya terletak di kak gunung Ciremai, perjalanan sekitar seperempat jam naik sepeda motor dari terminal Kuningan. Tempat pejiarahan dan pendalaman spiritual umat Katolik ini dinamai Gua Maria Sawer Rahmat.

Perjalan ke Gua Maria Sawer Rahmat perlu persipan secara memadai, terutama fisik. Letaknya yang di kaki gunung, melintasi 14 perhantian "Litani Yesus Kristus" menuju penyaliban di Bukit Golgota, menempuh jalan berliku dan mendaki. Jalannya sudha disemen, mengikuti kontur pegunungan, dan tampak tetap asri, sepadan dengan alam.

Sengatan matahari tak perlu dirisaukan, sebab rerimbun pohon akan menaungi Anda. Lagi pula, hawa pegunungan sangat dingin, adem. Kalau datang sore, sebaiknya membawa sweater.

Jarak tempuh dari terminal Kuningan sektiar 15 menit. Tapi ingat, mobil tidak dapat mendekat ke lokasi. Mobil diparkir jarak sektiar 1,5 sampai 2 km dari Gua. Jika tidak ada sepeda motor, anda berjalan menyusuri jalan setapak, sudah disemen, melewati arenal permukiman dan pekuburan.

Untuk orang tua, dapat dibatnu angkuta ojeg, hingga ke tepi jurang. Dari sana, tinggal kurang lebih 700 meter menuju gua. Untuk menuruni dan menaiki ribuan anak tangga, sebaiknya gunakan tongkat. Jika lupa membawa dari rumah, silakan membeli ptongan-potongan kayu yang disediakan warga setempat.

Tahun 1992, tepatnya bulan Mei, saya beserta rombongan dari Sunter, Jakarta Utara, sudah pernah ziarah ke Cigugur, ketika Gua Maria ini baru berusia dua tahun sejak diresmikan Kardinal Tomko 21 Juli 1990. Saat itu, dengan khusuk saya berdoa agar lolos masuk UMPTN.

Dan Syukur alhamdulillah, saya dapat mengenyam pendidikan di PTN, dengan biaya murah, dan lebih ringan lagi karena mendapat potongan uang kuliah selaku anak atau putra pejuang republik Indonesia, karena Yahya Amabrita, ayah saya adalah mantan anggota Tentara Keamanan Rakyat yang jasa-jasanya dihargai sebagai anggota Legiun Veteran RI.

Kedatangan keduakali, Juli 2008, seorang diri. Kesempatan itu saya memnajatkan doa kepada Tuhan melalui Perantaraan Bunda Maria dan Para Orang Kudus agar saya pribadi dan keluarga ditambahkan kesehatan, kebahagiaan, keselamatan, dan dilimpahkan rezeki.

Khusus buat putriku, Felisita Dorothy Ambarita yang saat itu berusia 14 bulan, agar dikuatkan fisiknya untuk segera berjalan dengan baik. Devosi untuk kakaknya, Elisabeth Uli Ovelya Ambarita kiranya Tuhan menumbuhkembangkan fisik, mental, budi pekerti, kasish sayang, dan pengetahuan. Dan juga kerukunan kelurga, saya dengan sitri, Lorentina Herawati, semoga terus terjamin, romantis dan bahagia.

***
Kembali ke masalah cengkeh. Setibanya di Terminal Bus Kuningan, rerimbun pohon cengkeh tampah di sana. Jumlahnya memang tidak sebera, tidak sampai berbentuk kebun luas, melainkan tumbuh satu dua di antara rumah-rumah penduduk.

Pohonnya tinggi-tingki, sekitar 7-10 meter. Subur dan rimbun. Juli itu musim panen cengkeh. Buahnya lebat. Di bawahnya, para tukang ojek ngetem atau mangkal menunggu penumpang. Tak jauh dari sana buah cengkeh yang telah dipetik, tampak dijemur di halaman rumah, terbentang dua tikar plastik alas butiran-butiran buah cengkeh.

Saya langsung terbayang, betapa menggiurkannya hasil bercocok tanam cengkeh. Betapa kayanya seseorang andai memiliki hamparan kebun cengkeh.Dua puluhan tahun silam, ingatakan saya seketika mengarah ke Ujung Mauli dan Sipolha di tepian Danau Toba. Tahun 80-an, warga daerah itu, dan umumnya pesisir Danau Toba hidup mewah dan kaya berkat hasil cengkeh.

Mereka dengan mudah menyekolahkan anak hingga ke bangku kuliah. Mereka pun tak perlu ngosngosan untuk mencar uang membangun rumah batu atau gedong. Bahkan derajatanya terangkat diikuti gaya hidup, dari buruh tani menjadi juragan cengkeh yang mengupah buruh sekadar memetik panenen cengkeh.

Terbetiklah suatu anekdot, yang hikmahnya dapat diambil untuk menghindari kecongkakan. Konon, ketika harga cengkeh tinggi dan tuaian buah cengkeh masih bagus, para juragan cengkeh tadi lupa diri, dan menjadi sombong.

Saking congkaknya, seorang juragan cengkeh menyamakan buruh yang sedang bergelantungan di dahan pepohonan untuk memanen cengkah dengan monyet. Seorang juragan cengkeh membeli sarapan buat buruh tani. "Bu, tolong bungkuskan nasi buat monyet yang sedang bekerja di ladang."

Begitulah kira-kira cuplikan dialog yang menampakkan kesombongan juragan cengkeh. Bagi kaum tua, dialog itu dikutip dan disebar luaskan sebagai sesauatu yang tabu. Apalagi tak lama setelah itu, tanaman cengkeh diserang penyakit misterisu yang sampai saat ini, tak dapat mengulangi kejayaan masa lalu. Kini warga melarat, karena tak ada yang dapat diharap tumbuh subur dari tanah gersang bebatuan, selain bawang merah, ubi rambat dan tanaman seadanya.


Doa, tabu atau azab karena menyamakan manusia dengan monyet, boleh saja berdasar dari tinjuan humanisme. Manusia kok disebut monyet. Congkak betul dia, karena punya duit lalu menamai si buruh miskin dengan binatang jelas-jelas tak punya akal-budi.

Monyet? Ya, monyet. Dari akal sehat dan dalih-dalih ekonomi, tentu saja ada lasan lain. Bukan semaka karena alasan kena karma. Tetapi dari tinjauan perdagangan, kerakusan Tommy Soeharto dan konco-konconya memonopoli pembelian Cengkeh dengan Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh (BPPC) punya andil paling besar membuat pertanian cengkeh jatuh ke titik nadir terendah.

Dengan pengendalian yang berlebihan, petani tidak mendapat untung dari becocok tanam cengkeh. Al hasil, dari tahun ke tahun, kecenderungan lahan pertanian cengkeh menurun, yang selanjutnya berdampak pada menurunnya pula produksi cengkeh.

Lihatlah, tahun 2003, ribuan batang bibit tanaman cengkeh di beberapa lokasi pembibitan di Kecamatan Tambak dan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah dicabut oleh petani, sebagian dibuang begitu saja, dan sebagian lagi dibakar.

Tindakan bumi hangus ini merupakan ungkapan kekesalan sejumlah pembuat bibit cengkeh sebagai dampak jatuhnya harga cengkeh yang dua-tiga bulan lalu sempat melambung menjadi Rp 60.000 per kilogram, bahkan sempat mencapai Rp 90.000 per kg. Namun akhir-akhir ini harga cengkeh jatuh hingga pada harga Rp 14.000 per kg.

Dari pelajaran ini dapat dipetik pelajaran:
1. Mari menyeimbangkan kebutuhan rohani, spiritual dan jasmani
2. Mari menjaga keseimbangan lingkungan sekitar
3. Mari menjaga kesetaraan antarsesama manuasi sebagai ciptaan Allah, jangan merendahkan martabat orang lain dengan memandang status ekonomi sosial (SES)
4. Jangan silau dengan kekayaan-harta-hrta dunia, karena semua bersifat sementara saja
5. Selipkanlah cita-cita menjaga keseimbangan antara kemakmuran dan kebahagiaan. Pada satu waktu, kita memburu kemakmura dan bahagianya luar biasa, terasa sampai ke ubun-ubun. Katakanlah, satu keluarga sederhana tiba-tiba diberi berkat, kenaikan pangkat dan jabatan sang suami. Tak lama kemudian, mereka berkecukupan atau kaya-raya. Namun celaka, justru kekayaan itu menauhkan keluarga dari kebahagiaan. Suami berfoya-foya, dugem mulai kecanduan narkoba yang harganya tak terjangkau orang miskin.

Dalam contoh ini, kemakmuran bukan membawa nikmat atau bahagia lagi, tetapi sebaliknya mencelakakan. So, sisipkanlah cita-cita menggapai kebahagiaan di antarara permohonan- permohonan agar ditambahkan rezeki dan harta berlimpah. Semoga ktia semua meraih kemakmuran secara materi dan kebahagiaan dalam kejiwaan dan kehidpuan nyata. (Domuara Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 20 Agustus 2008

Bayonet Paspampres Jatuh di Depan SBY
* Patah Dua Kena Aspal
* Pedang Komandan Upacara Jatuh

JAKARTA- Ada tiga kejadian ganjil saat upacara kenegaraan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-63 RI yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Merdeka Jartaka Minggu (17/8). Kesalahan itu dilakukan para anggota TNI peserta upacara. Dua pucuk bayonet atau pisau sangkur di ujung senjata laras panjang jatuh, dan pedam komando Komandan Upaca Kolonel Marinir Bambang Suswanto pun sempat terpelanting ke tanah. Dua kejadian ketika memperingati detik-detik proklamasi pagi, sedangkan satu algi saat penurunan bendera sore.

Satu di antaranya bayonet itu terjatuh dari senjata milik personel Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) persis di hadapan presiden, berjarak kurang lebih 5 meter dari podium Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beridiri.

Saat itu, Fince Yunita Maran, siswi SMA Negeri 1 Monokwari, Papua Barat selaku pembawa baki, baru saja menyerahkan duplikat bendera merah putih kepada presiden. Paspampres yang tergabung dalam Paskibraka akan berlalu dari hadapan presiden dan tetamu. Namun saat sedang memasang sangkur, bayonet itu terjatuh ke lantai yang terbuat dari aspal, dan mata pisau patah dua.

Kendati bayonet terjatuh, paskibraka tetap berlalu, dan tinggallah bayonet di lapangan. Menyaksikan pemandangan ganjil ini, seorang personel Paspamres lainnya yang berjaga di sisi sebelah kiri podium, mengenakan jas hitam, berlari ke tengah lapangan khusus memungut bayonet.

Kontan saja pemandangan ini menyita perhatian Presiden Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua MPR Hidayat Nurwahid, para menteri Kabinet Indonesia Bersatu, pejabat negara dan tetamu lainnya. Tampak juga Panglima TNI Jenderla Djoko Santoso, Kapolri Jenderal Sutanto, dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Agustadi SP, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Subandrio, dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana TNI Tedjo Edhy.

Seusai upacara penurunan bendera, seorang paspamres yang mengenakan seragam merah putih berlari-lari kecil ke lokasi mencari-cari sangkurnya. "Sangkur ku yang terjatuh tadi masih di sana, ya?" ujarnya bertanya kepada angota Paspampres lainnya yang juga tergabung dalam Paskibraka.

Adapun kejadian pertama, ketika pengibaran bendera memperingati detik-detik proklamasi. Saat, komandan upacara memberi aba-aba hormat senjata. Entah karena kurang terampil memasang sangkur atau karena seorang taruna gugup, tiba-tiba sepucuk bayonet terjatuh dari ujung bedil peserta upacara dari defile Taruna Akademi Angkatan Laut. Sebilah senjata tajam ini terjatuh di atas lapangan yang ditumbuhi rumput.


Bukan hanya pasukan bawahan yang melakukan kesalahan. Komandan upacara Kolonel Marinir Bambang Suswantono pun. Ketika melaporkan kesiapan pasukan penurunan sang saka merah putih, Bambang memberi aba-aba "hormat senjata grak". Ketika memutar melakukan gerakan di bahu, pedang itu terjatuh ke tanah.

Kolonel Bambang tampak sempat kaget, dengan tangan bergerak seperti berusaha meraih senjatanya. Namun pedang tetap jatuh, dan barulah sekelebat kemudaian dia pungut dari tanah, setersunya memberi laporan kepada presiden. Melihat kejadian itu, wajah Presiden Yudhoyono, dan Wapres Jusuf Kalla tampak berubah, memerah berbeda dari sewaktu menuju podium yang tampak sumringah.

Selain para pejabat negara, tamu dari negara sahabat, ribuan undangan beserta masyarakat Jakarta dan sekitarnya menyaksikan upacara penurunan sang Saka Merah Putih di Istana Merdeka, Jumat (17/8) petang.

Anggota Paskibraka yang bertugas menurunkan bendera pusaka tersebut adalah Atna Meryanza, siswa SMAN 1 Bireun, Yudha Teguh Prastya siswa SMA 1 Yogyakarta, dan Fince Yunita Maran siswa SMAN 1 Monokwari, Papua Barat. Fince kemudian menyerahkan bendera tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Inspektur Upacara, di panggung kehormatan. Upaca penurunan bendera pusaka Merah Putih ini diakhiri dengan penghormatan kebesaran yang dimpimpin Kolonel Marinir Bambang Suswantono.

Sebelum upacara penurunan bendera dimulai, para tamu undangan dihibur dengan berbagai kesenian, seperti Gambang Kromong, marching band Semen Padang, tarian massal kolaborasi Rampak Bedug Rampak Gendang, kesenian massal SMA Presiden, dan Rabbani. Kemudian persembahan lagu-lagu nasional oleh Mita `Mama Mia', Kiki `Idola Cilik`, Dea Mirella, Idol Diva Bharanita, dan kesenian Haroan Bolon dari Simalungun, Sumatera Utara. (persda network/domu damians ambarita/ismanto/hendra)

[+/-] Selengkapnya...

Jaksa Agus Ambarita Periksa Berkas Muchdi Pr

JAKARTA, TRIBUN - Berkas perkara kasus pembunuhan aktivis Imparsial dan Kontras Munir dengan tersangka mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Mayjen (Purn) Muchdi Purwoprandjono diserahkan penyidik Polri ke Kejaksaan Agung, Senin (11/8).

"Paling lambat Jumat ini sudah dilimpahkan ke pengadilan," kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga seusai penyerahan berkas berikut tersangkanya di Kejagung, Jakarta, kemarin.

Untuk menyidangkan Muchdi, Ritonga telah membentuk tim jaksa penuntut umum (JPU) yang berjumlah 10 orang. Anggotanya antara lain Sirus Sinaga, Maju Ambarita, dan Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati DKI Jakarta Agus Riswanto.

Mengenai pasal yang akan dikenakan terhadap Muchdi, Ritonga menyebutkan pasal 340 junc to 55 ayat 1 butir 2 UU KUHP. "Acamannya bertingkat-tingkat, bisa mati, seumur hidup, atau 20 tahun penjara," lanjutnya.

Seusai dengan jadwal, Muchdi Pr disertakan dalam penyerahan berkas dari penyidik Polri yang dipimpin Direktur I (Keamanan Trans Nasional) Mabes Polri Brigjen Pol Mathius Salempang. Dari jajaran Kejagung hadir pula Sekretaris Jampidum Muzzami Merah Hakim.

Muchdi, yang dijemput dari Rutan Brimob, Kelapa Dua, Depok, tiba di Kejagung pukul 12.45. Kedatangan Muchdi lolos dari pantauan wartawan karena ia masuk dari kantor jaksa pengawasan yang tersambung dengan gedung pidana umum tempat wartawan menunggu.

Saat meninggalkan Kejagung pukul 13.45, kembali Muchdi Pr mengecoh wartawan. Ia menghindar kejaran wartawan karena keluar dari pintu poliklinik yang tidak dijaga wartawan. Dengan mobil Kijang warna merah marun nomor B 1946 OI, mantan Danjen Kopassus itu dibawa kembali ke Rutan Brimob Kelapa Dua.


Jampidum Abdul Hakim Ritonga menyatakan, selain pelimpahan Muchdi Pr sebagai tersangka, tim penyidik Mabes Polri juga menyerahkan barang bukti. Ritonga menjelaskan ada dua jenis barang bukti untuk Muchdi, yakni barang bukti yang digunakan untuk menghukum Pollycarpus Budihari Priyanto dan barang bukti baru yang diperoleh tim penyidik Polri.

Ada juga lima bukti tambahan. Pertama, buku kas kuarto yang berisi catatan keluar-masuk surat dan catatan keluar-masuk pembayaran. Kedua, hard disk yang diambil dari staf Muchdi Pr di BIN. Ketiga, tiga bundel hard copy call detail record (CDR) percakapan telepon yang diperoleh dari Telkomsel. Keempat, hard disk hasil kloning yang diduga milik staf Muchdi, yakni Juni Torino. Dan kelima, tiga lembar surat yang dikeluarkan Muchdi Pr.

Dari daftar saksi, lebih kurang 13 orang akan dihadirkan di pengadilan guna menjerat Muchdi Pr sebagai orang yang memberikan perintah kepada Pollycarpus untuk mengeksekusi Munir.
Ada mantan Wakil Kepala BIN M As'ad Ali, mantan Dirut PT Garuda Indra Setiawan dan terpidana Pollycarpus. Namun mantan Kepala BIN AM Hendropriyono tidak masuk dalam daftar saksi.
"Saksinya lebih dari 13 orang," tegas Abdul Hakim Ritonga di Kejagung, kemarin. Ritonga mengakui, M As'ad Ali masuk dalam daftar saksi. "Oh iya. As'ad juga termasuk (saksi)," lanjutnya.

Tolak Status
Harapan Muchdi Pr untuk menjadi tahanan kota kandas. Kejagung menolak permohonan Muchdi dengan alasan faktor keamanan. "Saya belum dapat menyimpulkan permohonan itu. Penahanan tetap ada. Tapi menurut penuntut, jangan ditahan kota," tegas Abdul Hakim Ritonga.
Apa pertimbangan tidak dilakukan penahanan kota? "Saya nggak hafal. Untuk keamanan. Tapi formalnya belum dijawab," lanjut Ritonga.

Ketika ditanya apa maksud alasan keamanan, Ritonga menjawab, "Keamanan segala-galanya." Supaya jaksa aman? "Dalam arti luas lah," tambahnya.
Permohonan pengalihan dari tahanan Rutan menjadi tahanan kota disampaikan tim kuasa hukum Muchdi Pr saat pelimpahan barang bukti dan tersangka di Kejagung.

Salah satu kuasa hukum Muchdi, yakni Lutfie Hakim, menjelaskan, saat pelimpahan tersebut Muchdi mengajukan dua permintaan. Pertama, minta segera perkaranya dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan. "Kedua, beliau mengharapkan kebijaksanaan dari pihak penuntut umum, agar ada pengalihan bentuk tahanan dari bentuk tahanan dalam Rutan menjadi jenis tahanan kota," ujar Lutfie.

Apa pertimbangan permintaan pengalihan menjadi tahanan kota? "Pertimbangan dari pihak," tambah Lutfie. Karena ditolak, Muchdi tetap menjadi tahanan Kejaksaan. Seperti waktu menjadi tahanan Polri, Muchdi tetap ditahan di Rutan Brimob, Kelapa Dua, Depok.(Persda Network/yulis)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 14 Agustus 2008

82 Sapaan dalam Budaya Batak Toba
*Hubungan Kekerabatan atau Partuturon


oleh Dipl. Ing. Am Sardi M. Ambarita (Ompu Batara)

BUDAYA Toba sangat kaya akan istilah hubungan kekerabatan (partuturon), sehingga bagi mereka yang tidak mengikutinya sejak kecil akan sulit menggunakannya dengan benar.
Oleh karena itu banyak orang Batak yang tidak begitu faham mengenai hubungan kekerabatan (partuturon), terutama mereka yang lahir dan besar di perantauan.

Bagi orang Batak, partuturon adalah sangat penting, karena partuturon adalah untuk mengetahui hubungan kekerabatan kita satu sama lain dan menentukan bagaimana kita menyapa kawan bicara kita.

Dalam upacacara adat, partuturon adalah dasar untuk mengetahui posisi kita, yaitu unsur mana kita dalam Dalihan Na Tolu: arti hurufiah, segitiga tungku api. Pada suatu saat kita bisa Dongan Tubu, di saat lain menjadi Boru dan dilain kesempatan menjadi Hula-hula.

Apabila kita salah dalam menyapa kerabat kita, maka bisa terjadi orang yang disapa tersebut menjadi tersinggung, karena merasa kurang dihargai pada posisinya yang sebenarnya. Juga partuturon ini sangat menentukan dalam pembagian jambar dalam acara adat. Oleh karena itu kita masyarakat Batak wajib memahami hubungan kekerabatan atau yang dalam bahasa Batak disebut Partuturon.

Berikut ini adalah “Partuturon” atau sistem kekerabatan yang lazim dipakai dalam Budaya Batak Toba, kiranya dapat berguna bagi pembaca.

Catatan: “Saya” adalah orang/saya yang sedang membaca tulisan ini :

1. Ahu baca au, adalah sebutan bahasa Batak Toba untuk “Saya”.
2. Amang saya ialah bapak kandung saya, disapa dengan Amang atau Among.
3. Amang juga digunakan untuk menyapa :
Simatua doli = mertua laki-laki
Hela = menantau laki-laki
Haha doli = abang dari suami (saya perempuan)
Amang naposo = ponakan laki-laki atau putra dari kakak atau adik laki-laki saya (saya perempuan). Di beberapa tempat, Amang Naposo juga dipanggil "Paramaan" atau semua laki-laki yang memanggil "Namboru" kepada saya (saya perempuan)
Amang bao = besan laki-laki (saya perempuan)
• Panggilan kasih sayang kepada suami.
• Panggilan kasih sayang kepada anak laki-laki.
• Panggilan umum untuk semua Bapak-bapak yang kita hormati (sebelum diketahui
hubungan kekerabatan).

4. Inang saya ialah ibu kandung saya, disapa dengan Inang atau Inong.
5. Inang juga digunakan untuk menyapa :
Simatua boru = mertua perempuan
Parumaen = menantu perempuan (saya lak-laki).
Anggi boru = istri dari adik (saya laki-laki)
Inang naposo = istri dari Amang Naposo (saya perempuan) (lihat di atas).
Inang bao = besan perempuan (saya laki-laki).
• Panggilan kasih sayang kepada istri.
• Panggilan kasih sayang kepada anak perempuan
• Panggilan umum kepada semua Ibu-ibu yang dihormati (sebelum diketahui hubungan
kekerabatan).

6. Ompung Suhut saya ialah ayah dan ibu dari bapak saya. Ayah dari bapak saya ialah
Ompung Doli, dan ibu dari ayah saya ialah Ompung Boru, keduanya disapa dengan Ompung
(baca: oppung).

7. Ompung juga digunakan untuk menyapa :
Ompung Doli dan Ompung Boru dari pasangan saya.
• Panggilan umum kepada semua orang tua (sebelum diketahui hubungan kekerabatan).
• Panggilan kasih sayang kepada cucu.

8. Amang-tua saya ialah abang dari bapak saya, dipanggil Amangtua/bapak tua

9. Amang-tua saya ialah juga:
• Suami dari kakak-perempuan ibu saya.
• Bapak dari ompung doli saya (amang tua mangulahi), ada juga menyebut ompung nini.
• Semua yang dipanggil abang oleh bapak saya (mis: karena hubungan marga atau abang
pariban).

10. Inang Tua saya ialah istri dari amang tua saya, disapa dengan
Inangtua/omatua/mamatua.

11. Inang Tua saya adalah juga:
• Kakak perempuan dari ibu saya.
• Ibu dari ompung doli saya (inang tua mangulai).
• Isteri dari orang yang dipanggil abang oleh bapak saya, termasuk abang pariban.

12. Amang-uda saya ialah adik laki-laki dari bapak saya, disapa dengan Amanguda/bapak
uda.

13. Amang-uda juga dipakai untuk menyapa :
• Semua laki-laki yang dipanggil adik oleh bapak saya, termasuk adik pariban.

14. Inang-uda saya ialah isteri dari amang-uda saya, disapa dengan inanguda.

15. Inang-uda saya adalah juga :
• Adik perempuan dari ibu saya yang sudah menikah (adik pariban).

16. Inang-baju saya ialah adik perempuan dari ibu saya yang belum menikah

17. Angkang Baoa saya (saya laki-laki) adalah saudara laki-laki saya yang lebih tua dari saya (saya laki-laki), dipanggil Angkang (baca: akkang).

18. Angkang Baoa adalah juga (saya laki-laki) :
• Semua putra amang tua saya.
• Suami dari kakak perempuan istri saya.
• Suami dari kakak perempuan saya (saya perempuan).

19. Angkang Boru saya (saya laki-laki) ialah istri dari angkang baoa saya, disapa dengan
Angkang.

20. Angkang Boru saya adalah juga:
• Suami dari kakak istri saya.
• Kakak perempuan saya (saya perempuan).
• Istri dari abang suami saya.

21. Anggi saya ialah (saya laki-laki) adik laki-laki saya, disapa dengan anggi atau anggia.

22. Anggi saya juga:
• Semua anak laki-laki dari Amang Uda saya (saya laki-laki).
• Semua laki-laki yang memanggil angkang kepada saya.
• Adik perempuan dari isteri saya.
• Adik perempuan saya (saya perempuan).
• Adik laki-laki dari suami saya.

23. Haha Doli saya (saya perempuan), disapa dengan Amang, ialah:
• Abang dari suami saya.
• Semua yang dipanggil abang oleh suami saya.

24. Anggi Boru saya (saya laki-laki) , disapa dengan Inang, ialah:
• Isteri dari adik saya.
• Semua isteri dari yang panggil abang kepada saya.

25. Tunggane Boru (= Parsonduk Bolon ) (saya laki-laki) ialah istri saya, disapa dengan
Inang.

26. Tunggane Doli (= Sinonduk) saya (saya perempuan) ialah suami saya, disapa dengan
Amang.

27. Anak saya adalah anak laki-laki saya, dipanggil Anaha, atau Amang.

28. Anak saya, juga anak dari isteri saya:
• Anak laki-laki dari abang dan adik laki-laki saya.
• Anak laki-laki dari pariban saya.
• Anak laki-laki dari yang semarga dengan saya.

29. Parumaen saya, juga parumaen dari isteri saya, dipanggil Inang (saya laki-laki) ialah:
• Istri dari anak saya.
Parumaen dari abang dan adik saya
• Parumaen dari pariban saya.
• (istri saya memanggil parumaen saya dengan namanya atau panggoaranna = nama berdasarkan anaknya yang tertua).

30. Pahompu saya adalah putra dan putri dari anak-anak saya, dipanggil Pahompu.

31. Pahompu saya adalah juga pahompu isteri saya:
Pahompu dari abang dan adik saya.
Pahompu dari pariban saya.
• Semua yang memanggil ompung kepada saya.

32. Nini saya adalah cucu dari putra saya.

33. Nono saya adalah cucu dari putri saya.

34. Ondok-ondok saya adalah cucu dari cucu laki-laki saya.

35. Iboto atau Ito saya (saya laki-laki), ialah kakak dan adik perempuan saya, disapa dengan Ito.
36. Iboto atau Ito saya (saya laki-laki) adalah juga:
• Semua anak perempuan dari amang-uda dan amang-tua saya.
• Semua anak perempuan dari Namboru saya.
• Semua perempuan yang semarga dan sebaya dengan saya, (sebelum diketahui hubungan
kekerabatan).
Iboto dari ompung saya (ito mangulahi).
Ito juga panggilan umum kepada semua perempuan yang sebaya, yang belum ada
hubungan kekerabatan.

37. Iboto atau Ito saya (saya perempuan) adalah abang dan adik laki-laki saya, disapa dengan
Ito.

38. Iboto atau Ito (saya perempuan) saya adalah juga:
• Semua anak laki-laki dari amang-uda dan amang-tua saya.
• Semua anak laki-laki dari Tulang saya.
• Semua laki-laki yang semarga dan sebaya dengan saya, (sebelum diketahui hubungan
kekerabatan).

Ito juga panggilan umum kepada semua laki-laki yang sebaya, sebelum diketahui hubungan kekerabatan.

Ito juga panggilan kepada cucu iboto saya ( i t o mangulahi).

39. Lae saya (saya laki-laki) ialah suami dari ito saya, disapa dengan Lae .

40. Lae juga dipakai untuk menyapa (hanya antarlaki-laki):
Lae dari abang dan adik saya.
Ito dari istri saya (tunggane).
• Semua putra dari Tulang saya.
• Anak laki-laki dan menantu laki-laki dari amang-boru saya.
• Semua laki-laki yang sebaya dengan saya yang beristerikan yang semarga dengan saya.
• Semua laki-laki yang memanggil Lae kepada saya.
• Panggilan umum untuk semua laki-laki, sebelum diketahui hubungan kekerabatan.

41. Bere saya adalah juga bere istri saya, ialah putra dari iboto saya, dan cucu laki-laki dari
amang-boru saya.

42. Bere adalah juga abang dan adik menantu laki-laki (hela) saya.

43. Ibebere saya adalah juga ibebere dari isteri saya, ialah putri dari i t o saya dan cucu
perempuan dari amang-boru saya.

44. Bere/Ibebere saya pada umumnya, semua yang ibunya semarga dengan saya (saya
laki-laki).

45. Pariban saya ialah:
• Putri Tulang saya (saya laki-laki).
• Putra dari namboru saya (saya perempuan).
• Saudara perempuan dari isteri saya dan suaminya (saya laki-laki).
• Saudara perempuan saya dan suaminya (saya perempuan).
• Semua perempuan yang semarga dengan isteri saya dan suaminya (sayalaki-laki).
• Semua perempuan yang semarga dengan saya dan suaminya (saya perempuan).

46. Pariban so olion saya ialah:
• Cucu perempuan dari Tulang ibu saya (saya laki-laki).
• Cucu laki-laki dari namboru bapak saya (saya perempuan).

47. Amang Bao saya (saya perempuan), disapa dengan Amangbao, atau Amang, atau Bao,
ialah:
• Suami dari iboto suami saya.
• Amang Bao dari kakak adik saya.
• Suami dari putri amang-boru saya.

48. Inang Bao saya (saya laki-laki), disapa dengan Inangbao, atau Inang, atau . Bao, ialah :
• Istri dari iboto istri (tunggane) saya.
Inang Bao dari abang dan adik saya.
• Istri dari putra Tulang saya.

49. Eda (hanya antarperempuan) saya (saya perempuan), disapa dengan Eda, ialah :
• Istri dari iboto saya.
• Putri dari Tulang saya.
Iboto dari suami saya.
• Putri dari namboru saya.
• Panggilan umum kepada semua perempuan yang sebaya, yang belum diketahui hubungan kekerabatan.

50. Namboru saya ialah iboto dari bapak saya, disapa dengan Namboru.

51. Namboru juga dipakai untuk menyapa:
Namboru suami saya (saya perempuan).
• Mertua perempuan dari iboto saya (saya laki-laki).
Mertua perempuan dari kakak perempuan saya (saya perempuan).
• Ibu dari amang bao saya (saya perempuan).

52. Amang-boru saya ialah suami dari namboru saya, disapa dengan Amangboru.

53. Boru saya adalah putri saya, disapa dengan Boru, Ito atau Inang.

54. Boru saya adalah juga boru dari isteri saya, yaitu :
Boru dari abang dan adik saya.
Boru dari yang semarga dengan saya.
Boru dari pariban saya.

55. Boru Tubu saya ialah putri kandung saya dan i t o kandung saya (saya laki-laki)

56. Boru Diampuan saya:
• Semua boru tubu dari abang dan adik kandung saya.
• Semua boru kandung dari amang-tua dan amang-uda kandung saya.

57. Boru Namatua saya ialah:
Amang boru/namboru dari bapak saya.dan keturunannya.
Amang-boru/namboru saya dan keturunannya.

58. Hela saya juga hela dari isteri saya, disapa dengan Amanghela atau Amang, ialah:
• Suami dari putri saya
• Suami dari putri-putri abang dan adik saya.
• Hela dari abang dan adik saya.
• Hela dari pariban saya.

59. Simatua ni Boru saya, ialah orang tua dari hela saya.

60. Boru saya juga boru dari isteri saya, adalah semua orang yang isterinya semarga dengan saya (saya laki-laki).

61. Tulang saya adalah iboto (saudara laki-laki) dari ibu saya .

62. Tulang juga dipakai untuk menyapa:
Iboto dari inang-tua dan inanguda saya.
• Panggilan untuk anak laki-laki dari tunggane (= tulang naposo saya (saya laki-laki).
• Bapak dari ompung bao saya (tulang mangulahi).
Tulang juga adalah panggilan umum untuk kelompok hula-hula.

63. Nantulang saya ialah isteri dari tulang saya.

64. Nantulang juga panggilan untuk:
• Istri dari abang dan adik tulang saya.
• Ibu dari ompung bao saya (nantulang mangulahi).
• Istri dari putra tunggane saya (nantulang naposo).

65. Tunggane saya (saya laki-laki) ialah iboto dari istri saya, disapa dengan Lae.

66. Tulang Naposo = saudara laki dari ibu (Paramaan) saya (saya laki-laki) adalah putra dari tunggane saya, dipanggil Tulang.

67. Amang Naposo (Paramaan) saya (saya perempuan) , dipanggil Amang, ialah :
• Putra dari iboto saya.
• Semua laki-laki yang memanggil namboru kepada saya.

68. Inang Naposo saya ialah istri amang naposo saya (saya perempuan), dipanggil Inang.

69. Maen saya ialah:
• Putri dari tunggane saya (saya laki-laki).
• Putri dari iboto saya (saya perempuan).
• Semua yang memanggil amang-boru atau namboru kepada saya.

70. Simatua saya (saya laki-laki) ialah orang tua dari isteri saya. Simatua-doli disapa dengan Amang, dan Simatua-boru disapa dengan Inang.

71. Simatua saya (saya laki-laki) termasuk:
• Abang dan adik simatua-doli saya.
• Kakak dan adik-perempuan simatua-boru saya.

72. Simatua saya (saya perempuan) ialah orang tua dari suami saya. Simatua-doli disapa dengan Amang dan simatua-boru disapa dengan Inang.

73. Simatua saya (saya perempuan) termasuk abang dan adik dari simatua saya.

74. Hula-hula saya adalah juga hula-hula istri saya, yaitu mertua saya serta abang dan
adiknya.

75. Hula-hula pada umumnya sebutan kepada pihak yang semarga dengan mertua dan
semuaTulang saya.

76. Bona Tulang saya ialah hula-hula ompung saya atau tulang bapak saya dan keturunannya (saya laki-laki).

77. Tulang Rorobot saya ialah tulang ibu saya beserta keturunannya (saya laki-laki).

78. Bona ni Ari saya ialah tulang dari ompung saya dan keturunannya (saya laki-laki).

79. Ompung Bao saya ialah orang tua dari ibu saya.

80. Hula-hula marhaha-maranggi saya (saya laki-laki) ialah:
• Mertua (hula-hula) dari abang dan adik laki-laki saya.
• Hula-hula amang-tua dan amang-uda saya.

81. Hula-hula Naposo (Hula-hula Parsiat) saya (saya laki-laki) ialah:
• Mertua (hula-hula) dari putra saya.
• Mertua (hula-hula) putra abang dan adik kandung saya.

82. Hula-hula Sijungkot saya ialah mertua (hula-hula) dari pahompu saya (saya laki-laki).

Partuturon ini disusun berdasarkan pengalaman mengikuti partuturon sehari-hari dan informasi dari berbagai sumber, disadari bahwa pasti ada kekurangan atau tidak sesuai dengan pendapat pembaca, untuk mana diharapkan kritik dan perbaikan.


Jolo tinittip sanggar asa binahen huru-huruan,
Jolo sinungkun marga asa binoto partuturon.

Medan, Agustus 2008

Dipl.-Ing. Am Sardi M. Ambarita (Ompu Batara)
Komplek Taman Setiabudhi Indah (TASBI)
Medan 20133

[+/-] Selengkapnya...