Selasa, 22 Juli 2008

Menemukan Titik Realitas Konkret

LAHIR di Martapura, Kalimantan Selatan. Sejak kecil ia tinggal di Banjarbaru. Menyelesaikan kuliah di Universitas Lambung Mangkurat, FISIP, jurusan Administrasi Niaga. Ia pernah aktif di organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia(PMKRI) Santo Agustinus Banjarmasin.

Baginya, Kalimantan bukanlah daerah yang asing. Kini, Yohanes Effendi Santoso, lebih akrabnya dipanggil Toto, dipercaya menjadi Branch Manager PT Putra Bintang Timur Lestari --perusahaan furnitur nasional yang cukup ternama di negeri ini-- untuk perwakilan Kota Balikpapan, Penajam, Grogot. "Sejak Januari saya sudah dipindah ke Balikpapan untuk memasarkan produk merk Silent dan Frontline," katanya kepada Tribun Kaltim.

Menurut dia, pasar di Balikpapan peluangnya cukup terbuka. Apalagi segmentasi yang dibidiknya kelas menengah atas. "Hampir semua produk untuk rumah tangga dan perkantoran kami sediakan. Harganya cukup kompetitif karena produk yang kami jual cukup berkualitas," tambahnya.

Sebelum di Balikpapan, Toto bekerja di perusahaan yang sama dan ditempatkan di Cabang Malang (Arema) dan Cabang Surabaya. "Sebelumnya saya juga pernah bekerja sebagai sales di peruasahaan Olympic PT Cahaya Sakti Multi Intraco (Casmi)" kenangnya.

Menjadi seorang sales bukan pekerjaan yang mudah. Pertama, ia harus menguasai produk, termasuk kualitasnya. Kedua, ia juga harus memahami kualitas produk dari kompetitor. "Paling penting lagi, seorang sales harus konsisten dan tidak boleh patah semangat dalam meyakinkan customers. Selain itu ia harus jujur, karena terkait dengan kepercayaan. Sekali orang tidak percaya dengan kita, maka habislah karir sang sales," jelas Toto sedikit memberikan resep kepada sales-sales lainnya.

Selama ini banyak sales yang gagal, karena mengabaikan hal tersebut. Kedua, semangat yang dibangun juga setengah-setengah. "Jangan salah lho... banyak mantan-mantan sales yang berhasil menjadi orang besar. Kuncinya memang terletak pada spirit mereka dan pengetahuan serta kemampuan menginfluence konsumen dengan mengedepankan kejujuran.
Sekali kita bohong, maka konsumen akan kecewa. Kalau itu yang terjadi, tidak hanya kkita sendiri yang rugi. Perusahaan juga rugi. Akibatnya manajemen tidak berkembang dengan baik," papar pria yang kini berputra dua orang.

Sumber:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/22/1208599/menemukan.titik.realitas.konkrit


Ada satu hal lagi yang ia ingatkan kepada semua orang. Kunci keberhasilan manusia terletak pada kemauannya untuk meraih cita-cita. "Kadang kita hanya berwacana saja. Kita tidak pernah memasuki wilayah realitas konkrit. Masak hanya bermain pada tataran realitas subjektif dan objektif saja yang pada akhirnya hanya melahirkan wacana dan wacana. Nah kalau mau sukses, segera pilih titik tujuan yang hendak dicapai," tuturnya memberikan resep. (Tribun Kaltim/achmad subechi)

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 21 Juli 2008


CREATIVE MIND AND PUBLIC SPEAKING WORKSHOP

Gramedia Majalah, 11-12 Juni 2008
(Fenny Martan/ Pusdiklat KG)

http://wth-kompasgramedia.com/wth_web/main_page.php

- Salah satu bentuk penghargaan bagi karyawan Kompas Gramedia yang berpartisipasi pada Lomba Ide & Inovasi WTH 2008 -

Pada Tanggal 11 Juni 2008 yang lalu Panitia Win The Heart 2008 bekerjasama dengan Pusdiklat KG telah menyelenggarakan acara Creative Mind and Public Speaking Workshop di Gd. Gramedia Majalah, Jl. Panjang.
Acara ini diadakan selama 2 hari, dimana hari pertama dibagi menjadi dua sesi, yaitu sesi pagi dan siang. Sesi pagi diisi oleh Bapak Made Suryawan (Quality Development and Training Department Manager PT. Grahawita Santika) yang sharing mengenai Creative Mind dan sesi siang diisi oleh Bapak Masri Sareb (Staf Akademik dan Koordinator mata kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Multimedia Nusantara) yang membawakan sharing mengenai Public Speaking with Confidence. Hari kedua adalah Workshop Public Speaking dan Presentasi yang juga dibawakan oleh Bapak Masri didampingi oleh Bapak Johny Natu (Pusdiklat KG) yang juga bertindak sebagai moderator.

11 Juni 2008 –Sesi Pagi: Creative Mind – Bapak Made Suryawan
Tujuan :
Agar mampu menjadi pembelajar yang sejati dan menjadi INTELEKTUAL & insan yang lebih KREATIF dan PRODUKTIF

Sesi ini dibuka dengan film koleksi Pusdiklat KG yang berjudul “A Race Without a Finish Line” yang mencoba membuka wawasan peserta bahwa customer jaman sekarang ini lebih demanding. Mereka akan selalu menuntut “IT COULD BE BETTER!” terhadap kualitas produk dan jasa kita. Kemudian acara dilanjutkan dengan ice breaker pembuka yang mencoba untuk menggali kreativitas peserta.

Apa itu creative mind? Creative mind adalah daya jiwa & pikir yang mampu menghasilkan ide yang memberikan solusi, option yang lebih baik dengan kreasi, warna lain dan tidak selalu normatif .

Bagaimana dasar-dasar menuju jiwa kreatif?
1. Miliki Hati yang harmonis.- siapakah saya?
2. Mengenal kemampuan otak manusia
3. Mengetahui kompetensi diri.(based on quick thinking & action)
4. Kreativitas, Kebijaksanaan dan Kepasrahan
5. Memiliki Lateral thinking yang berkembang
6. Menjadi INTELEKTUAL SEJATI (memiliki kepekaan social / social analysis ability) dan akhirnya berjiwa MERDEKA dalam berpikir dan berpendapat. Beyond generic knowledge !


11 Juni 2008 –Sesi Siang: Public Speaking with Confidence – Bapak Masri Sareb
Tujuan:
Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi, presentasi, dan pengetahuan mengenai teknik persuasive dan public speaking.

Pada sesi ini peserta dipaparkan pada apa dan bagaimana melakukan presentasi, apa itu Public Speaking, bagaimana persiapan kita dalam melakukan Public Speaking, mengenal tipe-tipe peserta (audience), bagaimana melakukan berbagai macam teknik argumentasi yang mengarah pada emosi, karakter, dan rasio.

12 Juni 2008 – Workshop Public Speaking dan Presentasi – Bapak Masri Sareb & Johny Natu
Sesi di hari kedua ini adalah kegiatan interaktif dimana peserta yang telah terbagi menjadi….. kelompok, dimana tiap-tiap kelompok diminta untuk memberikan perwakilan untuk mempresentasikan ideyang telah dikirimkan kepada panitia Win the Heart. Setelah peserta melakukan presentasi maka teknik presentasinya akan diulas dan diperbaiki melalui saran-saran perbaikan yang disampaikan oleh Bapak Masri Sareb.
Keluar sebagai peserta dengan penilaian presentasi terbaik adalah kelompok 10 yang diwakili oleh Bapak Domu dari Persda.

Demikianlah seluruh rangkaian acara telah berakhir, semoga acara ini bisa memberikan bekal dan manfaat. Let’s Delight Our Customer!

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 20 Juli 2008

Pencipta Lagu "Bunga Nabontar" Tutup Usia
Sabtu, 19 Juli 2008 | 14:11 WIB

http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/19/14115154/pencipta.lagu.bunga.nabontar.tutup.usia

RATUSAN karangan bunga dukacita berjejer di Jalan Siaga Raya, Pejaten, Pasar Minggu, Jumat (18/7). Deretan bunga itu menambah suasana duka di kediaman Godman Ambarita, pencipta lagu Bunga Nabontar, satu nyanyian cinta yang melegenda dari daerah Batak Toba, Sumatera Utara.

"Lagu-lagu daerah Tapanuli sudah banyak yang diciptakan almarhum, di antaranya berjudul Bunga Nabontar, Uju Mangolu, dan Anggar Pareman," kata Sarido Ambarita, adik bungsu Godman Ambarita, kepada Persda Network di rumah duka, Jumat (18/7) malam.

Godman meninggal dalam usia 63 tahun akibat serangan jantung, Rabu (16/7) pukul 03.00, dan akan dikebumikan di TPU Pondok Ranggon Sabtu ini. "Bapak sudah tiga kali mengalami serangan jantung. Ini serangan keempat kali yang menyebabkan bapak meninggal," kata Reinhard Ambarita, anak bungsu almarhum.

Sarido, yang baru tiba beberapa menit dari tempat kelahiran almarhum di Parapat, Danau Toba, Sumatera Utara, mengungkapkan, lagu Bunga Nabontar (bunga warna putih) diciptakan Godman ketika masih muda.

"Memang sejak masih sekolah di bangku SMA di Siantar, Abang Godman sudah mengarang lagu. Bunga Nabontar misalnya, sudah lama populer sebelum dipopulerkan kembali oleh Trio Maduma awal tahun 1990-an," kata Sarido.

Kemudian setamat SMA, Godman merantau ke Jakarta. Di Ibu Kota, ayah empat anak ini kemudian berkarier di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan jabatan struktural sebagai Kepala PDAM Jakarta Utara. Saat tutup usia, Godman masih menjabat Direktur Eksekutif DPP Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi).

Jiwa seni mengalir di dalam darah Godman dan keluarga. Pentolan grup musik Trio Amsisi, Iran Ambarita, adalah adik kandung almarhum. Mereka berdua bahkan aktif membentuk band Exalom (Eks Anak Lombok) tahun 2006 dengan lagu andalan Tiri-tiro.

Godman dalam situs exalom.com menuliskan pengalaman-penalamannya sejak kecil, termasuk kisah mencipta lagu-lagu Tapanuli.

Pertengahan tahun 1964, tutur Godman, dia diajak teman satu sekolah bernama Balson Sinaga ke kampungnya di Saribu Jawa, Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Letaknya di pedalaman dan harus jalan kaki sejauh 10 km. Tidak ada kendaraan yang menyentuh daerah pertanian yang sangat subur itu.

"Pada malam hari saya diajak martandang tentu saja dengan petikan gitar sembari bernyanyi menyusuri tegalan sawah di tengah kegelapan. Tiba di sebuah rumah tempat martandang saya berkenalan dengan seorang pemuda desa," tutur ayah empat anak ini. Dalam kegelapan malam, mereka sempat bernyanyi beberapa lagu sambil melirik gadis-gadis desa yang ada di rumah itu. Seusai bernyanyi, pemuda itu bercerita tentang nasib malang yang menimpanya, yakni pacarnya memutuskan hubungan mereka, ia menikah dengan pemuda lain.

"Ceritanya sederhana tapi raut wajahnya sangat sedih. Hati saya terharu mendengar ceritanya dan terlintas di benak saya atas senandung kesedihan yang menimpanya. Saya berjanji dalam hati akan menuangkan dalam sebuah lagu sebagai kenangan untuknya. Dalam tempo satu minggu saya menciptakan lagu Bunga Nabontar," tulis Godman.

Ia menambahkan, "Sengaja saya memperkenalkan kembang berwarna putih tanda ikhlas melepas sang kekasih dan sikap si pemuda yang tidak mau datang ke pesta pacarnya, menjadi salah satu bait pemanis lagu itu. Sangat saya sadari bahwa masa itu perkawinan Batak belum mengenal pemberian kembang kepada pengantin, apalagi di pedesaan. Tapi agar menarik perhatian pendengar saya coba merekayasa dalam untaian kata-kata, seperti yang tertuang dalam lagu Bunga Nabontar."

"Bunga Nabontar sering dinyanyikan oleh John Liat Samosir (JLS) bersama Godman jika ada acara martandang atau di lapo tuak di luar grup Rospita Berteman. Kemudian bersama John Liat Samosir dan Jules Ambarita, kami pertama sekali tampil bernyanyi di RRI Sibolga (live) tahun 1965.

Kami bertiga menyanyikan beberapa lagu, antara lain Uju Mangolu, Bunga na Bontar, dan O Ale Rospita. Selama berada di kota Sibolga, kami sempat berkeliling dari mulai Sibolga Julu, Simare-mare, bernyanyi di gereja Sambas dan melancong ke Sarudik yang terkenal dengan tempat rekreasi. Sewaktu berada di kota Sibolga, keindahan teluk Sibolga dan keramahan penduduknya mendorong saya menciptakan lagu Tapian Nauli. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (1)
Belajar Petik Senar walau Tanpa Gitar


HUJALO doi suratmi ito na ro tu ahu
Tarsonggot do ahu manjahai
Didokkon ho lupahononmu sude
Janjimi da na tu ahu di borngini

Manetek ilu sian simalolonghi ito
Marningot sude janjimi
Hape di na laho muli nimmu ho
Didokkon ho ma tua sirang ito

Reff.

Parrrohahon ma i bungahi bahen ma i dilambung mi
Bunga nabontar na hulehon tu ho
Ai anggo ahu ndang naro tu pesta mi

Dang tartumpahi au be ho
Simpan mai suratmi
Ima tumpakhu tu ho ito
Tanda naung sahat hataki


ITULAH syair-syair Bunga Nabontar lagu daerah Tapanuli, Sumatera Utara, ciptaan Godman Ambarita. Lagu ini dipopulerkan kembali duet Bunthora Situmorang dan Jhonny Manurung, awal tahun 1990-an.

Godman, seniman dan pencipta lagu-lagu Tapanuli meninggal pada usia ke-63, dan telah dimakamkan di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Sabtu (19/7). Sejak masa SMA hingga masa tuanya, puluhan lagu telah dihasilkan, dan tiga tahun terakhir aktif menangani kelompok band Exalom selaku Produser Eksekutif.

"Saya sangat bangga punya bapak seperti dia," ujar Reinhard Ambarita putra almarhum di rumah duka Jalan Siaga Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (18/7) malam.

Karya-karya Godman banyak dihasilkan tahun 1970-an, ketika masih SMA. Kemudian merantau ke Jakarta, dan akhirnya meniti karier hingga kepala Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta Utara. Hingga tutup usia, Godman tetap mengurusi masalah air selaku Direktur Eksekutif DPP Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi).

Dalam kesibukan itu, waktu untuk mencipta lagu tidak dapat dilakukan sepenuh hati. Kerinduan pada kesenian daerah diwujudkan kembali setelah pensiun musik melalui band Exalom, tahun 2006.

Lagu-lagu yang diciptakan melalui pendalaman makna terhadap keseharian, diangkat kembali. Bagaimana Godman Ambarita memandang filosofi dari keseharian tergambar pada lagu-lagu ciptaannya

Mencipta dan berkarya, bukan hanya sambilan, tapi adalah passion, melalui lagu
dia ingin mempersembahkan karya terbaik bagi masyarakat, dan
pencinta lagu Batak Toba.

Godman diilhami oleh perjalanan hidup dan kegetiran masa remaja, dan bagaimana lingkungan pergaulannya menjadi sumber inspirasi menjadi lagu.

Perjalanan kesenian itu dituangkan Godman dalam tulisan yang diberi titel Di Balik Cinta Musik, Belejar Gitar dan Lapo Tuak.

"Waktu saya duduk di bangku SMP pada tahun 1959, sebagai anak yang beranjak remaja ingin sekali dapat memainkan senar gitar.Tapi apa daya saya tak punya gitar. Minta dibelikan gitar sama orang tua mustahil. Makan saja susah. Pemberontakan PRRI tahun 1958-1960 membuat kehidupan penduduk di sekitar tepian Danau Toba makin susah. Namun hati saya tetap bergemuruh ingin pandai memetik gitar sambil bernyanyi," tulis Godman dalam situs kelompok Band Exalom yang didirikannya tahun 2006.

Kendati tanpa gitar, semangat Godman Ambarita tak putus belaja gitar. Caranya, laki-laki kelahiran Parapat, 4 Juni 1945 itu tak jemu-jemu menyimak seniornya memetik senar gitar. Di kala sendiri dia mencoba mempraktekkan walau tanpa gitar.

Pemilik gitar pun waktu itu masih sangat terbatas. Tidak lebih dari jari sebelah tangan. Didorong rasa ingin tahu terpaksa pinjam sana pinjam sini. Kendati pemain gitar kurang disukai masyarakat, ayah empat anak itu tidak peduli. Kata hati lebih kuat daripada kata orang.

"Kunci nada C pertama sekali saya kuasai terasa indah sekali alunannya lalu mendorong saya untuk mempelajari kunci nada yang lain. Setiap mendengar petikan senar gitar hati saya selalu menggelora. Tujuan utama saya sederhana, dapat main gitar sambil bernyanyi, itu saja. Caranya, saya tidak segan-segan meminjam gitar teman atau pergi ke lapo tuak mempelajari cara orang main gitar," katanya.

Bahkan kalau ada pemuda-pemuda yang sedang bermain gitar, dengan sabar memperhatikan cara mereka memetik gitar. Di samping ingin pandai memetik gitar, ia juga suka mendengar musik, baik tradisional maupun pop Batak dan Barat. Pendek kata mendengar musik merupakan kegemarannya. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (2)
Curi-curi Waktu ke Lapo Tuak

KEGEMARAN Godman Ambarita mendengar musik tersalur karena kebetulan stasiun Radio Republik Indonesia (RR)I Medan sering menyiarkan acara Tapanuli Populer setiap hari Minggu. Dua penyanyi ternama dan belakangan menjadi legenda penyanyi Tapanuli, Nahum Situmorang, dan Ismail Hutajulu tampil secara bergantian.

"Sesibuk apapun, kalau Nahum Situmorang bersama group Solu Bolon mengisi acara di radio, kegiatan akan saya hentikan," kata Godman mengenang masa mudanya.

Tahun 1960-an setiap hari Minggu jam 14.00-15.00, RRI Medan menyiarkan vocal group Solu Bolon mengumandangkan lagu-lagu Tapanuli seperti Denggan ni Lagumi, Maragam-ragam, Pulo Samosir, Toba Holbung, Modom ma Damang Ucok, Dengke Jair dan sebagainya

Godman mengaku, sejak kecil telah menggemari berat Opera Batak Tilhang. Boleh disebut lagu-lagu yang didendangkan vocal group Solu Bolon maupun Opera Tilhang sungguh sangat meresap dan menggetarkan hatinya dan mendorong ingin cepat main gitar. Keinginan itu muncul dan menggebu-gebu setiap usai mendengar alunan suara dari Solu Bolon.

Tapi bagaimana caranya, sementara saat itu Godman tidak memiliki gitar atau alat musik lainnya? Caranya adalah ia sering-sering pergi ke lapo tuak, atau warung penjual aren/nira khas Batak yang lazim dikunjungi orang sambil bernyanyi dengan iringan gitar. Kala lapo sepi pengunjung, dan gitar menganggur, dimanfaatkan Godman untuk belajar memetik senar gitar.

"Jujur saya akui bahwa sekitar tahun 1960-an di Parapat, tidak banyak remaja yang seusia saya mau belajar gitar karena dianggap pargaul atau preman. Namun demikian saya tetap cinta musik, belajar gitar dan menyanyi. Rasanya indah kalau sudah dapat menyanyi sambil memetik gitar," ujarnya.

Kemudian untuk menambah perbendaharaan musik, setiap Minggu pagi jam 07.00-08.00, ia rajin mendengarkan lagu-lagu Pop Barat melalui program "Music City" dari Radio Singapura dan berlanjut dari jam 08.00-09.00 dari Radio Malaysia., yang terdengar dengan terang di Siantar.

Bahkan sampai dengan tahun 1964, mantan Kepala PDAM Jakarta Utara itu mengaku tidak pernah absen mengikuti perkembangan lagu-lagu Pop Barat. Beberapa lagu yang sangat terkesan dan saya sukai saat itu seperti: A Little Bit a Soap, Spanish Harlem(Chiff Richard), Sukyaky, Sealed With a Kiss, Sad Movies, I Need U (Ricky Nelson), Eighteen Yellow Roses, Roses are Red My Love, Twist (Chubby Checker), Send Me The Pillow.

Lagu-lagu Koes Bersaudara yang lagi top saat itu seperti Oh Kasihku, Senja, Pagi yang Indah, Telaga Sunyi, dan Dewi Rindu menjadi favorit Godman. Termasuk juga menyukai lagu Patah Hati dari Rahmat Kartolo.

Pada waktu itu belum ada tape recorder sehingga semua lagu direkam dalam piringan hitam dan diputar melalui gramophone. Gramophone termasuk barang mewah, sehingga hanya mereka yang tergolong orang kaya yang memilikinya.

Tentu saja bagi remaja yang pernah bersekolah di Pematang Siantar, sekitar tahun 1963, pasti pernah merasakan asyiknya mendengar hingar-bingar lagu-lagu Pop Barat dan Indonesia yang diputar melalui gramophone di kedai penjual Es Johor yang berada di Jalan Cipto. Masa itu Jalan Cipto merupakan tempat rendezvous para remaja.

"Singkatnya, begitu bisa main gitar saya rajin mempraktekkan sambil bernyanyi. Manakala saya menyanyikan lagu-lagu pop Barat atau Indonesia di lapo tuak atau martandang di pelosok desa sudah pasti menjadi pusat perhatian orang karena remaja-remaja masa itu paling-paling menyanyikan lagu opera Batak. Suatu kebanggaan tersendiri yang tidak dapat dinilai dengan uang." (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (3)
Kisah Nyata Diadopsi Menjadi Roh Lagu

PELAN tapi pasti, Godman Ambarita akhirnya mahir memainkan gitar. Kini keinginannya meningkat dari sekadar memainkan gitar dan melantunkan lagu karya orang lain menuju keinginan mengarang lagu.

Bermula tahun 1963. Saat itu, seakan ada gejolak yang menggemuruh di hatinya untuk mencipta sebuah lagu. "Saya berpikir harus tampil beda dengan warna musik Batak. Lalu saya mencoba mengadopsi musik Rock and Roll yang sedang trendi saat itu. Tema lagunya saya sesuaikan pula dengan kondisi remaja, yakni dengan adanya kecenderungan sok jadi preman dengan pola konsumerisme gonta-ganti pakaian, walaupun pinjam-meminjam," kenang Godman.

Itulah inspirasi mengangkat tingkah polah kaum remaja anak-anak orang berada yang asyik hilir-mudik mengendarai sepeda motor Honda atau Vespa yang merupakan barang mewah. Lalu memakai pakaian jenis trelinin, teteron berbahan dari polyester yang tidak perlu disetrika dan mengenakan celana wol yang hanya dimiliki oleh anak-anak orang kaya. Perilaku remaja tersebut dirangkum dan tuangkan dalam lagu "Anggar Pareman" (Sok Jadi Preman), lagu jenaka dan merupakan ciptaan pertamanya.

"Dalam mencipta lagu, saya berusaha menggali dari kehidupan nyata, tapi dengan nuansa baru dan tempo musik yang khas. Contohnya, kisah Ibu tiri yang kejam dengan judul "Uju Mangolu" (Ketika masih Hidup) . Lagu ini diangkat dari kisah sedih seorang anak yang selalu menangis tiap malam bersenandung karena kerinduan pada ibunda tercinta yang sudah meninggal. Sedangkan sang ayah menikah lagi sehingga anak-anaknya tercerai-berai, homebroken.

Kisah nyata dari seorang sahabat, Tahir Manik, yang tinggal bersama Godman waktu sekolah di Pematang Siantar. "Selama berbulan-bulan Tahir selalu menangis tersedu-sedu terutama malam hari membuat hati saya serasa disayat-sayat. Pelan-pelan saya petik gitar mengikuti lengkingan kepiluan yang menimpa dirinya. Walau sedih, tidak dalam bentuk "andung" (rintihan). Pada waktu saya menyanyikan Uju Mangolu, Tahir menangis tersedu-sedu."

Kisah nyata masih mengilhami karya selanjutnya. Medio tahun 1964, ia diajak teman satu sekolah, Balson Sinaga ke kampungnya di Saribu Jawa, Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumut. Letaknya di pedalaman dan harus jalan kaki sejauh kurang lebih 10 km. Belum ada kendaraan bermotor ke daerah pertanian yang sangat subur itu.

Pada malam hari Godman diajak martandang (apel perempaun) tentu saja dengan petikan gitar sembari bernyanyi menyusuri tegalan sawah di tengah kegelapan. Tiba di sebuah rumah tempat martandang, Ia berkenalan dengan seorang pemuda desa.

Mereka cepat akrab oleh kesamaan hobi, bernyanyi. Mereka menggoda bunga desa dengan unjuk kebolehan melantunkan beberapa lagu diiringi jemari yang menari liar memetik senar gitar. Bernyanyi sembari melirik gadis-gadis desa. Usai bernyanyi bersama, sang pemuda desaitu bercerita tentang kisah asmara yang kandast karena pacarnya pergi menikah dengan pemuda lain.

"Ceritanya sederhana tapi raut wajahnya sangat sedih. Hati saya terharu mendengar ceritanya dan terlintas di benak saya atas senandung kesedihan yang menimpanya. Saya berjanji dalam hati akan menuangkan dalam sebuah lagu sebagai kenangan untuknya. Dalam tempo satu minggu saya menciptakan lagu Bunga Na Bontar (Bunga Warna Putih)," tutur Godman.

Ia mengaku sengaja memperkenalkan kembang berwarna putih tanda ikhlas melepas sang kekasih dan sikap si pemuda yang tidak mau datang ke pesta pacarnya, menjadi salah satu bait pemanis lagu itu.

"Sangat saya sadari bahwa masa itu perkawinan Batak belum mengenal pemberian kembang kepada pengantin, apalagi di pedesaan. Tapi agar menarik perhatian pendengar, saya coba merekayasa dalam untaian kata-kata, seperti yang tertuang dalam lagu Bunga Na Bontar".

Bunga Na Bontar, sering dinyanyikan berduet dengan John Liat Samosir (JLS) saat martandang atau di lapo tuak di luar group Rospita Berteman. Kemudian bersama John Liat Samosir dan Jules Ambarita (saudara kandungnya), mereka pertama sekali tampil bernyanyi di RRI Sibolga (live) tahun 1965. Mereka bertiga menyanyikan beberapa lagu antara lain Uju Mangolu, Bunga na Bontar, O Ale Rospita.

Dan selama berada di kota Sibolga, mereka sempat berkeliling dari mulai Sibolga Julu, Simare-mare, bernyanyi di gereja Sambas dan melancong ke Sarudik yang terkenal dengan tempat rekreasi. Sewaktu berada di kota Sibolga, keindahan teluk Sibolga dan keramahan penduduknya mendorong Godman menciptakan lagu Tapian Nauli.

Sepulangnya dari Sibolga, Godman dan dua temannya menumpang sebuah truk pengangkat batu untuk menghemat ongkos. Kemudian truk yang ditumpangi berhenti di rumah makan di Adian Hoting, lokasi persinggahan yang terkenal dengan sajian rumah makan yang enak masakannya. Usai melahap makan, sebagaimana biasa kami melantunkan sebuah lagu. Lalu pemilik rumah makan bertanya, "Apakah kalian yang bernyanyi di RRI Sibolga beberapa hari yang lalu?"

"Serentak kami menjawab "Ya". Serta-merta beliau meminta lagu "Ina Panoroni" atau "Uju Mangolu", yang kami nyanyikan di RRI Sibolga. Menurut pengakuannya nasibnya persis sama seperti lagu itu. Saat kami bernyanyi matanya berkaca-kaca. Tatkala mau membayar makanan, beliau mengatakan, "Tidak perlu bayar, hati saya sangat puas mendengar lagu itu. Saya teringat kejamnya ibu tiri", katanya sambil mengusap air mata yang meleleh di pipinya. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (4-Habis)
Tidak Pede Menyaingi Nahum Situmorang

SETELAH menciptakan lagu Anggar Pareman, Godman Ambarita lalu berpikir untuk memopulerkannya. Agar dapat didengar khalayak ramai, maka dia merasakan perlu mengganden media massa. Untuk tampil ke RRI Medan sangat jauh dari harapan. Ia masih merasa sebagai pemuda desa dan belum punya nama, tidak mungkin saya bisa bernyanyi menyaingi Nahum Situmorang dan Ismail Hutajulu. "Awak ini apalah," ujar Godman berseloroh menirukan gaya bicara orang Medan.

Walau rada kecul nyali, ia tetap mempunyai keinginan memopulerkan lagu karangannya. Godman pun atur siasat dan tampil sebagi pelopor, mengajak teman-teman untuk berkumpul dan belajar bernyanyi. Kebetulan pada tahun 1963, keadaan ekonomi di Parapat sungguh berat karena sepinya wisatawan yang berkunjung.

Untunglah didukung wisatawan lokal yang datang dari perkebunan yang tersebar di seluruh Provinsi Sumatera Utara. Sehingga untuk menambah penghasilan rata-rata anak-anak remaja Parapat terpaksa terjun mencari duit di lokasi rekreasi, menjual jasa mulai dari menyewakan tikar, sampan dan pelampung, tukang parkir hingga menjadi calo kapal penumpang yang akan membawa wisatawan berlibur ke Pulau Samosir. Para calo kapal tersebut disebut agen.

Selanjutnya bersama teman-temannya yang bekerja satu profesi sebagai agen yakni Jangkit Sirait, Neger Laut Sinaga, Pariel Silalahi, Jules Ambarita, Willy Hutapea, setiap hari Minggu sore setelah wisatawan pulang berkumpul di lapo tuak Sihombing yang terletak di Siburak-burak Tigaraja, Parapat.

"Sambil ber-lisoi minum tuak kami bersama-sama mempelajari lagu Anggar Pareman. Dan di lapo itu pulalah kami selalu berlatih setiap ada lagu baru yang saya ciptakan," urai Godman.

Setelah lulus SMA dari Narumonda Porsea, tahun 1966, ia berangkat merantau ke Jakarta. Dasarnya, ia berpikir kalu tetap di kampung tidak akan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Berhubung kehidupan penyanyi selalu dicemooh waktu di kampung maka begitu di Jakarta dia bertekad untuk tidak menyentuh gitar dan tidak mau bernyanyi.

Kebetulan lingkungan kota Jakarta tidak dapat memungkinkan bernyanyi di sembarangan tempat seperti layaknya di kampung halaman. Dia mengaku jujur, sangat suka mendengarkan nyanyia entah dari tape recoder atau orang bernyanyi, tapi untuk memetik gitar apalagi menyanyi berhenti sama sekali. Ditambah lagi kehidupan di Jakarta memaksa harus bekerja keras.

"Waktu berjalan terus, sekitar tahun 1970-an saya terkejut, lagu Bunga Na Bontar sangat popular di kalangan orang Batak. Artis-artis Batak di Jakarta menyanyikan dalam bentuk andung (merintih/cengeng). Sebenarnya hati saya protes karena nadanya tidak sesuai dengan roh lagu itu pada waktu saya mendapatkan inspirasi di sebuah desa kecil di Saribu Jawa. Sebab walau suasana," katanya.

Berhubung dinyanyikan sesuai perasaan penyanyi, maka terjadi degradasi baik dalam bentuk nada maupun syair. Adanya perubahan itu sah-sah saja. Berhubung kala itu masih dalam tahap hidup berjuang mencari sesuap nasi dan sekolah, maka tentu. Godman tidak bisa berbuat apa-apa. Namun dia tetap punya mimpi untuk sekali waktu meluruskan dan menyanyikan Bunga Na Bontar dalam bentuk asli, termasuk Uju MAngolu dan Anggar Pareman.

"Akhirnya pada tahun 2006 saya bertemu dengan Helmud Ambarita, Bando Simbolon dan Bona Sinaga. Kami mempunyai kesamaan nasib. Saya harus meninggalkan kecintaan saya bernyanyi di lapo tuak untuk mengubah nasib ke Jakarta, sementara mereka bertiga meninggalkan Lombok karena turis tidak ada lagi yang datang ke pulau itu," kata Godman.

Mereka tadinya mengadu nasib bernyanyi di hotel-hotel berbintang di Lombok. Dan masa lalu itulah cikal bakal nama grup bang Exalom (Ex Anak Lombok). Godman menawarkan untuk merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk asli, dan mereka setuju, dan terbentuklah Exalom Band. Dengan alasan yang sanagat pribadi, Bona Sinaga hanya ikut dalam album pertama, kemudian digantikan oleh Ucok Power Sinaga. Dan untuk album kedua Dohar Simbolon turut bergabung.

Exalom berupaya tampil beda dari band lainnya yang telah lebih dulu eksis di belantara musik tradisional. Perpaduan antara musik modern dengan sentuhan khas musik Batak yang dinamis dan kaya dengan aksenuitas yang khas, aransemen musik yang diolah dan dikelola manajemen Exalom secara profesional memberi warna baru dalam khasanah musik Batak.

Untuk mendukung performance Exalom, manajemen telah mempersiapkan tim yang bekerja di belakang panggung. Godman Ambarita bertindak sebagai Produser Eksekutif, pentolan Trio Amsisi Iran Ambarita sebagai arranger merangkap Music Director. Exalom berada di bawah bendera PT Gita Karya MandiriI, perusahaan yang memanajemeni secara profesional kegiatan bermusik Exalom.

Cita-citanya menambah semarak musik daerah Tapanuli belum tuntas. Namun bagimana pun, sejarah telah mecatatkan karya ciptanya. Selamat jalan Godman! (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...