Jumat, 28 Desember 2007

Menjadi Sahabat untuk Semua (Refleksi atas Terbunuhnya Benazir Bhutto)

Meski bersembah masih dibunuh. Nasibmu ibu, Benazir Bhutto

"CIKUKUNGUNYA? Apa itu Cikukungunya?" Demikian nada tanya saya ketika penyakit aneh itu menyerang dan melumpuhkan 218 orang warga Desa Mandalamukti dan Ciptagumati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung, awal tahun 2003. Virus, bakteri atau racunkah Cikukungunya bagi saya belum terang.

Menyusul kejadian luar biasa, yakni penyakit lumpuh layu menular di sejumlah desa di Kecamatan Cidahu dan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Belasan anak-anak, sebagian Balita, mengalami lumpuh layu pada tulang-tulang seperti bagian kaki, tangan dan leher. Mereka diduga terserang virus polio liar, karena tidak diimunisasi polio.

"Wah, gawat nih. Lumpuh karena tidak immunisasi," kata hati saya menggerutu. "Bisa cilaka dua belas nih. Saya nggak pernah immunisasi, kan?" Ya, saya memang tidak pernah menjalani immunisasi sejak kecil. Ketika sedang bandal-bandalnya, seusia pra-sekolah, saya menghindari immunisasi massal di kampung. Saya lari, dan sembunyi di ladang kopi, sampai dokter pulang.

Seingat saya, ketika itu, petugas kesehatan datang ke desa, untuk menyuntik immunisasi cacar dan sejenisnya. Orang-orang dewasa sering menunjukkan bekas luka di lengan atas akibat disuntik, inilah yang selalu teringat, dan ini yang memprovokasi saya.

Dokter identik dengan jarum suntik, alat bantu pengobatan yang sangat menyakiitkan ketika ditusukkan ke bagian pinggul atau pantat. Mendengar kata dokter menjadi sesuatu yang menakutkan, jauh lebih menyeramkan dibandingkan polisi atau tukang sunat.

Apa yang saya alami bertolak belakang dengan putri sulung kami, Elisabeth Uli. Selain urusan vaksinasi, sejak usia tujuh bulan dia memang sering berurusan dengan dokter. Dia pernah terjangkit demam kejang. Sejak itu, ketika ada panas sedikit pun, kami lebih cepat membawanya ke dokter.

Mungkin karena sering bertemu dokter, kesan dia terhadap dokter berbeda dengan saya, ayahnya, yang berbeda usia tiga dekade lebih. Selain itu, dari faktor pasien, perubahan paradigma dokter pun turut mempengaruhi kesan saya, dan anak.

Sedikit panas pun, Elisabeth yang berusia tiga tahun lewat dua bulan, segera mengajak saya atau mamanya mengantarkan ke dokter. Dokter favorit dia adalah dokter anak di Depok dan Jakarta, dr Kriston Silitonga. Dia memanggilnya "dokter oppung Silitonga". Uli bahkan sangat antusias menjawab akan menjadi "dokter oppung Silitonga" kalau ditanya tentang cita-cita. Dia pun lebih patuh nasihat dokter, daripada orangtuanya, misalnya kalau dilarang jajan es krim atau cokelat.

Tempat praktek dokter anak saat ini, dikemas sedemikian rupa sehingga nyaman buat anak. Di banyak tempat disediakan arena bermain, mirip yang biasa ditemui di mal, sehingga membuat anak-anak tertarik dan dan menyenangkan. Tindakan dokter pun tidak melulu asal main suntik, kini banyak cara memberikan obat, kecuali pasien parah. Alhasil dokter saat ini sahabat buat anak-anak, bukan menyeramkan.

Dalam teori dan praktik bisnis, tindakan dokter anak yang menjadi sahabat buat pasien barangkali mengingat persaingan ketat merebut pelanggan. Perubahan paradigma ini sangat baik andai saja dapat diterapkan di banyak instansi, yang bertujuan laba maupun nirlaba terutama layanan publik. Muaranya adalah mendekatkan pelayanan kepada khalayak ramai.

***
DUA hari lagi, tahun 2007 tinggal kenangan. Catatan sejarah bagi mereka yang telah berbuat baik bagi sesama atau bangsanya. Tahun 2008 segera tiba, hiruk pikuk politik akan memanas menjelang Pilpres 2009.

Mari berharap, para penyelenggara negara pun mengubah paradigma berorientasi pada kemakmuran bersama, tidak semata-mata kepentingan politik. Harapan akan netralitasnya aparatur negara, lebih-lebih TNI-Polri terhadap sosok calin pemimpin negara pun sesuatu yang diidamkan, seperti ditekadkan Presiden Jenderal (Purnawirawan) Susilo Bambang Yudoyono dan Panglima TNI baru, Jenderal Djoko Santoso.

Sayang, ucapan semangat itu berbeda di lapangan. Kalau TNI netral, pemandangan seperti memamangkan baliho ibu negara, Ani Yudhoyono di lantai atas gedung Pusat Kesejarahan TNI di Jalan Gatot Subroto Jakarta, tidak perlu terjadi. Apa hubungannya Ibu Ani dengan TNI? Kalu mau netral yah netral lah, jangan setengah hati. Jangan ada kesenjangan perkataan dan perbuatan. Jangan membongongi publik.

Semoga gejala ini, tidak pertanda (ketidaknetralan) aparat keamanan, seperti diduga andil kematian mantan PM Pakistan, Benazir Bhutto, karena adanya pembiaran. Saatnya mengubah paradigma, tanpa harus mendahulukan semangat keberpihakan karena berasal dari sejarah dan latar belakang serupa (militer), l'espirit d'corps. Mengutip nasihat kalangan kesehatan, "mencegah lebih baik daripada mengobati."

Kekhawatiran terulangnya kasus pembunuhan Bhutto memang besar kemungkinan menjadi inspirasi pelaku kriminal di Indonesia. Ada beberapa faktor pendukung. Dari aspek politik, Indonesia saat ini menganut era demokrasi terbuka yakni pemilihan umum one man one vote dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presidan, termasuk gubernur, walikota dan bupati.

Era demokrasi terbuka, persaingan terbuka -mengutip teori ekonomi, bahkan terjadi persaingan pasar sempurna- sehingga memungkinkan terjadi gesekan ideologi bahkan fisik calon atau pendukunganya. Ini rentan menimbulkan konflik horizontal, entah massal maupun gerakan bawah tanah ala intelijen.

Masih dari segi politik, atmosfer perpolitikan kedua negara saat ini mirip-mirip. Pemimpin kedua negara adalah mantan tentara, Susilo Bambang Yudhonono pensiunan jenderal demikian juga Perpez Musharraf. Dan motor oposan dipimpin mantan penguasa yang datang dari kaum perempuan yakni Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Partai Rakyat Pakistan, Benazir Bhutto.

Mega memiliki rasa senasib dan sepenanggungan (l'espirit d'corps) dengan Bhutto. Selain latar belakang gender, mereka sering curhat. Jauh ke belakang, ayah mereka pun hampir bernasib sama, akhir hidupnya tragis karena 'dieksekusi' rezim pengganti yang sama-sama berlatar belakang militer.

Ayah Mega, sang Proklamator, Soekarno wafat dalam tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta, 22 Juni 1970 di bawah pengawasan pemerintahan Soeharto. Adapun ayahnya Bhutto, mantan PM Pakistan Zulfikar Ali Bhutto tewas digantung tahun 1979, oleh rezim militer Muhammad Zia ul-Haq.

Kamis (27/12), Bhutto ditembak di dada dan dileher beberapa menit setelah berkampanye menjelang pemilu di Rawalpindi, Pakistan. Lalu penembaknya bunuh diri, yang menewaskan 20 orang lainnya dan melukai 56 orang.

Hal mengkhawatirkan lainnya, beberapa tahun ke belakang, bom sepertinya bukan barang langka di kedua negara. Ledakan-ledakan bom bunuh diri yang meluluh-lantakkan harta benda dan mencabut nyawa orang-orang tak berdosa pun menjadi peristiwa jamak.

Pilpres 2009 tinggal berselang setahun. Megawati sudah deklarasi sebagai betina tangguh, menghadapi pejantan-pejantan tangguh semacam presiden incumbent, SBY, atau calon lain yang diperkirakan menambah persaingan semacam Jusuf Kalla, Wiranto, Sultan HB X.

Risiko Mega sebagi oposan lebih besar sama dengan Bhutto, bila dugaan adanya konsiprasi pembiaran aparat keamanan. Semoga, ambisi politik atau kepentingan kekuasaan tidak membiarkan darah tertumpah lagi di republik ini. Cukuplah kerusuhan rentetan kerusuhan di masa lalu yang disetting elite politik darah terakhir yang tertumpah hanya untuk rebutan kursi kekuasaan.

Cukuplak korban berjatuhan pada Kerusuhan Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (6 Januari 1997), Kerusuhan Sanggau Ledo (17 Januari 1997), Kerusuhan Banjarmasin (23 Mei 1997), Kerusuhan Jakarta (13 Mei 1998), Kerusuhan Ambon (19 Januari 1999), Pembantaian Sambas (19 Januari 1999) Pembantaian Rasial Sampit (18 Februai 2001), Kerusuhan Poso (17 April 2000), dan lain-lain.

Stop, hentikan pembunuhan demi ambisi pribadi dan kelompok. Seperti kata film kartunis yang tersohor, si Dora Explorer, "Katakan lebih keras." "Stop kekerasan dan pembunuhan demi kepentingan politik sesaat. Jangan ada lagi pembunuhan. Kursi presiden yang hanya lima tau sepuluh tahun terlalu kecil daripada mencabut nyawa orang lain, yang sebetulnya prerogatif sang pentipta, Tuhan Allah Yang Maha Penyayang." Homo homini socious, bukan homo homini lupus. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 22 Desember 2007

Bisa-Bisa Saya Disangka Preman

Kompas.com, Sabtu (22/12/2007) Pukul 02.07 WIB

Yusril Ihza Mahendra Semasa Kecil (3-Habis)

Bisa-Bisa Saya Disangka Preman


ASAL usul keluarga. Bagi orang Belitung haruslah menjelaskan kedua keluarga orang tua, ayah dan ibu. Orang Belitung menganut sistem kekeluargaan bilateral, artinya anak akan menarik garis keturunan kepada keluarga ayah dan sekaligus kepada keluarga ibu. Oleh sebab itu Hukum Adat Belitung membolehkan dua saudara sepupu untuk menikah.

Laki-laki boleh melamar perempuan menjadi istrinya. Sebaliknya juga perempuan boleh melamar laki-laki menjadi suaminya. Jadi berbeda dengan orang Batak yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, yakni hanya menarik garis keturunan ke garis ayah, tidak ke garis ibu.

Laki-laki Batak harus melamar perempuan yang akan jadi istrinya. Mustahil ada perempuan Batak melamar seorang laki-laki menjadi suaminya. Hukum Adat Batak melarang dua saudara sepupu untuk menikah, jika kedua ayah mereka bersaudara kandung.

Berbeda pula dengan orang Minangkabau yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal, yakni hanya menarik garis keturunan kepada garis ibu, tetapi tidak ke garis ayah. Hukum Adat Minangkabau melarang dua saudara sepupu untuk menikah, jika kedua ibu mereka bersaudara kandung. Perempuan Minangkabau, menurut adat, akan melamar laki-laki jadi bakal suaminya. Mustahil laki-laki Minang melamar perempuan jadi istrinya.

Ayah saya bernama Idris. Nama ini diambil dari nama seorang nabi setelah Nabi Adam AS, sebagaimana dikisahkan di dalam Kitab Taurat dan Al-Qur’an. Beliau anak keenam dari delapan bersaudara dari pasangan Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad dengan Aminah, yang setelah tua dipanggil Nek Kuset.

Saudara-saudara kandung ayah saya yang lainnya bernama Baziek, Baharum, Baksin, Abdul Kadir, Adam, Zauna dan Arba’ie. Saya mengenal seluruh saudara kandung ayah saya itu, kecuali Baziek yang sudah meninggal di Pontianak, Kalimantan Barat, sebelum saya lahir.

Ketika saya lahir nenek saya juga sudah meninggal dunia, sehingga saya tidak pernah bertemu dengan beliau. Namun ayah saya menyimpan selembar foto nenek saya itu yang dibuat sekitar tahun 1938, sehingga saya dapat melihat wajahnya. Haji Zainal, kakek saya itu adalah anak satu-satunya dari perkawinan antara Haji Ahmad bin Haji Taib dengan Raisah alias Nek Penyok.

Setelah berpisah dengan Raisah, Haji Ahmad menikah lagi dengan seorang wanita bernama Nek Rambai dan mendapat seorang putra bernama Hamzah. Setelah Nek Rambai wafat, Haji Ahmad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan setempat, namanya Nyi Ayu Mastura. Dari perkawinan kedua ini beliau mempunyai beberapa anak, masing-masing bernama Moestar, Jusuf, Abdullah, Hawa, Aisyah dan Ya’kub. Haji Ahmad adalah putra dari Haji Taib.

Daftar silsilah yang tertulis pada lembaran kertas yang sangat panjang yang dimiliki ayah dan paman saya, berhenti sampai Haji Taib. Keluarga di atasnya tidak tercatat dalam urutan silsilah mereka. Kalau saya bertanya, di mana catatan silsilah di atas Haji Taib, mereka selalu mengatakan ada di Johor. Saya tidak tahu dengan siapa saya akan mendapatkan silsilah itu di Negeri Johor.

Haji Taib bukan orang asli Pulau Belitung. Ayah dan paman-paman saya mengatakan Haji Taib sebenarnya adalah seorang bangsawan bergelar tengku yang berasal dari Negeri Johor. Ibu kota Kesultanan Johor di masa itu mungkin masih berada di Pulau Lingga, Kepulauan Riau sekarang, sebelum ada Johor Bahru di Semenanjung Malaya.

Mungkin karena sebab-sebab keluarga dan politik, beliau beserta keluarganya hijrah ke Belitung pada awal abad ke 19. Beliau menanggalkan gelar kebangsawanannya dan hidup sebagai layaknya orang kebanyakan serta menjadi ulama. Kecintaannya kepada agama itu mendorongnya untuk berlayar ke Mekkah dengan perahu yang dibuatnya sendiri.

Anaknya Haji Ahmad juga mengikuti beliau berlayar menunaikan ibadah haji. Menurut kebiasaan masyarakat di awal abad ke 19, ketika perahu akan berlayar meninggalkan dermaga, orang sekampung berduyun-duyun mengantarkan perahu yang akan berlayar ke Jeddah, sambil membaca doa dan melantunkan shalawat. Ketika layar perahu menghilang dari pandangan, orang di kampung membaca talqin dan bersedekah setiap habis magrib sampai hari ke tujuh. Tradisi seperti itu lazimnya dilakukan ketika ada keluarga yang meninggal.

Mereka menganggap orang yang berlayar naik perahu ke Jeddah itu sama dengan orang mati. Betapa tidak. Di zaman itu, perahu tidak bermesin, hanya berlayar dan berdayung belaka. Tidak ada alat telekomunikasi seperti zaman sekarang untuk berhubungan. Kalau ingin menulis suratpun seandainya telah sampai ke Jeddah, siapa pula gerangan tukang pos yang akan mengantarkan surat itu ke kampung halaman.

Dalam perahu yang tak seberapa besar itu, Haji Taib dan Haji Ahmad --tentu saja mereka belum haji ketika itu -- berbekal beras, jagung, ikan asin, terasi dan daging kering sebagai bekal makanan. Mereka juga membawa emas dan perak sebagai bekal belanja. Pelayaran mereka menyusuri Selat Melaka dan menyusuri pantai Asia Selatan untuk sampai ke negeri Jeddah.

Mereka pun singgah di negeri-negeri yang tak mereka kenal, sekedar untuk mengambil air dan menambal layar yang koyak tertiup angin. Konon lebih tiga tahun kemudian baru mereka pulang ke Belitung. Dapat dibayangkan betapa bersykur dan sukacitanya sanak keluarga dan orang sekampung menyambut kedatangan mereka.

Orang pulang haji dengan naik perahu layar bisa pulang kembali dengan selamat adalah suatu peristiwa yang menakjubkan. Konon tidak sedikit mereka yang pergi haji dengan cara yang sama, tak pernah kembali lagi ke kampung halaman. Mungkin perahu mereka telah ditenggelamkan ombak dan badai yang ganas di Lautan Hindia.
***
SETELAH menguraikan panjang lebar kisah tentang keluarga saya dari pihak ayah, maka tibalah saatnya bagi saya sekarang untuk menuliskan kisah keluarga saya dari pihak Ibu. Ibu saya bernama Siha atau Nursiha, putri dari Jama Sandon dan Hadiah.

Beliau lahir 14 Juli 1929 di Kecamatan Gantung sekarang ini. Beliau adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Namun tiga kakaknya, yang semuanya perempuan meninggal dunia di masa kecil. Keluarga kakek dan nenek saya percaya bahwa mereka tidak bernasib baik untuk memiliki anak. Sebab itu, ketika lahir anak yang keempat, seorang laki-laki yang dinamai Bujang, bayi itu segera diberikan kepada orang lain, dengan kepercayaan anak itu tidak akan mati seperti kakak-kakaknya.

Sesudah Bujang diberikan kepada orang lain, lahirlah ibu saya, Siha. Namun rupanya anak perempuan ini tidak diberikan kepada orang lain. Kedua orang tua itu rupanya sangat sayang dengan anak ini. Karena itu mereka mengambil risiko memeliharanya dengan susah payah, dengan harapan agar tetap hidup.

Sebab itulah, kakek dan nenek saya selalu menganggap ibu saya sebagai anak tunggal, walau kenyataannya kakaknya, Bujang, yang diberikan kepada orang lain itu tetap hidup sampai tua dan wafat pada tahun 2003. Paman saya bernama Bujang itu, tidak tinggal di Belitung.

Beliau merantau dan tinggal di Pulau Kijang, Kepulauan Riau. Beliau bekerja di sana sebagai teknisi perusahaan bauksit. Saya baru bertemu dengan Bujang, setelah beliau lanjut usianya. Namun tiga anaknya yang tinggal di Tanjung Pandan, saya kenal dengan baik dan cukup akrab dengan saya, kakak-beradik.

Anak-anak Bujang itu namanya Muslim, Sulaiman dan Topyani. Ketika muda, Muslim itu menjadi jagoan dan preman di Tanjung Pandan. Dia tersohor karena sering berkelahi. Sampai-sampai ada dua polisi dia gebuki hingga babak belur.

Salah seorang polisi itu terpaksa dirawat di rumah sakit, karena perutnya luka ditusuk Muslim pakai obeng. Ketika saya masih muda, banyak orang Belitung tidak tahu kalau Muslim sang preman dan jagoan itu adalah saudara sepupu saya. Kalau tahu, bisa-bisa saya disangka preman juga.

Saya berusaha untuk menelusuri asal usul kakek saya, Jama Sandon itu dan bertanya ke sana ke mari. Namun riwayat keluarganya misterius dan bahkan bercampur-baur dengan dongeng. Kalau saya perhatikan wajah dan postur tubuh kakek saya itu, beliau tidak tampak seperti postur dan wajah orang Belitung, bahkan orang Indonesia pada umumnya. Nama beliau itupun tidak lazim bagi masyarakat Belitung. Tinggi di atas 170 cm, dengan badan tegap, hidung mancung dan matanya berwarna cokelat kebiruan. (Persda Network/http://yusril.ihzamahendra.com/Domuara Ambarita)



[+/-] Selengkapnya...

Untuk Makan Saja Sangat Susah

Kompas.com, Sabtu 922/12/2007) Pukul 01.50 WIB

Yusril Ihza Mahendra Semasa Kecil (2)
Untuk Makan Saja Sangat Susah


AYAH
bekerja mengajar agama dan berdakwah. Selain mengajar di sekolah, ayah juga mengajar polisi. Saya masih ingat kepala polisi di sana, namanya Abdullah Paloh. Beliau itu orang tua dari Pak Brewok, Surya Paloh yang belakangan hari tersohor namanya sebagai raja dunia media massa.

Kepala polisi lain, namanya Mohammad Said, yang begitu dekat persahabatannya dengan ayah saya. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, saya bertemu dengan Pak Said di Tanjung Karang, Lampung. Beliau sangat senang dan bahagia, dan bercerita banyak tentang persahabatannya dengan ayah saya di masa lalu.

Saya masih ingat juga, yang menjadi bupati di Belitung waktu itu ialah Zainal Abidin Pagar Alam, yang kemudian menjadi Gubernur Lampung. Anaknya saya kenal namanya Syahruddin Pagar Alam, yang sekarang menjadi Gubernur Lampung seperti ayahnya dahulu. Saya masih ingat, Zainal Abidin Pagar Alam itu tokoh PNI. Ayah saya aktivis Masyumi. Namun kedua orang itu bersahabat dan sering bertukar-pikiran.

Saya sering mendengarkan ayah saya berbicara dengan tokoh-tokoh itu. Karena masih kecil, tentu saya tidak mengerti. Sekarang saya tidak ingat lagi apa yang mereka bicarakan. Tetapi saya masih ingat orang-orang itu.

Saya juga masih ingat dengan Pak Djarot, ayah Eros dan Slamet Rahardjo. Mereka tinggal berdekatan dengan rumah kami. Pak Djarot waktu itu menjadi komandan Pangkalan Udara Tanjung Pandan. Saya sering bermain-main di halaman rumah Pak Djarot yang ukurannya besar dan terbuat dari beton.

Rumah itu tampaknya peninggalan zaman Belanda. Saya masih ingat Slamet Rahardjo pakai baju Pramuka -- waktu itu disebut Pandu -- dan terlihat gagah. Dia sering naik sepeda dengan teman-temannya. Di belakang hari Eros menjadi terkenal sebagai musisi dan sutradara film.

Slamet juga menjadi aktor besar dalam perfilman Indonesia. Kalau pagi hari saya melihat mereka pergi sekolah naik Jeep Angkatan Udara. Mungkin Jeep itu buatan Rusia, saya ingat warnanya biru. Waktu itu saya belum sekolah. Kakak-kakak saya pergi sekolah berjalan kaki. Kalau pagi mereka sekolah di Sekolah Rakyat (atau sekolah dasar sekarang). Kalau sore mereka sekolah lagi di madrasah. Ibu saya menyebut madrasah itu Sekolah Arab.

Tidak jauh di depan rumah kami itu ada keluarga Pak Sulaiman Talib. Beliau sebenarnya berasal dari Manggar juga, namun tampaknya sudah lama menetap di Tanjung Pandan. Keluarga kami sangat akrab dengan keluarga beliau, sehingga sudah seperti keluarga sendiri.

Di dekat rumah Pak Sulaiman Talib itu, di pertigaan jalan, hampir berdekatan dengan rumah Pak Djarot, tinggal keluarga Pak Ahmad. Beliau itu memiliki bengkel reparasi radio di rumahnya. Zaman itu belum ada televisi. Orang yang memiliki kulkas pun sangat jarang. Di rumah beliau itu ada peralatan bermain musik. Anak-anaknya pandai bermain gitar dan sering berlatih musik di rumahnya.

Saya selalu bermain-main di rumah itu dan melihat banyak sekali radio rusak yang sedang diperbaiki. Ayah saya tidak punya radio. Di zaman itu, radio adalah barang mewah yang tak semua orang sanggup membelinya. Jadi kami mendengar radio di rumah Pak Ahmad. Saya juga senang menonton mereka latihan musik. Saya mencoba mengingat nama anak-anak Pak Ahmad, tetapi hanya satu yang saya ingat, panggilannya Yar. Sampai sekarang saya tidak pernah bertemu lagi dengan mereka.

Walaupun keluarga kami hidup miskin dan bersahaja, saya merasakan orang tua kami begitu sayang kepada anak-anaknya. Mereka tidak pernah mampu membelikan mainan seperti anak-anak zaman sekarang. Jangankan untuk membeli mainan, untuk makan saja sudah sangat susah.

Dalam usia lima tahun itu, saya selalu menyaksikan ayah saya membaca buku, koran dan majalah. Suatu hal yang menurut saya waktu itu terlihat aneh pada beliau, ialah kebiasaanya membeli buku, dan berlanggaan koran dan majalah. Sering saya menerima paket kiriman dari Jakarta yang isinya ternyata buku pesanan ayah, atau majalah yang dikirim melalui pos.

Berbagai macam buku yang beliau beli itu disusun rapi dalam sebuah lemari. Saya yang belum sekolah, senang juga melihat gambar-gambar yang ada di buku, koran dan majalah. Sesekali saya bertanya kepada beliau tentang gambar yang saya lihat, dan beliau menerangkannya. Dari kebiasaan saya menemani beliau membaca itu, pelan-pelan akhirnya membuat saya mengenal huruf. Saya akhirnya bisa membaca, walau saya belum masuk sekolah.

Di waktu kecil itu saya heran melihat ayah saya. Teman-teman saya sepermainan, ada yang bilang ayah saya itu punya ilmu, yang membuat orang takut kepada beliau. Saya hanya setengah percaya setengah tidak. Baru jauh di belakang hari saya menyadari, bahwa bagi orang-orang yang hidup sederhana di kampung, manusia seperti ayah saya itu sungguh merupakan sosok yang disegani dan berwibawa di mata mereka. (Persda Network/http://yusril.ihzamahendra.com/Domuara Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Tidur Beralas Tikar Daun Pandan

KCM/ Glori K Wadrianto
Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Sekretaris Negara,
menjawab pertanyaan wartawan dengan canda.
Kompas.com, Sabtu (22/12/2007) pukul 01.32 WIB

Yusril Ihza Mahendra Semasa Kecil (1)
Tidur Beralas Tikar Daun Pandan

MANTAN Mensesneg Yusril Ihza Mahendra kembali menjadi berita hangat. Jumat (21/12) siang, dia bertemu dan ngerumpi bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono --mantan atasannya di Kabinet Indonesia Bersatu. Bagaimana dan apa kesibukan laki-laki asal Belitung pasca-reshuffle, 7 Mei silam? Satu kegemaran Yusril adalah membuat blog, website personal. Setelah membuat blog klasik, kini Yusril menuangkan pengalaman dan pandangannya dalam blok modern dengan alamat http://yusril.ihzamahendra.com/. Di blog itu ia mengungkapkan kisah semasa kecilnya yang ditulis dengan gaya bertutur dalam beberapa seri. Berikut nukilannya.

SYAHDAN menurut ibu saya, saya dilahirkan Selasa, 5 Februari 1956 di Kampung Lalang, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Tanggal kelahiran itu pasti, bukan rekaan, karena saya melihat buku harian ayah saya yang mencatat dengan teliti berbagai peristiwa penting dalam keluarga dan kehidupannya.

Saya dilahirkan di rumah kakek dari pihak ibu dalam sebuah kamar yang dapat saya saksikan sampai tahun lalu, sebelum rumah tua terbuat dari kayu itu dirobuhkan karena sudah dimakan rayap. Ibu saya sebenarnya ingin melahirkan saya di rumah sakit.

Namun ambulan yang dipanggil, rupanya sedang menjemput orang lain yang juga ingin melahirkan. Saya sudah lahir lebih dahulu, ketika ambulan tiba ke rumah. Hanya kakek dan nenek saya yang membantu ibu saya melahirkan. Setelah itu barulah bidan dan juru rawat datang ke rumah dan membantu, ketika bayi sudah dimandikan dan diberi baju .

Saya lahir sebagai anak yang ke enam.Sesudah saya, masih ada lima lagi anak-anak yang lahir dari orang tua saya. Seluruhnya ada sebelas orang. Dengan posisi anak keenam, saya berada di urutan tengah. Punya lima kakak dan punya lima adik.

Keluarga kami hidup dengan sederhana dan bersahaja. Rumah keluarga kami, terbuat dari kayu menggunakan dinding dari kulit kayu pula. Atapnya sebagian terbuat dari sirap kayu bulian, dan sebagiannya lagi terbuat dari daun nipah. Rumah itu terletak di belakang pekarangan rumah kakek. Saya tidak dapat lagi mengingat rumah itu. Namun foto rumah itu masih ada.

Tidak lama sesudah saya lahir, keluarga kami pindah ke rumah yang dibuat oleh ayah saya sendiri. Rumah itu terletak di Kampung Sekip. Rumah ini pun terbuat dari kayu, berdinding kulit kayu juga, dan beratapkan daun nipah. Foto rumah ini pun masih ada, yang dibuat ayah saya di tahun 1958.

Ayah saya menyimpan banyak foto lama berwarna hitam putih yang sampai sekarang masih disimpan ibu dengan baik. Ketika usia saya dua tahun, keluarga kami pindah ke Tanjung Pandan. Ayah saya, yang semula menjadi penghulu mengurus hal-ikhwal perkawinan, rupanya diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama di kota itu.

Saya mulai ingat sedikit-sedikit ketika kami tinggal di Tanjung Pandan. Ayah saya menyewa sebuah rumah, yang juga terbuat dari kayu, di Kampung Parit, Tanjung Pandan. Rumah itu tidak ada penerangan listriknya, sehingga saya melihat kakak-kakak saya belajar dengan penerangan lampu minyak tanah.

Saya masih ingat, peralatan rumah itu hanya ala kadarnya. Hanya ada empat kursi terbuat dari rotan, sebuah tempat tidur dan peralatan dapur yang sangat sederhana. Saya dan kakak-kakak saya tidur di lantai menggunakan tikar yang terbuat dari daun pandan.

Kendaraan satu-satunya yang dimiliki keluarga kami, hanyalah sebuah sepeda, yang selalu digunakan ayah saya untuk pergi bekerja, ke pasar atau mengajar di sebuah madrasah, dan pergi berdakwah di berbagai mesjid dan mushollah di kota itu. Saya sering dibonceng ayah saya pergi berdakwah dan saya bermain-main di mesjid dengan anak-anak yang lain. (Persda Network/Domuara Ambarita)



[+/-] Selengkapnya...

SBY Sering Ajak Yusril Berdiskusi

Kompas.com, Jumat (21/12/2007) 23.48 WIB

Laporan Wartawan Persda, Domuara Ambarita

JAKARTA, PERSDA--Mantan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra diam-diam ternyata sering berkomunikasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Pertemuan saya dengan Pak SBY biasa-biasa saja. Seringkali saya bertemu baik di Cikeas maupun di Istana Negara. Sering pula kami berbicara lewat telepon, meskipun saya sedang berada di luar negeri. Hari ini saya datang atas inisiatif saya. Kadang-kadang inisiatif datang dari beliau. Dua minggu yang lalu saya juga bertemu beliau. Jadi biasa-biasa saja. Tidak ada yang terlampau istimewa," ujar Yusril menjawab Persda Network, Jumat malam.

Kendati sudah didepak dari kabinet dan lingkaran istana, Yusril mengatakan bahwa dirinya tetap membantu apa yang diinginkan presiden. "Saya selalu berpikir, saya bekerja untuk bangsa dan negara. Siapa pun presidennya, saya akan membantu jika diperlukan."

Ia menambahkan, "Pak SBY memang sering mengajak saya mendiskusikan berbagai masalah yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara kita, baik di masa sekarang maupun di masa depan. Saya dimintai pandangan oleh beliau terkait dengan masalah konstitusi, hukum pada umumnya, dan struktur organisasi negara kita pasca amandemen UUD 1945. Kadang-kadang kami diskusikan secara lisan. Kadang-kadang analisis saya, saya kemukakan dalam bentuk tulisan, setelah itu kami diskusikan.

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 20 Desember 2007

Demi Kau dan Si Buah Hati: Lagunya Wartawan

AMBARITA FAMILY'S: My family: Lorentina Herawati Tmabun (my wife), and my daughters Elisabeth Uli Ovelya and Felisita Dorothy

"TIAP malam engkau kutinggal pergi
Bukan bukan bukannya aku sengaja
Demi kau dan si buah hati
Terpaksa aku harus begini"


SEBAIT lirik lagu karya Pance F Pondaag di atas satu dari sedikit lagu favorit saya. Saat karaokean di Vista Inul Plaza Semanggi, atau saat-sat bersantai di kantor, lagu ini sering kami dendangkan. Anehnya, kendati lagu kesukaan, lirik-liriknya tidak utuh saya hapal.


Maka ketika hujan menghunjam bumi Palmerah Kamis (20/12-2007), siang hingga malam, cuaca dingin membeku. Sementara saudara-saudaraku yang lain, sedang ayik memanggang sate kambing, atau sapi hasil dagung kurban Idul Adha 1428 H, kami dan segelintir kawan berusaha mengisi kedinginan dengan bernyanyi-nyanyi.

Umumnya lagu-lagu zadul (zaman dulu) atau tempo doeloe yang kami dendangkan. Mawar Berduri karya A Ariyanto, hitsnya GoD BLeSS; RuMaH KiTa, dan Panggung Sandiwara, hingga Demi Kau dan Si Buah Hati mahakarya Pance F Pondaag.

Bagi saya pribadi, lagu ini sarat makna. Bukan saja karakter nadanya yang cocok dengan suara, tetapi liriknya tepat dengan pribadi dan profesi yang sering begadang malam. Lagu Demi Kau dan Si Buah Hati ini pun kami namai dengan Lagunya Wartawan, dan merupakan lagu wajib kalau ada acara nyanyian.

Ya, sarat makna. Penuh nilai, arti dan malah pesan-pesan moral. Memiliki ideologi. Memiliki roh, mengandung pesan spiriual yang dapat memengaruhi kejiwaan orang yang mendendangkan atau bahkan sekadar pendengar. Tinggal bagaimana situasi dan kondisi saat lagu diperdengarkan.

Bila malam tiba, ya larut malam bahkan sampai hari berganti, saya --dan sebagian besar wartawan, melewatkan malam tidak bersama anak dan istri. Bagi saya, lagu ini mengena, karena istri bersama dua buah hati kami, Uli dan Dorthy, sebagai pelecut semangat untuk terus berjuang hidup. Lelah, capek, pusing, sesak, sesuatu hal lazim buat saya demi niat mengidupi anak-bini.

Itulah keunggulan lagu-lagu zadul. Banyak lagu biarpun usianya berpuluh tahun, masih tetap disuaki orang-orang modern, generasi millenium ketiga ini. Lagu-lagu tak lekang ditelan waktu, meskipun ada banyak juga yang tak menyukainya.

Bedanya, lagu-lagu saat ini, terkesan instan, ala kadarnya, yang penting propasar. Tujuan semata bukan lagi seni, tetapi pertimbangan ekonomi. Karena itu, boleh saja, lagunya tak bermakna namun menjadi hits. Boleh saja suara penyanyinya pas-pasan, tetapi ngetop.

Mumpung masih hangat di dalam ingatan kita, kontes Asian Idol perdana yang dimenangkan Hady Mirza, jawara Singapore Idol. Dalam dua kali tampil, mayoritas juri menilainya pas-pasan saja. Hady tidak masuk dalam katagori unggulan. Namun hasilnya, dia menjadi underdog yang menjunkirkan Mike Mohede, Abhijeet Sawant, Mau Marcelo, Jacyln Victor dan Phuong Vy.

***
JURI bukan segala-galanya pada ajang pencarian penyanyi berbakat, Asian Idol. Juri bukan pula pemegang keputusan mutlak, yang tak dapat diganggu-gugat. Posisi dewan juri bahkan kalah dibandingkan keputusan pemirsa, yang entah tidak tahu musik dan tarik suara, tetapi memiliki hak suara melalui pesan singkat telepon seluler atau SMS.

Kenyataan inilah yang dialami Mike Mohede, finalis Asian Idol 2007. Perjuangan jawara Indonesian Idol tahun 2005 itu untuk menjadi Idol Asia pertama berakhir sudah. Ia didepak perwakilan idola negara tetangga, yaitu Hady Mirza dari Singapura.

Meski kalah, Mike berusaha tegar. Ia mengaku tidak kecewa atas hasil yang diraihnya, dengan alasan telah mempersembahkan yang terbaik untuk negara dan pendukungnya. Menurut Mike, kali ini Tuhan memilih Hady daripada dirinya yang sebelum pembacaan hasil voting SMS, Minggu (16/12/2007) malam, sempat dijagokan para juri.

Era satelit. Teknologi menjadi panglima. Maklum dari bocah Balita hingga kakek-nenk, saat ini gandung dengan telepon seluler. Di mana-mana, ponsel menggelantung di saku celana atau kemeja. Lewat Ponsel pula, prediksi juri dijungkirbalikkan, oleh SMS yang dikirim mereka yang belum tentu tahu apa dan bagaimana nada yang pas. Tapi itulah faktanya, pasar menjadi sasaran utama. Lewat SMS, penyelenggara dapat meraup fulus jutaan bahkan miliaran rupiah.

Namun saya sedikit curiga. Bolehkan? Masih kah kita ingat, kepemilikan saham dua perusahaan telepon seluler juara satu dan runners-up dalam market share yang beroperasi di Indonesia sudah dikuasai atau dimonopoli Singapura.

Perusahaan yang berbasis di Singapura Temasek 'mencaplok' perusahaan ponsel kia. Melalui SingTel, Temasek menancapkan cakar kepemilikan pada ana perusahaan PT Telkom, yakni Telkomsel, dan melalui STT di Indosat (Isat). Kecurigaan saya, mungkinkan teknisi kedua ponsel itu mengutak-atik volume/angka SMS yang masuk? Mungkinkan SMS pendukung Mike dipending, sedangkan pendukung Hady diperbanyak?

Ah, entahlah. Kata orang, berburung sangka atau suudzon tidak baik. Namun naluri kewartawanan mencoba saya bertanya-tanya, entah terjawab atau tidak sambil mendendangkan mahakarya Pance F Pondaag berikut:

Demi Kau dan Si Buah Hati

Mengapa harus begini
Tiada lagi kehangatan
Memang kusadari sering kutinggalkan kau seorang diri

Bukannya aku sengaja
Meninggalkan kau sendiri
Aku menyadari bukan sandiwara kasihmu kepadaku

Tiap malam engkau kutinggal pergi
Bukan bukan bukannya aku sengaja
Demi kau dan si buah hati
Terpaksa aku harus begini

Tiap hari hingga malam berakhir
Kutahu kau tersiksa karna diriku
Sejujurnya aku katakan
Tiada satu pengganti dirimu

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 14 Desember 2007

Kaum Ibu dan Anak Korban Paling Menderita akibat Pemanasan Global

DESEMBER ini, putri bungsu kami, Felisita memasuki usia bulan kedelapan. Lahir di Depok, Jawa Barat, April silam, dengan berat badan 3,45 kg dan tinggi 49 cm. Tiga bulan berjalan, semua baik-baik saja. Pertumbuhan badan di atas rata-rata, berat badan mencapai 5 kg, lincah dan sehat.

Masuk bulan ke-4, masalah kecil mulai muncul. Badannya bintik-bintik merah. Keringat buntat pada sekujur tubuh, terutama pada perlipatan otot di lengan, paha, selangkangan, leher dan punggung tampak memerah. Biang keringat dibarengi demam, kemudian timpuki batuk.

Rasa iba terhadap si kecil amat mendalam. Kami bolak-balik ke dokter. Nyaris tak ada pekan terlewatkan tanpa ke dokter. Setiap ke dokter spesialis anak, bukannya ketenangan yang kami peroleh melainkan kekhawatiran luar biasa karena dokter menyebut ini dan itu yang intinya alergi Felisita teramat akut. Batuknya selalu kumat saat subuh, faktor pengganggu tidur. Selama beberapa bulan kami menumpang di rumah kakek-neneknya anak-anak.

Lalu saban dari dokter, dia kami cekoki beragam obat-obatan mulai meneggak antibiotik, obat puyer hingga inhalasi (fisioterafi). Dalam sepekan, frekwensi fisioterafi tiga sampai empat hari berturut-turut.

Kondisi ini memusingkan kepala tujuh keliling. Selain dipusingkan oleh beban biaya pengobatan di muka, meski akan diganti perusahaan, saya terus coba mencari tahu sebab-sebabnya. Sampailah pada hipotesa, penyebab batuknya tak pernah sembuh adalah embusan kipas angin hingga larut malam.

Ya, wajar. Bukankah para ilmuan menyimpulkan telah peningkatan suhu atau pemanasan bumi secara keseluruhan (global warning). Setelah menemukan penyebab batuk ialah udara tiupan kipas, saya dan istri sepakat harus segera pindah ke gubuk sendiri, masih di Depok. Atmosfernya juga masih panas, tetapi dengan view ke lembah angin bebas berhembus menembus banyakventilasi sehingga lebih dingin secara alami. Tidak lagi pengap, tak butuh lagi kipas hingga larut malam.

Syukurlah. Pilihan kami tepat. Hari kedua setelah pindah, batuk Felisita berkurang dan hingga kini, pecan ketiga, sudah hilang sama sekali. Mungkin karena bersamaan dengan musim penghujan sehingga cuaca agak dingin, keringat buntatnya juga telah lenyap.

Kasus Felisita hanya secuil contoh, namun banyak dirasakan banyak ibu-ibu yang kerepotan mengipasi anaknya. Bukan hanya di Depok, Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia, tetapi juga Negara lain di seluruh muka bumi, suhu memanas. Pertaannya, sudikah kita bumi yang hanya satu ini akan menjadi neraka buat kita?

Sejumlah tujuh organisasi perempuan telah memelopori gerakan reboisasi, menanam dan memelihara 10 juta pohon. Prakarsa mahakarya Ibu Negara, Ny Kristiani Susilo Bambang Yudhoyono dilakukan serempak di seluruh Indonesia, menanam 26 jenis tanaman. Gerakan yang didahului konferensi Kearifan Lokal Perempuan Indonesia dalam Perubahan Iklim Global.

Kearifan lokal? Ya, terminologi ini menarik dicermati. Mengapa mengungkit hal-hal berbau lokal, yang justru bagi kaum modernis mulai ditinggalkan dan ditanggalkan? Bukan kah saat ini sudah zaman serba global, mendunia, universal jadi mengapa harus mengadopsi cara-cara yang terbatas, lokalistis?

Basis massa pendukung program menanam dan memeliharan 10 juta pohon ini saja sudah unik, menyangkut gender yaitu perempuan. Ya, betul. Ini memang zaman serba modern. Tapi tidak salah jika perempuan dan nilai-nilai baik dari budaya dan adapt-istiadat dapat diesplorasi dan dipromosikan menjadi sesuatu yang dapat diterima khalayak ramai, universal. Program yang digelar bersamaan dengan United Nation Climate Change Conference (UNCCC) di Bali.

Mengingat semacam gerakan Keluarga Berencana yang pernah berhasil dengan mengedepankan perempuan, dalam pelestarian lingkungan pun boleh dicoba menyertakan prempuan. Dalam hal ini memang terkesan paradoksa, sebab perabahan hutan sering kali dilakukan laki-laki. Kaum Adam lah yang menjadi eksekutor pembabatan hutan, mereka tahan berbulan-bulan di tengah hutan, jauh dari anak dan istri.

Sekarang dengan melibatkan istri, diharapkan para suami mulai menyuarakan nurani, barang sekejap kalaupun tidak frontal langsung menolak penebangan hutan, setidaknya mengurangi. Kalaupun dia terbebani menafkahi anak istri, setidaknya dapat melakukan tebang pilih pada kayu-kayu ukuran besar dan di areal hutan produksi, bukan hutan konservasi.

Syukur-syukur lahir kesadaran baru, penebangan harus diikuti reboisasi: penanaman dan pemeliharaan pohon untuk menjamin kelangsungan fotosintesis, penghasil oksigen. Hidup tidak hanya hari ini dan besok, tetapi masih panjang, maka wariskanlah surga: alam yang nyaman dan sejuk untuk kehidupan anak-cucu, bukan menghadiahkan neraka. (domuara ambarita)


[+/-] Selengkapnya...

Pohon Kehidupan Persembahan Perempuan Indonesia

SIMARINGGA. Gugusan Bukit Barisan terletak di Tenggara Danau Toba, wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Bukit petilasan atau pertapaan Tuan Sihaporas, Ompu Mamontang Laut Ambarita, dan Raja Siantar, Damanik. Lokasinya di puncak bukit, ke arah timur menjadi hulu sungai untuk daerah Simalungun, dan ke Selatan daerah aliran sungai ke Danau Toba.

Di masa kecil saya, kurang lebih seperempat abad silam, saya sering tertarik dan ikut acara mangalompas, yakni ritual melepas hewan ke hutan. Kadang melepas ayam, lain kali kambing. Masyarakat pesisir laut sering melakukan hal sejenis dengan melarung ke laut.

Prosesi membebaskan hewan, dibarengi membakar dupa-dupa berikut sesajen di bawah pohon besar. Di sekitarnya ada batu besar, landai atau datar. Hutan perawan dengan kayu-kayu berdiameter besar, tangan tiga orang dewasa yang coba melingkarkan tangan bersama-sama tidak bersentuhan mengelilingi pohon. Bukit yang kaya kayu-kayu alam, dan batu gunung.

Tradisi melepas hewan ke hutan digelar saban tahun, lazimnya setelah panen raya. Panen padi huma, tanaman darat. Dalam perjalanan waktu, tradisi adat ini semakin sering diperbincangkan warga desa terutama pendatang dari kota. Bahkan sekali waktu mulai digalang penentangan, dengan menyitir ayat-ayat suci dengan menamainya musyrik, menyembah berhala.

Lepas dari pro-kontra sudut pandang agama, tradisi ini memiliki hikmah atau makna spirual mendalam. Acara adat itu dapat diartikan menghargai alam, melestarikan lingkungan. Warga dan hutan atau alamnya seakan menyatu, saling membutuhkan. Warga menjaga kayu-kayu besar, tidak menebang, tidak sembarang menebang pohon dan menentang penjarahan.

Wajar karena mereka menggantungkan hidup pada kekayaan hutan. Untuk hidup warga memburu binatang, untuk mendapatkan uang warga menderes getah damar, kemenyan, pinus, mengambil rotan lalu menjualnya.

Upaya penentangan ritual adat tidak kalah seru. Kelompok penentang berdalih ayat-ayat suci. Tapi, ayat-ayat hanya tameng, motif yang dominan urusan ekonomi. Lalu mereka mulai bersiasat dengan pendekatan hitung-hitungan nominal. Pohon besar, tinggi dan lurus itu berkualitas bagus, mahal. Kalau pohon besar itu kita tebang, kira-kira lembaran papan yang dihasilkan sekian, balok sekian dan kalau dijual sekian uang kita dapat.

Dasar warga tradisional, masih banyak orang polos, malah buta aksara, tidak mengerti uang dan tidak sadar dipedaya. Siasat warga pendatang dari perkotaan tadi semakin mendalam, dan pengaruhnya kian menancap. Pendek kata, pohon besar habis ditebang.

Sejak itu, acara ritual ada menjadi hilang, mengalami desakralisasi. Tahun 1989, perambahan hutan sangat dahsyat. PT Inti Indorayon Utama, ditakui masyarakat setempat karena mengusung nama pemilik keluarga Soeharto, hutan perawan di bukit Simaringga pun habis ditebang. Bebatuan pun ditambang, untuk pengeras jalan dan bahan batu mengaspal.

Sekarang, 25 tahun kemudian, tidak ada lagi kayu besar 'berhala' kecuali kayu putih (eucalyptus), pepohonan yang rakus menghisap air dan unsure hara sehingga menyebabkan lahan tandus. Pengalaman warga desa dengan hutan adat (sebagaimana diakui oleh Undang undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan), tidak hanya penduduk Sihaporas. Beberapa kasus masyarakat tak kuasa melindungi hutan adatnya seperti di Buluhcina Kampar Riau, Hutan Sancang dan Kampung Naga Tasikmalaya Jawa Barat, Pegunungan Meratus di Kalsel, dan Bukit Soeharto di Kaltim.

Sayangnya, sekokoh apa pun upaya masyarakat lokal untuk tetap bersahabat dengan alam sekitarnya, tak kuasa melawan terjangan pengaruh globalisasi dan kapitalisme. Aktivitas penebangan hutan, baik pembalak liar maupun penebangan resmi oleh perusahaan pemilik hak pengusahaan hutan yang bermodal izin pejabat negara, terus berlangsung. Penebangan hutan di Indonesia rata-rata merambah 2,7 juta hektar per tahun.

Kini ada seonggok harapan, ketika ratusan perempuan yang diprakarsa Ibu Negara, Ani Yudhoyono menyamakan persepsi dan pemikiran untuk menemukan kembali kearifan lokal dalam memperjuangkan kelestarian alam dan lingkungan guna mengurangi laju pemanasan global.

Dan Ny Ani beserta tujuh organisasi perempuan telah mencanangkan penanaman 10 juta pohon. Ide cerdas, karena yang ditanami bukan pohon asal asalan, tetapi ada 26 jenis tanaman yang bermanfaat bagi manusia. Misalnya, pohon kecapi, durian, mangga, mahoni dan salam. Bahkan pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti jati emas.

Momennya pun tepat, karena gerakan massif ditautkan dengan pertemuan ribuan kaum cerdik pandai, pegiat dan ahli di bidang lingkungan dalam forum United Nation Climate Change Conference 2007 di Bali.

Bila pohon rimbun tumbuh di halaman rumah, ibu-ibu tidak perlu capek mengipasi anaknya karena kegerahan pada siang nan terik, cukup membawa anak bersenda-gurau di bawah dedaunan yang memproduksi oksigen.

Boleh dong bermimpi, 10 atau 20 tahun ke depan, anak cucu meraup untung dengan menjual pariwista alam sebagai produk unggulan. Semoga kita menikmati multiguna dari hutan dan pohon kehidupan yang dipersembahkan kaum perempuan Indonesia. Bumi kita hanya satu, mari selamatkan, kalau bukan kita lalu siapa? (www.domu-ambarita.blogspot.com)


[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 05 Desember 2007

Kecerdasan Emosi

RABU (5/12/2007) pagi, puluhan pengendara sepeda motor tampak merangsek di perempatan Kuningan, Jakarta. Saya berada di antaranya. Pagi itu, lampu hijau memberi giliran kami yang datang dari arah pancoran, untuk melintas menuju Semanggi. Namun kendaraan dari arah kanan masih menghadang di depan, terjebak macet. Sialan... Nggak bisa lewat.

Kring... kring.... (hahahah, kaya sepeda saja). Bunyi klakson memekakkan telinga, tapi apa lacur, metromini, Kopaja dan mobil-mobil lainnya bak tembok, di depan, tak memberi celah untuk sepeda angin sekalipun. Mereka merapatkan barisan, tidak ingin 'dipotong'.

Di antara sekian banyak pengendara sepeda motor di garda terdepan, seorang lelaki berbadan sedang, dari tubuhnya tampak masih agak mudah, wajahnya tak terlihat, karena dibungkus helm. Kemarahan dia tampak memuncak, melebihi yang lain.

Sambil mengegas motor bebeknya dengan menyentak hampir menabrakkan pada pintu sedan mewah, lalu dia menenda bodi mobil tadi. Aksi amarahnya rupanya tak dapat diterima motor yang ditungganginya, mungkin karena protes terhadap emosi tak terkontrol sang juragan, mesin motornya pun mati, mogok seketika.

Starter pun tak nyala, walau motor masih terlihat baru. Dia kemudian menggunakan pedal. Setelah mesin morot nyala, dia marahnya menjadi-jadi, lalu segera menerabas antrean, dari celah Kopaja yang sangat sempit. Dia nyaris terimpit, tertabrak Kopaja, yang juga sopirnya tak mau kehilangan momen. Sambil berlalu, sang 'pembalap' menoleh ke arah sopir Kopaja, tampaknya marah.

Ya, emosi. Jalanan dan macetnya arus lalu lintas memang sering kali membuat emosi pengendara meledak-ledak. Serempetan, atau senggolan kecil pun acapkali menjadi pemicu pertengkaran malah ditandai adu jotos antarketurunan Adam-Hawa. Ya, sekali lagi, emosi memuncak, tak terjaga.

Saya akan coba terus mengigat pesan orang-tua, yang mengatakan, jangan sampai tak dapat menguasai amarah. Dalam banyak hal, jangan pula terlalu maju, jangan ceroboh, jangan lamis. Unang pajolo bibir songon taltahul, alai papudi uhum. (Ucap dan tindakan jangan kemaruk, sampai mendahului/meniadakan hukum).

Dulu, ketika saya belajar Aljabar di kelas II SMP Negeri Tigabalata, Simalungun, Sumut, guru kami yang terkenal jenius dan pernah menjadi guru mate-matika tercerdas se-Sumut. Dialah Pak Napit. Dia cerdas, pintar, dan juara. Namun dalam hal mengajar, banyak murid mengaku sulit mencerna apa yang diajarkan. Metodologi pengajarannya terlalu canggih barangkali, sehingga tidak dapat tertangkap otak saya yang dungu ini, juga siswa-siswa lainya.

Pak Napit memang jarang marah dalam menagajar. Kalaupun kesal karena peserta didiknya bodoh, bandel dan tidak dapat memecahkan soal-sola mate-metika, pelajaran yang dibenci banyak siswa, dia tidak sampai meninggalkan bekas belebas/penggaris kayu, atau lidi di betis siswa.

Berbeda dengans eorang guru, Ibu Pardede. Dia terkenal guru killer. Setiap masuk kelas selalu membawa batang-batang tanaman lengkap dengan dedaunan merahnya. Setiap kali mengajar mate-metika, siswa pasti serius, saking seriusnya suasana berubah tegang. Amat tegang.

Bukan apa-apa, takut pada guru. Bukan itu saja, takut kalu tidak dapat menyelesaikan soal yang diajarkan ibu guru, sebab jika salah, maka batang tanaman dan dedaunan tadi akan menjadi saksi kebodohan. Tanaman akan dilibaskan ke tubuh, belakang badan, sehingga warna merah melekat pada kemeja.

Cilaka dua belas. Apalagi kalau pelajaran jam pertama, berati dua kali istirahat, sang siswa tidak akan ke luar ruangan, karena menyembunyikan aib. Dia akan menjadi bahan tertawaan, kalau ke luar dengan buliran pukulan dari guru, dan dapat dengan mudah ditebak, karen atolol mate- matikan.

Dua guru dengan metode yang berbeda dalam mengajar. Siswa-siswa yang diajari Pak Napit, lulusnya biasa-biasa saja nilai mate-matikanya. Sedangkan murid yang ditangani Ibu Pardede, lebih beruntung kalau murid diajar sejak kelas I, wah, kecakapan mate-matikanya pasi dijamin mak nyus dehhhhhhhh...

Selasa kemarin, seorang kawan wartawan menyesalkan sikap seorang bos, yang menangani peliputan pdaa koran daerah. Sang wartawan mengeluhkan sikap sang atasan karena meminta banyak hal, tanpa melihat realitas. Koran dia bekerja memang baru-baru ini menerapkan berita online secara real time.

Sang bos inginnya si wartawan segera mengirimkan berita setiap saat didapat, dari lokasi (on the spot). Sang bos mencontohkan, dan membandingkan dengan wartawan lain yang kebetulan dapat dengan cepat mengirim berita dengan fasilitas Ponsel yang memiliki perangkat internet, Communicator.

"Saya kira tidak fair. Masa saya disamakan dengan mas anu dan man polan. Mereka kan punya Communicator, sedangkan saya tidak. Bagaimana mau langsung kirim berita. Mestinya mas itu yang menelepon dari kantor untuk berita tercepat buat Online. Kalau menunggu saya, ya pasti sore, karena kembali ke kantor juga sore setelah itu mengetik berita," kata kawan saya cerewet.

"Yah, pimpinan memang beda-beda. Ada yang cerdas melihat situasi, ada juga yang melulu menonjolkan emosinya tanpa ada bijaksananya," ujar kawan tadi seakan sangat paham perbandingan antara kecerdasan emosi (emotion quotient), kecerdasan intelektual (intelligence quotient), serta spiriual quotient.

Ya, saya sependapat. Memecahkan masalah, apalagi dalam dunia wartawan yang serba underpressing kita mesti pitnar-pintar. Salah-salah, malah akan undercooptation. Bersabarlah," saran saya. (Domuara Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 03 Desember 2007

I Hate Wednesday

"AYAH bagaimana sih. Wong masih Lebaran, kok tinggalkan rumah. Tamu-tamu dan keluarga siapa yang menemani. Aneh, ini kan masih libur panjang, cuti bersama, ayah kok sudah kerja. Perusahaan apa sih kerjaan ayah, nggak manusiawi sekali. Tidak beragama kali, benci. Benci......"

Tanggal 15 Oktober 2007, dua hari selepas Lebaran atau Idul Fitri 1428 H, atau tepatnya, seorang kawan redaktur pada satu koran di bawah Persda Network, mencurahkan isi hatinya. Dia seakan memuntahkan isi hatinya, uneg-unegnya, bahkan hal-hal yang sebetulnya rahasia keluarga. Urusan dalam negeri sendiri, atau konsumsi internal, bukan untuk dieskpose ke publik.

Rupaya kawan tadi tidak kuasa menahan gejolak hati. Dia coba memancing saya, dengan mengajukan pertanyaan apakah tidak menikmati cuti panjang Lebaran. Kami memang baru saling kenal nama lewat YM, face to face belum.

"Saya piket, bos. Mengisi waktu, saat kawan-kawna wartawan muslim merayakan hari rayanya, saya dan beberapa teman tugas piket dan meliput. Inilah arti indah dari keberagaman, saling mengisi. Saat yang lain menjalankan ritual agamanya, berslitaruhami dengan sanak-saudara, bernostalgia, dan lain-lain. Sedangkan sebagian lainnya tugas seperti biasa. Jadi pasokan berita, tetap ada. Apalagi kalau ada peristiwa besar, kita tetap dapat. Indah bukan keberagaman itu."

"Ya... ya... saya paham. Tapi..." tulis sobat pada Ymnya yang nongol di layar komputer saya. Disusul pengakuan dia yang sebenarnya masih rada kalut. Dia bekerja di satu kota, yang berjauhan dengan anak-istri. Pada hari-hari kerja normal, dia bekerja dua pekan, dan libur dua hari, untuk 'setoran'.

Sang sobat mengaku kadang-kala berpikir atas realits yang ada. Serba terbalik. Anomali. Misalnya, ketika orang lain bekerja pagi sampai sore, dia justru bekerja sore sampai malam. Ketika yang lain bangun pagi dan berangkat untuk mencari nafkah, dia masih tidur pulas di peraduan.

"Yah, beginilah hidup wartawan. Saya menyadari itu, dan mengatakan itulah risiko wartawan. Tetapi, kadang-kadang, istri dan keluarga tidak paham juga. Mereka minta dispensasi, setidaknya pada saat Hari Raya yang hanya sekali dalam setahun," kata kawan saya. "Ya, saya paham..."

Begitulah hidup wartawan. Bak kelelawar. Saya pun pernah mengalami. Hingga lima tahun pertama saya bekerja, ngalong, saya terus bertanya dan bermenung. "Apakah ini jalan hidupku? Apakah pilihan jadi wartawan sudah jalan terbaik? Apakah tidak ada pekerjaan yang lebih manusiawi? Bagaimana mendidik anak dan dekat dengan mereka kalau ayah lebih banyak di luar rumah, pergi pagi saat anak sekolah (saat anakku kelak beranjak gede) dan pulang setelah mereka terlelap."

Namun pertanyaan semacam itu sudah berlalu masanya. Sekarang saya sudah 'rela' menerima pekerjaan jurnalis, dan bahkan sudah menikmatinya. Kendati berangkat pagi, dan pulang larut malam. Kendati dalam perjalanan menunggang sepeda motor hampir dua jam sekali jalan (pagi- siang), menghirup debu-deru kota.

Pasca-Lebaran, kemacetan ibu kota kian menggila. Akhir-akhir ini, ketika proyek jalur khusus TransJakarta atau busway ala Jakarta terus dikembangkan, kemacetan Jakarta semakin tak terkendali. Hampir semua ruas jalan menjadi simpul kemacetan. Rute yang saya lalu, Depok- Pasar Rebo-Cililitan-Cawang-Pancoran-Senayan, sengaja saya alihkan melalui rute Pasar Minggu. Jalur ini pun bukan bebas macet, namun lebih mending dibandingkan rute pertama, pascaproyek busway.

Jika orang banyak menaruh benci pada hari Senin, karena beban kerja yang biasanya menumpuk. Mereka ngomel, I hate Monday. Bagi saya dan sebagian warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), hari-hari yang paling dibenci adalah Rabu dan Jumat. I hate Wednesday. I hate Friday. Pada Rabu dan Jumat kemacetan Jakarta luar biasa, tidak semacet hari Senin dan hari lainnya.


Karena lelah di jalan, dan sering kurang tidur di rumah, saya seringkali sambil terkantuk-kantuk di jalan. Membunuh kantuk, saya sekejap menepikan sepeda motor, melelapkan mata barang lima menit di bawah pohon rindang, atau di SPBU guna menghindari kecelakaan fatal.

Tidak apa-apalah. Semua itu merupakan perjuangan. Dan kelak, semoga menghasilkan, sehingga ada yang dapat dibanggakan sebagai buah-buah ketekunan. Jika tidak, maka binasalah orang- orang yang tekun dalam doa dan karya. Mereka akan jera.

Saya masih percaya pada gurindam, "ida-ida do jolma na bosur, jala jora-jora ma jolma na male" (seseorang akan ketagihan berbuat baik jika mendapatkan imbalalan setimpal, sebaliknya dia akan jera karena balasnya tidak setimpal).

Inilah sebait lagu, yang sering saya dendangkan saat berkendara sekadar memacu optimisme hidup, atau sekadar menghilangkan sesak di dada:

ANAKKON HI DO HAMORAON DI AU

Reff.. Anakkon hi do hamoraon di au

Marhoi hoi pe au inang da tu dolok tu toruan
Mangalului ngolu-ngolu naboi parbodarian
Asal ma sahat gelleng hi da sai sahat tu tujuan
Anakkon hi do hamoraon di au

Nang so tarihut hon au pe angka dongan
Ndada pola marsak au disi
Marsedan marberlian, marcincin nang margolang
Ndada pola marsak au disi

Hugogo pe massari arian nang bodari
Lao pasikkolahon gellengki
Naikkon marsikkola satimbo-timbona
Sikkap ni natolap gogokki

[+/-] Selengkapnya...