Rabu, 31 Oktober 2007

Rasul Alternatif (II)

PERKELAHIAN sengit tiba-tiba meletup. Seorang laki-laki paruh baya, sontak bangkit dari duduknya di bangku kayu panjang, menggenggam tangan sembari mengayun ke wajah lawan biacaranya yang tampak lebih tua. Sebelumnya mereka masih terbahak-bahak oleh lelucon gaya parmitu di warung kopi. Suasana sekejap berubah jadi tegang, emosi dan menyulut perkelahian sengit hanya gara-gara si paruh baya dikatai, "tidak beradat."

Itulah sepenggal cerita dari kejadian belasan tahun silam yang tetap tersimpan di ingatan saya. Bagi sebagian masyarakat etnis Batak, merasa sangat tersinggung bila disebut orang tidak tahu adat. Ketersinggungnya mencapai ubun-ubun, jauh melebihi emosi daripada ketika diperolok tidak beragama atau tak bertuhan.

Dalam kehidupan keseharian masyarakat Toba misalnya, memang waktu, tenaga, dan biaya banyak tersita untuk urusan adat. Apa pun agamanya, adat tidak terpisahkan dari kehidupan. Sedari hal-hal suca cita seperti kelahiran, dan perkawinan, hingga kemalangan misalnya meninggal, semuanya disertai acara adat: tinggal ukurannya kecil atau besar.


Biaya untuk adat misalnya membeli ulos (selendang tradisional), hidangan makan berikut aksesorinya berlipat ganda daripada biaya yang disumbangkan ke masjid, gereja, atau untuk urusan agama. Ya, terkesan kuno dan kontradiksi memang, tapi demikianlah faktanya.

Masih dalam kaitan kebertuhanan dan keberagamaan, belum lama, saya membaca artikel tentang faham tak bertuhan atau atheis. Dengan mengampanyekan platform mari menjauhi agama-agama yang dianggap justru sebagai pemicu utama konflik, permusuhan, kerusuhan, dan perang di muka bumi, komunitas ini berhasil menarik simpati orang lain dan populasinya terus bertambah.

Artikel ini menyedot konsentrasi. Segera setelah membaca, kekhawatiran memenuhi rongga dada. Sesak. Khawatir. Paradigma ini mempertajam lini penyerang kubu lawan yang sudah ada yakni kapitaliesme yang terus memperlemah religiositas penganut agama-agama dunia. Bila komunitas ini merger, akan hadir sesosok skuad lawan superpower yang antara lain dicirikan foya-foya, glamour, dan hedonisme.

Atheis dan kapitalisme global sama-sama menjadi ancaman serius pada kaum beragama. Komunitas atheis masuk lewat celah dishramoni agama-agama. Mereka gunakan zoom in sisi gelap agama-agama; kasih sayang memudar, toleransi mengendur, perang-pembunuhan meningkat dari para pelaku yang nyata-nyata beragama, bahkan coba mengambil dalih agama- Allah dalam membinasakan orang lain. Adapun kapitalisme menghamba pada uang atau harta.


Di tengah kondisi masyakar yang karut-marut terutama karena perekonomian yang belum kunjung baik, malah masih mengimpit, angka orang-orang yang kehilangan harapan terus meningkat. Orang bunuh diri senantiasi menghiasi media, orang gila makin banyak di jalanan, penjahat beranak-pinak.

Adakah kaitan krisis ini terhadap maraknya aliran-aliran yang tampil beda akhir-akhir ini? banyak orang tua risau karena anak-anak yang mereka sayangi meninggalkan rumah tanpa diketahui. Mereka diperkirakan mengikuti penyejuk hati baru. Bermunculan pula sosok beserta aliran yang mengklaim sebagai rasul atau nabi alternatif ala Ahmad Mushadeq dengan kendaraan Al-Qiyadah Al-Islamiayah, Lia Aminuddin dengan kedamaian Taman Eden-nya.

Betulkah ada pencarian sosok penasihat spiritual alternatif, ataukah ini mainan orang-orang yang berkepetingan untuk menguntungkan kelompok atau pribadi? Entahlah. Ketua Umum PP Muhammadiyah sudah berani menuding ada yang bermain untuk Pemilu 2009.

Andai itu tidak betul, analisisnya sebenarnya sederhana. Pertanyaan kita kembalikan kepada pemuka agama dan penganut-penganutnya. Apakah sudah betul menjalankan tugas untuk kedamaian, bukan kekacauan (baca: a = tidak, gama = kacau). Bukan pada tataran retorika transenden, tetapi praksis membumi.

Dalam konteks manusiawi, mengasihi sesama, toleransi atau pergaulan, tentu saja hubungan horizontal lebih prioritas. Apalah gunanya kita sabah waktu memuliakan atau bersyahadat untuk Allah, tetapi hati kita jauh darinya. Buat apa manis di mulut, pahit kenyataan.

Mulut sampai berbusa-busa mendengungkan cinta kasih atau kasih yang mengeratkan silaturahmi, tetapi ketika seorang hina dina datang mengiba untuk sesuap nasi, bantuan untuk kelaihran anak, pertolongan anaknya yang terjangkit tumor atau kanker, busung lapar, terancam putus sekolah, tetapi sang kaya raya menutup rapat pintu hatinya.

Data Merill Lynch menunjukkan angka spektakuler, orang kaya Indonesia melonjak, bahkan masuk di level terkaya Asean dan dunia. Ironisnya, angka kemiskinan masih tak terpei, mencapai penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta tahun ini. Dua kutub berjauhan.

Sesungguhnya, iman dan perbuatan pararel. Raga yang tanpa roh adalah jasat atau mati, demikian juga iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati atau kosong. Ironislah kiranya, kita mengaku sebagai masyarakat agamis jika tidak dibarengi perbuatan-perbuatan yang memanusiakan sesama manusia. Ingat manusia adalah sahabat bagi sesasama (homo homini socious), bukan saling memangsa seperti serigala (homo homini lupus). (Domuara Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Rasul/Nabi Alternatif

SAYA tertarik sekaligus khawatir pada satu artikel yang mengatakan gerakan ateisme global meningkat sejak awal milenium ketiga. Menariknya, mereka adalah tadinya penganut setia agama-agama di dunia. Belakangan kecewa terhadap pemuka-pemuka agama, ketika terjadi kontradiksi.

Ajaran kitab suci agama apa pun mereka yakini mengajarkan cinta kasih, perdamaian abadi, dan persaudaraan namun dalam praktiknya bertolak belakang. Justru penganut agama-agama menyulut perselisihan, permusuhan, peperangan, baku bunuh atau saling meniadakan yang merupakan kebalikan ajaran agama.

Kita masih ingat kerusuhan yang secar sitemik sejak kerusuhan Situbondo 10 Oktober 2006, Tasikmalaya 19 Desember 1996, Banjarmasin Kelabu 23 Mei 1997, Jakarta 1998, Sampit Mangayau 18 Februari 2001, Maluku, Poso Bumihangus, dan lain sebagainya tidak lepas dari sentimen agama. Kendati dalangnya sudha terang, sebagian besar bermotif politik, agama disalahgunakan.

Lalu di tingkat global, genoside di Bosnia, perang di Afganistan, Irak, Lebanon, separatis Moro, terorisme dan sebagainya, juga dikait-kaitkan agama. Kekerasan berkedok agama. Inilah yang membuat kekecewaan, dan menguatnya atheisma, atau mencari Tuhan Baru yang mempersatukan, upaya mencari rasul atau nabi alternatif seperti dilakukan Ahmad Moshaddeq yang mengaku rasul Al-Qiyadah Al-Islamiah, atau Lia Aminuddin 'Eden' menjadikan legenda sepakbola Maradona sebagai tuhan.

Andai semua pemuka agama dan masyarakat mengisi akal-sukmanya dengan Kasih Agung seperti tulisan Romo Benny Phang di bawah ini, kelompok atheis atau aliran sesat seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Komunitas Eden, atau Quran Suci, tidak akan mendapat tempat di hati masyarakat.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/31/opini/3939959.htm

Perintah Agung Kasih

Oleh Benny Phang

DALAM kesempatan Idul Fitri 1428 Hijriah lalu, para pemimpin Muslim dari berbagai tempat di dunia menulis sebuah surat terbuka kepada Paus Benediktus XVI dan para pemimpin Kristiani lain. Surat terbuka ini menekankan kembali semangat kerja sama antarumat Muslim dan umat Kristiani dalam mengusahakan perdamaian di dunia.

Aref Ali Nayed, teolog Muslim dari Libya, menegaskan, "Daripada berpolemik, para penanda tangan telah menyarikan ajaran tradisional dan mendasar agama Islam untuk menghormati Kitab Suci orang Kristiani dan sambil mengajak kaum Kristiani untuk semakin lebih, bukan kurang, setia pada ajaran Kitab Suci mereka." Di tengah perbedaan yang ada, surat ini menggarisbawahi persamaan tertulis dalam Alkitab dan Al Quran, yakni "mengasihi Allah dan sesama manusia".

Para pemimpin Muslim berpendapat, perintah agung kasih adalah "fondasi teologis yang paling solid dan mungkin" (the most solid theological foundation possible) dibangun bersama umat Muslim dan Kristiani.

Kasih pada sesama manusia


Dalam surat terbuka itu, diakui bahwa perintah agung kasih merupakan dasar kokoh etika sosial. Dua perintah kasih ini menyatu erat dan tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain karena pemisahan antarkeduanya hanya akan melahirkan chaos.

Pertama, jika perintah mengasihi Allah terlepas total dari mengasihi manusia, akan lahirlah kekerasan pada sesama manusia yang mengatasnamakan Allah. Demikianlah fanatisme, padahal fanatisme dalam agama apa pun merupakan ungkapan kedangkalan pengetahuan intelektual atau pengalaman rohani akan Allah.

Dari fanatisme juga lahir terorisme, suatu bentuk paling brutal dan ekstrem dari kekerasan terhadap sesama manusia. Dalam terorisme, fantasi yang berlebihan tentang perang kosmis antara yang baik dan yang jahat menjadi acuan tindakan teror yang menciptakan keresahan di sana-sini, bahkan menghancurkan hidup orang lain yang tak berdosa yang dianggap musuh. Yang lebih fatal, kekerasan brutal ini dilakukan "karena Allah memerintahkannya". Kekerasan semacam ini adalah suatu bentuk utopia kosong yang berprinsip salah, "tujuan menghalalkan segala cara". Allah adalah sumber kedamaian tidak mungkin memerintahkan kekerasan brutal yang memakan korban nyawa sesama manusia. Tentang hal ini, surat terbuka itu menulis, "Jika kita tidak memberikan kepada sesama apa yang kita sendiri kasihi, kita tidak akan pernah mengasihi Allah atau sesama kita."

Kedua, jika mengasihi sesama dilepaskan total dari mengasihi Allah, yang lahir adalah humanisme mendangkal yang bisa mengarah ke ateisme. Kalau Allah sebagai Kebaikan Tertinggi dilupakan dalam hubungan kasih antarmanusia, yang lahir bukan kasih pada sesama, tetapi sikap utilitaris sempit yang mendasarkan diri pada kenikmatan. Orang lain dijadikan alat untuk mencapai kesenangan diri. Orang lain yang lemah diperalat dan kukorbankan untuk tujuan politis sendiri. Selerakulah yang menjadi sumber moralitas, persis seperti emotivisme yang ditawarkan David Hume.


Dasar perdamaian

Perintah agung kasih itu dengan demikian adalah dasar kokoh untuk membangun perdamaian sejati. Atas dasar inilah surat terbuka itu menyerukan perdamaian bagi seluruh manusia. Seruan ini bukan demi suatu sopan santun dalam dialog antaragama dan bukan untuk kaum intelektual atau pemimpin saja.

Sayang, banyak orang salah paham akan makna perdamaian. Pengaruh Julius Caesar yang mendefinisikan, Si vis pacem, para bellum (barangsiapa menginginkan damai, siapkanlah perang) cukup besar. Jika kedua pihak seimbang kekuatan militernya, tidak akan ada perang dan lahirlah damai. Inilah perdamaian palsu yang lahir dari "ketakutan bersama".

Damai sejati tidak berdasarkan atas berimbangnya kekuatan seperti ini, tetapi atas dasar berbagi kasih, saling mengisi kekurangan satu dengan yang lain, dan saling bekerja sama untuk membangun dunia yang lebih baik. Damai sejati dengan demikian adalah suatu tatanan nilai dan tugas universal yang berdasarkan pada tatanan masyarakat yang menghargai akal budi dan nilai-nilai moral, dan yang berakar pada Allah sendiri, Sang Kebenaran dan Kebaikan Tertinggi. Jadi damai sejati berasal dari kasih akan Allah dan dari sini mengalirlah kasih akan sesama.

Perdamaian juga mengandaikan keadilan karena damai akan terancam jika hormat pada manusia sebagai pribadi diabaikan. Fungsi keadilan adalah menyingkirkan segala yang menghambat dan merusak perdamaian antarsesama.

JF Kavanaugh dalam Who Count as Persons? (2001) mengingatkan bahwa milenium baru ini akan menjadi suatu zaman saat hormat kepada pribadi manusia akan memudar dan lenyap dan mengembalikan penghormatan ini bukan sekadar jargon moral-akademis, tetapi suatu tugas yang harus menyentuh setiap aspek kehidupan.

Maka, penghormatan pada pribadi manusia dan menghargai hak-hak asasinya merupakan langkah mendasar untuk membangun dunia yang damai, yang mendukung perkembangan integral tiap pribadi yang hidup di dalamnya.

Surat bersama diakhiri dengan dua salam damai dalam bahasa Arab dan Latin, dengan harapan agar salam indah itu menggema di hati umat manusia yang mendengarnya: Assalamualaikum, pax vobiscum!

Benny Phang Dosen Etika, Anggota Centro Internazionale Sant' Alberto/ CISA, Roma

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 29 Oktober 2007

Memaksimalkan Peluang Usaha Musiman

JUMAT (26/10) tengah hari, hujan rintik-rintik mengguyur bumi di sekitar Palmerah. Tidak begitu lebat, tetapi relatif lama, sehingga cukup membasahi bumi. Kaum muslim yang baru saja usai menunaikan shlat Jumat di masjid di kawasan Kompas-Gramedia, Jalan Gelora, tak luput dari basah oleh hujan.

Hujan tidak begitu lebat, juga tidak disertai sambarat kilet-petir, apalagi angin ribut. Kendati bukan hujan lebat, sejumlah bocah memanfaatkan hujan sebagai peluang usaha. Semula hanya seorang bocah, usia kira-kira 10 tahun. Mengenakan kaus T-shirt kuning, kolor biru tua, tanpa alas kaki, dia dengan sigap menyamper orang-orang yang baru saja bersantap siang.


Di Jalan Gelora, antara Gedung Kompas dengan gedung Persda, ada dua Rumah Makan Padang, dan satu Warung Tegal. Sementara di antara depan gedung Persda dan Bedeng 200, berjejer warung makan kaki-lima yang menyajikan aneka ragam penganan.

GADIS PAYUNG Foto Bola

Saat jam makan siang, warung-warung itu selalu diapdati pelanggan, yang umumnya karyawan-ti KKG, atau relasi. Eh hampir lupa, ada juga di sana koran Bisnis Jakarta, media kelompok Bali Post.


Si bocah itu menyodorkan payung golf hijau. Pengguna berlindung dari hujan, sedangkan dia mengekor dari belakang, tanpa menghiraukan tetesan 'kencing Tuhan', meminjam istilah dongeng leluhur.

Siang itu, saya lebih dini makan. Lazimnya makan siang saya, setelah menunaikan tugas-tugas mengirim listing berita, baru makan siang, eh makan sore, sekitar pukul 16.00. Saya menyantap sayur kesayangan, pare di Warteg yang terletak di antara dua RM Padang.

Sambil mengikuti pengguna jasa, si bocah pengojek payung tampak menghitung lembaran uang kertas yang basah kuyup di genggamannya. Terlihat jelas keceriaan. Saat itu, di meraup hasil dari usaha pemain tunggal, monopoli. Ia menawarkan payung, tapi saya tolak, karena jarak ke kantor cukup dekat, tidak lebih 100 langkah sebelah kaki.

Jam dinding menunjukkan waktu 13.05. Hujan masih mengguyur. Kali ini curahnya meningkat sedikit. Saya baru ingat, harus menunaikan kewajiban mengirim uang cicilan rumah ke BNI, segera saya ambil sebundel koran, seksi Klasika Kompas. Menuruni anak tangga, ambil akses pintu aktif, lalu berjalan ke ATM Mandiri di dekat Pasar Palmerah. Di bawah, ternyata sudah banyak pengojek payung, ada tujuh laki-laki usia di bawah 15 tahun.

Semula saya tak menghiraukan hujan. Berlalu, berjalan cepat hingga kelur dari ATM baru kusadari, koram sudah basah kuyup. Saya ragu, apakah melanjutkan ke BNI yang jaraknya sekitar 120 meter. Kalau diteruskan pasti basah. Padahal jam kerja masih lama, sampai larut malam.

Saya berbalik arah. Sebelum sampai ke Persda, para bocah pengojek payung tadi menyongsong. "Payung, oom. Payung!" kata mereka seperti menjajakan barang dagangan.

Yup. Saya terima penawaran dari bocah yang terlihat lebih 'menjual': berlari mendekat, suara lebih lantang, dan tatapan mata yang sayup. Bocah tadi mengaku bernama Rio. Dia kelas IV satu SD Negeri. Saya diojek PP. Dari Persda ke ATM dan kembali ke Persda.

Saya menawarkan kepada Rio agar menunggu di halaman Persda saja, tidak perlu ikut ke ATM: kasihan dia capek, dan saya akan kembali. Ternyata dia lebih merasa wajib memberi layanan jasa terbaik sehingga membuntuti di belakang.

Saat saya masuk ke bank, Rio memanfaatkan waktu lowong itu mengojek pengguna jasa, yang kebetulah terjebak hujan di samping BNI. Saya berdecak kagum, salut pada Rio. Kendati ojeknya masih saya sewa, dia menyempatkan waktu jeda untuk menghasilkan uang. Kurang dari 2 jam berproduksi, Rio meraup Rp 11 ribu. "Mau jajan, membeli mi atau bakso," kata Rio, menjawab saya.

"Buku atau alat tulis duah lengkap?" tanyaku. "Sudah," sahut Rio sambil melangkah, mengatupkan bibirnya yang membiru keedinginan.

Mengutip terorinya mas Febby, guru ilmu ekonomi saya di bidang industri koran, katanya, dalam bisnis, prinsip sumber daya overload lebih baik daripara sumber daya idle, atau menganggur. Overload akan menguntungkan perusahaan, sedangkan bila ada sumber daya idle akan merugikan, tidak ekonomis, bahkan multieffectnya bisa lebih dahsyat merusak kinerja-kultur perusahaan.

Masih dalam terori ini, overload akan berdampak positif. Seloyang kue dibagi lima orang lebih bermakna, daripada kue yang sama dikonsumsi 10 orang. Idealnya, overload ini ditafsirkan demand banyak, sehingga perusahaan memperoleh laba. Laba itu akan kembali ke karyawan berupa kesejahteraan-upah. Sedangkan jika menganggur berarti perusahaan tidak berproduksi dan rentan gulung tiker, dengan demikian, jangankan menuntut perbaikan kesejahteraan, untuk mendapatkan upah seadanya saja tidak ada jaminan.

Kembali kepada anak-anak pengojek hujan tadi, saya menangkap sebuah kecerdasan yang dipertontonkan mereka dalam memanfaatkan peluang usaha. Dalam hal usaha musiman, pelaku usaha mesti lebih jeli, kapan datangnya peluang, dan berapa lama masa berlakunya.

Untuk pengojek hujan, karena waktunya tidak ada seorang pun yang dapat memastikan berapa lamanya 'Tuhan Kencing', maka mereka harus lebih giat dan cepat menjemput bola. Bila musim (hujan) berlalu, peluang usaha pun sirna.

Bila bocah-bocah ingusan dapat dengan jeli melihat eluang usaha, menekuninya dengan usaha keras, tak gentar menghadapi guyuran hujan, dan sangat mungkin terjadi sambaran halilentar-petir, mengapa kaum cerdik pandai tidak mencoba peruntungan dengan memnafaatkan peluang bisnis musiman.

Peluang usaha musiman tidak hanya pengojek hujan, masih banyak lainnya. Misalnya pengusaha busana muslim/muslimat menjelang Lebaran, pedagang jas hujan menjelang musim hujan, pedagang masker saat kemarau, produsen buku- buku ada tahun ajaran baru, dan lain sebagainya.


Setuju atau tidak setujukah Anda pada Suluh Sukma "Peluang Usaha Musiman" ini? Apa pun argumentasi atau sharing Anda, sangat berarti buat saya! (Domuara Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 26 Oktober 2007

Komunitas Homo

KAMIS (25/10/07) kemarin, ada seseorang bertanya melalui blog saya, www.domu-ambarita.blogspot.com apakah mengetahui info komunitas homo di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kalau ada, agar kiranya memberikan nomor kontak.

Saya coba membolak-balik isi otak. Apa kira-kira maksudnya dan untuk apa tujuannya. Interpretasinya banyak. Mulai dari hal positif seperti untuk kajian ilmiah, kajian keagamaan, kajian gender, empowerment, pengentasan, sampai pada sisi negatifnya mau emansipatoris. jangan-jangan ini orang mau bergabung dengan mereka.

Percaya boleh, tidak pun oke.
Seorang kawan mengirimi foto mirip mantan duo ratu,
Maia Estiyanti dan Mulan Kwok berciuman.
Ada lima frame foto, semuanya berciuman layaknya lawan jenis.
Apakah ini suatu upaya pencitraan hubungan sejenis?




Saya memang tahu dan punya beberapa teman yang masuk kategori seperti bencong, atau tomboy, saya pun sayup-sayup mengetahui ada seorang teman di satu perusahaan di Banjarmasin yang pernah menjalin hubungan sejenis sesama perempuan, tapi pertanyaan orang yang belum saya kenal tadi saya biarkan begitu saja.

Walau ada beberapa orang yang patut dicurigai masuk katagori homo, saya tidak dapat memastikan apakah mereka masuk komunitas homo di rantau banua, entah lesbian atau gay.
Potret mirip Dani Agmad an Mulan Kwok

Kegundahan itu teringat lah betapa kagetnya saya, ketika AKP Rony Pasaribu menembak Briptu Nur Hidayat tak berapa lama setelah keduanya check-in ke Hotel Asmat, Merauke, Papua 22 Mei 2007. Keduanya atasan dan bawahan. Keduanya diduga terlibat hubungan asmara sejenis, sebagai gay.


Rony yang sedang menempuh pendidikan di PTIK Jakarta diduga cemburu dan tidak terima karena Hidayat segera menikahi dengan seorang gadis. Lalu terjadilah percekcokan, lalu dar... der... dor... Letupan timah panas pun tah terhidnari. Setelah menembak Hidayat, Rony menghabisi nyawa sendiri dengan menarik peluk pistol mengenai kepala sendiri.

Hari ini nada serupa menghentakkan saya. Seorang sahabat mengirimkan foto-foto mesta dua insan sejenis. Dua sosok yang sangat tersohor dan menjadi idola banyak lelaki. Mereka adalah perempuan-perempuan cantik, manis dan molek. Bukan hanya menawan secar fisik, mereka pun memiliki talenta luar biasa dalam bidang musik dan tarik suara. Keduanya adalah bekas personel duo ratu, Maia Estiyanti dan Mulan Kwok.

Setelah diguncang banyak isu, seperti keretakan hubungan keduanya yang berakhir pembubaran duet Ratu, percekcokan Maia dan Ahmad Dani, perselingkuhan Dani dengan Mulan, sampai rumor pemberian hadiah rumah mewah dari Dani kepada Mulan.

Potret mesra punggawa Dewa 19, Dani dengan Mulan pun, sempat beredar luas di dunia maya. Setelah dibantah, kali ini gosip hot mencuat lagi: hubungan sejenis Maia & Mulan. Foto mirip keduanya beredar di internet, berciumuan mesra, bibir ketemu bibir dan tangan berangkulan. Ada lima frame foto mirip Maia dan Mulan. Percaya boleh, tidak pun nggak apa-apa, biarlah sejarah yang membuktikan.

Apa maknanya, dan apa masudnya saya belum terang menangkapnya. Apakah ini untuk kampanye hitam, atau trik menaikkan pamor, atau bahkan memperpuru citra. Entahlah. Atau jangan-jangan ini di sengaja komunitas homo, untuk mempertontonkan eksistensinya.

Wah kalau ini yang terjadi, maka tugas kita semua --entah suami atau istri biasa saja, kaum agamawan, moralis, pendidik, dan sebagainya-- memperindah relasi lawan jenis, mempermanis hubungan suami istri, memerpecantik citra pacaran, menambah harmonisasi rumah tangga, dengan demikian justifikasi pasangan sejenis tidak semakin menguat di masyarakat. Hidup abnormal memang selalu ada, maka tugas kita meminimaliasinya.(domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 25 Oktober 2007

Ketua KPU Janji Tidak Akan Korupsi


Abdul Hafiz Anshary, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU)
periode 2007-2012, memasuki ruang kerja di lantai 2 Kantor KPU Pusat,
Jakarta, di hari pertama, Rabu (24/10). Hafiz mencanangkan 100 hari
kerja pertama dengan pembenahan KPU
dan segera mencari Sekjen KPU yang baru.

Persda/Bian Harnansa


Wawancara Khusus dengan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary

ENAM dari dari tujuh orang anggota KPU telah dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa sore lalu. Pada malam hari yang sama, para komisioner penyelenggara Pemilu itu memilih Abdul Hafiz Anshary menjadi Ketua KPU periode 2007-2012.

Wartawan Persda Network Domuara Ambarita berhasil mewawancara Hafiz di ruang kerja Ketua KPU Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Bekas Ketua KPU Daerah Kalimantan Selatan ini bertekad berjanji membentengi semua komisioner KPU, dan Sekretaris Jenderal KPU berikut staf agar tidak terseret tindak pidana korupsi, sehingga kejadian yang dialami ketua, anggota KPU dan Sekjen KPU sebelumnya tidak terulang.

Bagaimana anggota KPU membulatkan tekad menjauhi korupsi, dan bagaimana caranya menghindari jeratan hukum, berikut penuturan Hafiz.

Waktu anggota KPU sekarang bekerja sangat singkat, lebih singkat dari KPU sebelumnya. Waktu KPU sebelumnya lebih panjang, namun karena kondisi dan situasi memaksa terkait pelaksanaan Pemilu 2004, KPU waktu itu menunjuk langsung perusahaan yang menangani beberapa proyek untuk menunjang Pemilu. Belakangan, ternyata kebijakan ini menyeret beberapa anggota bahkan Ketua KPU dan Sekjen terlibat korupsi. Menghindari kejadian serupa, bagaimana langkah anda selaku Ketua KPU membentengi anggota KPU.

Kami akan menyerahkan hal itu kepada sekretaris jenderal dan jajarannya. Kami hanya akan memegang otoritas kebijakan. Pelaksanaan di lapangan akan diserahkan kepada kesekretariatan jenderal.

Tegasnya, apakah komisioner KPU tidak akan mengurusi proyek pengadaan logistik?

Tidak seorang pun anggota KPU boleh ikut terlibat langsung dalam urusan pengadaan. Semuanya akan diserahkan kepada kesekretariatan jenderal. Misalnya, jumlah pemilih sekian, jadi kita perlu kertas suara sekian, dan kotak suara sekian. Tugas komisioner KPU hanya di tataran kebijakan, bukan pelaksana. Sedangkan pengadaan barang-barang untuk kepentingan Pemilu itu tugas kesekretariatan selaku fasilitator.

Anda terkesan lepas tangan, dan melempar tanggung jawab anggota KPU kepada kesekretariatan. Apakah memang demikian tugas-tugas KPU?

Undang-undang memang mengatur seperti itu. Mereka fasilitator kan. Misalnya kita butuh surat suara 250 juta lembar. Kami tinggal serahkan ke Sekjen, dan bilang kita butuh surat 250 juta. Bagaimana pengadaannya Sekjen lah yang punya kebijakan.Tetapi tetap dalam pengawasan KPU, karena penanggung jawab adalah KPU. Dalam hal ini, KPU tidak lepas tangan.

Mencegah terlibatnya komisioner KPU dalam urusan teknis pengadaan, apakah ada rencana membuat teken kontrak atau kode etik antara anggota KPU?

Posisi beserta tugas dan tanggung jawab anggota KPU dan Sekretaris Jenderal sudah diatur Undang-undang, tinggal menjalankannya, jadi tidak perlu teken kontrak. Tinggal pelaksanaan disesuaikan dengan Undang-undang. Walaupun pelaksanaannya diserahkankan kepada Sekjen, mereka tidak boleh menjalankan dengan seenaknya. Kebijakan dan kontrol tetap ada di tangan KPU.
Contoh kasus terjadi di Komisi Yudisial. Ketika proyek pengadaan tanah ditangani Sekjen, diduga terjadi ada penyimpangan lalu dibentuk pengawasan internal dari komisioner yang akhirnya justru terlibat suap. Bagaimana KPU menyikapi hal semacam ini?

Kalau misalnya ada, KPU kan akan membentuk Dewan Kehormatan yang bersifat ad hoc dengan angggotanya dari internal dan eksternal. Dewan Kehormatan dibentuk kalau ada kasus. Dewan Kehormatan lah yang akan menyelesaikan. Dan Ketua KPU wajib melaksanakan apa yang direkomendasikan Dewan Kehormatan. Kalau ada anggota KPU terbukti melanggar kode etik atau Undang-undang ya dinonaktifkan.

Selaku ketua KPU, bagaimana tekad anda sendiri untuk menjaga kejujuran dan mencegah terlibat kasus korupsi?

Kasus korupsi terjadi karena terlibat langsung dengan pengadaan logistik. Menghindari itu, saya tidak akan terlibat pengadaan. Tetapi saya tetap bertanggung jawab pada tataran kebijakan.

Andai ada anggota keluarga sendiri, atau pengusaha yang Anda kenal dan berasal dari daerah yang sama dengan Anda, yakni dari Banjarmasin meminta proyek atau mengikuti tender tentu kan sulit menolak. Bagaimana anda memperlakukannya?

Saya akan serahkan kepada Sekretaris Jenderal. Saya akan lakukan sesuai prosedur saja.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) musuh besar koruptor, dan menjadi lembaga yang ditakuti banyak lembaga negara. Apakah ada rencana KPU konsultasi dengan KPK untuk mencari batasan-batasan tindak pidana korupsi, misalnya apa yang dapat dilakukan dan hal yang harus dijauhi?

Paling tidak kami punya agenda dalam rapat pleno untuk beraudiensi dengan pihak-pihak terkait. Seperti telah dikatakan Ketua Mahkamah Konstitusi Pak Jimly saat bersalaman seusai pelantikan kemarin, beliau mengatakan perlu pertemuan khusus KPU dengan MK dalam waktu segera karena masalah pelaksanaan Pemilu pada akhirnya MK yang menangani. Kami juga berencana bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM, dan koordinasi dengan berbagai pihak.

Ketika anggota KPU yang sekarang lolos pada seleksi tahap pertama banyak sosok populer yang gugur, maka kandidat lolos yang tidak terkenal apalagi berasal dari daerah dipandang sebelah mata. Bagaimana anda menyikapi pandangan skeptis ini?

Itu kan pandangan sebagian masyarakat, kami tidak merespons apa-apa. Yang kami lakukan adalah yang sesuai dengan perundang-undangan. Kami akan melakukan tugas sesegera mungkin. Apa dan bagaimana orang menilai, itu hak mereka.

Anggota KPU yang lalu banyak kalangan cendekia, dan semula dinilai memiliki integritas. Namun selain ternyata terlibat korupsi, salah sati bakal calon presiden, Gus Dur pernah melontarkan sinyalemen, KPU tidak independen. KPU dapat diorder orang tertentu untuk menjegal Gus Dur. Bagaimana KPU sekarang membangun tim yang independen dan kredibel?

Kami akan mengambil keputusan melalui pleno, bukan orang-per orang dan tidak boleh memihak siapa pun. Keputusan tertinggi tetap di tangan KPU. Bahwa dalam perjalanannya, keputusan itu sama dengan kehendak orang-orang tertentu, itu hanya kebetulan. Kami akan mempertahankan keputusan KPU.

Bagaimana dengan lembaga pemantau Pemilu. Apakah KPU memberi keleluasaan kepada pemantau domestik maupun asing untuk berpartisipasi mengawasi pelaksaan Pemilu?

Kami ingin, semakin banyak semakin baik. Tetapi akan dibicarakan kelak, sesuai dengan aturan yang berlaku. (*)

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 23 Oktober 2007

Kerajaan Koruptor

Foto Persda Network/Bian Harnansa


LIMA tahun lalu, ketika DPR baru saja selesa menyeleksi 11 anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), tiba-tiba publik dihebohkan mundurnya dua anggota KPU, yakni rohaniwan Mudji Sutrisno dan cendikia Imam Prasojo. Bukan karena kemaruk uang atau imbalan. Mereka mundur karena dalam perjalanannya, anggota KPU diwajibkan mundur dari basis awal. Artinya anggota KPU harus fulltime, dan meninggalkan pekerjaan awal. Bukan sekadar cuti, tetapi cabut dari pekerjaan awal. Romo Mudji yang merasa dibesarkan dan mengabdikan panggilan imamat kepada STF Driyarkara, dia ogah dicabut dari akar. Foto Suara Merdeka
Imam pun tidak rela, kampus yang membesarkannya, yakni Universitas Indonesia.
Konsekwensinya, keduanya kehilangan fulus jutaan rupiah dari upah mengurusi penyelenggaraan Pemilu. Mereka pun redup dari hiruk-pikuk publikasi di media massa, sedangkan anggota KPU lainnya menjadi narasumber top yang diburu wartawan semua media. Namun ada hikmahnya. Andai Romo Mudji dan Imam tak memiliki sikap dan keteguhan hati, barangkali mereka terlena dalam kubangan uang atas aneka macam proyek KPU. Kata orang, tidak ada mata yang tak terbuai oleh lembaran-lembaran uang. Bahkan sebagain telah mempertuhankan uang, money is the second God.
Mundurnya anggota KPU itulah pukulan pertama kepada DPR, karena tidak menyiapkan perangkat sedari awal. Pukulan kedua dan lebih telak, ketika Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, anggota KPU Mulyana W Kusumah, dan mantan Sekjen Safder Yusack 'digonikan', dan dijebloskan ke dalam penjara atas dakwaan dugaan korupsi. Bulan ini, lima tahun kemudaian atau 60 bulan atau 1.825 hari berikutnya, anggota DPR walupun orang berbeda melakukan kesalahan yang ekuivalen. Komisi II DPR memilih tujuh anggota KPU dari 21 kandidat yang diseleksi panitia bentukan presiden. Sejak semula sudah banyak menuai kritik karena hanya meloloskan calon kelas teri --panitia seleksi dinilai tidak kredibel karena menggugurkan calon-calon populer dan berpengalaman, belakangan DPR disalahkan karena ternyata satu anggota yang dipilih yakni Prof Dr Syamsulbahri (bukan Syamsul Bahri), merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana proyek Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun) di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 1,18 miliar. Kerugian yang ditimbulkan Syamsulbahri selaku Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang sendiri sebesar Rp 489,3 juta, sedangkan tersangka lainnya adalah Drs Ahmad Santoso, mantan sekretaris kabupaten Malang diperiksa, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang Hendro Susantodan mantan Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Malang Freddy Talahatu. Ketika dicaci maki karena meloloskan sesorang koruptor menjai penyelenggara negara yang akan menangani pemilihan figur untuk memipin bangsa lima tahun ke depan, DPR berdalih, "kami kan hanya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan presiden melalui tim seleksi. Kok aneh, kami merasa dikambinghitamkan." Menurut saya, justru DPR yang aneh. Sesauai alur kerja, dan statuta hukum, bukankah posisi DPR lebih tinggi dari tim panitia seleksi. Dengan demikian, kalau anggota DPR memiliki otoritas moral, tidak kah mereka berhak menggugurkan calon yang nyata-nyata koruptor. Andai mereka lalai, karena kekurangan data atau karena kedunguan, pada kesempatan pascamencuatnya persoalan ini ke publik, mestinya anggota DPR seger ameminta maaf. Bukan sebaliknya melempar cemoohoan kepada rim seleksi. Atau jangan-jangan ini sudah diboncengi kepentingan parpol dan calon presiden pada Pemilu- Pilpres 2009. Bukan rahasia lagi, kalau pada Pemilu 2004, Abdurrahman Wahid, calon presiden yang gugur di awal-awal merasa sengaja dijegal KPU karena kepentingan calon lain, dan parpol lain di luar PKB. Kalau begitu, siapa yang bermain ingin meloloskan Syamsulbahri, sangat mudah terlihat dari cuap-cuap mereka yang mati-matian membela tersangka. Latarbelakang uang atau poltik, entahlah. Ini dengan mudah dimengerti masyarakat melalui media massa. Kita tinggal memvonis, bahwa partai ini atau kelompok inilah yang prokorupsi sehingga harus dijauhi, jangan dipilih pada Pemilu mendatang. Simpel bukan? Dengan demikian mereka akan tersingkir, dari pusat kekuasan. Inilah peran kita pemilih. Jika kita diam, maka kejaraan koruptor akan terus membolongi lumbung NKRI dan akhirnya karam. *** Setelah melewatkan libur Lebaran, hiruk-pikuk polemik seputar pemilihan Syamsulbahri oleh DPR, kembali mencuat. Puncaknya, Selasa (23/10/07), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berani mengambil langkah berseberangan dengan DPR. Entah karena bimbang atau tidak, terlepas dari peragu atau bukan, kali ini, keberanian SBY menjegal Syamsulbahri layak diacungi dua jempol. Selasa sore, SBY hanya melantik enam orang anggota KPU, yakni Abdul Hafiz Anshari, Sri Nuryanti, Endang Sulastri, I Gusti Puti Artha, Andi Nur Pati, dan Abdul Aziz. UU tentang pemilihan KPU memang membatasi kewenangan presiden, tidak bisa menggugurkan anggota KPU yang telah ditetapkan DPR. Presiden hanya sebagai administrator, mengeluarkan Keppres, lalu melantik. Harapan lebih dari itu disandarkan kepada presiden, presiden sebaiknya mengugurkan selamanya pencalonan Syamsulbahri. Jijik rasanya, negeri ini terus dikuasai para koruptor yang menggerayani semua lembaga, bukan hanya di DPR/D, PSSI, Komisi Yudisial, menteri, Kabulog dan seterusnya. Kalau presiden saja tidak berani, kapan negeri ini terbebas dari kerajaan koruptor. Sudikah kita, negeri ini terus-terus menyandang predikat Republik Parakoruptor. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Tolak Bala

UNTUNG tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Demikian pepatah zadoel yang sering dinasehatkan orangtua kepada anak yang suka grasa-grusu. Seseorang yang coba merancang dengan segala daya upaya untuk meraih keuntungan besar, tetapi mengabaikan aspek-aspek lain seperti spiritual.

Banyak pemuda berdarah muda dan panas, maunya menang sendiri di sisi lain mengenyahkan yang lain. Seakan bumi ini milik sendiri sedangkan yang lain indekos. Ini adalah milikku, itu adalah kepunyaanku, yang di sana adalah hakku, yang di sini milik orang tuaku, kelompokku, sedangkan yang lain punya apa-apa. Ya demikianlah kenyataannya. Serakah. Kemaruk.

Rasa menang sendiri ini sering kali menghindapi diri saya, juga mungkin Anda dan yang lain. Inginnya selalu pemenang, sedangkan yang lain pecundang. Ingin selalu untung, yang lain biarlah rugi tidak apa-apa. Ingin rasanya berjaya, yang lain biarlah merana. Tertawa di atas penderitaan orang lain.

Tidak sebatas keinginan menang atas orang lain, kadang-kadang nafsu besar pun rasanya ingin menempatkan kita pada posisi superordinat. Merangsang akal untuk mengalahkan segala- galanya, bila perlu mengabaikan mereka, termasuk benda-benda yang ktia yakini ada meskipun tak terlihat. Bahkan dalam hal peruntungan pun, seakan-akan semuanya didasarkan pada logika pikiran, tidak lagi mengenal sial, musibah, malang, tetapi menggantinya dengan prinsip semuanya bisa diatur.

Ketika darah panas menguasai sukmaku, belasan tahun lalu, saya pun pernah membantah, pembenaran orang-orang yang sedikit-sedikit mengatakan, aduh nasib-nasib. Kenapa mesti begini, nasib sial tidak berkesudahan.

Dulu, saya membantah juga, kalau kecelakaan lalu-lintas misalnya dikaitkan dengan nasib. Pikiran saya, janga-jangan karena pengendara/pemilik/sopir tidak hati-hati atau karena tidak pernah mengecek kelengkapan kendaraan seperti rem dll.

Ternyata nalar saya tak sepenuhnya betul. Banyak kejadian musibah, justru kendaraannya baru saja diservice, rem mantap dan semua sparepart prima. Kecelakaan terjadi di luar kendali manusia. Kesimpulan saya, sial memang tidak dapat ditolak. Kalau sudah sial, yah sial saja, paling upaya yang dapat dilakukan adalah banyak-banyak menyucikan sukma, dan iman lewat ritual kontempelasi, doa, dan sebagainya.

Sepekan lalu, saya menghadapi contoh musibah. Saat hendak pergi ke kantor, seperti biasa saya menunggang si Supra Fit. Saat melintas di Jalan Juanda Depok, menuju Margonda, saya disalib pengendara yang berboncengan dengan istri dan anak diapit. Entah sengaja atau tidak, saya sempat bergumam, "Wah, ayah yang tidak baik, kurang memedulikan anak bini. Berboncengan dengan anak bini kok masih ngebut." Saya menoleh jarum speedometer menunjuk angka 80.

Sambil berkata begitu, saya langsung terbayang ceceran darah dan tubuh manusia akibat kecelakaan. Seketika saya 'membelai' atau 'mengelus' dashboard si Supra, sembari berkata ya Tuhan, jauhkan bala dari saya dan kendaraan yang saya tumpangi ini. Cara itu sering saya lakukan jika kaget karena nyaris senggolan atau keserempet.

Eh, sekitar 5 menit kemudian, saya mengerem agak mendadak -tetapi tidak amat-amat terpaksa, karena satu Carry berhenti mendadak di depan, menjelang persimpangan di bundaran UI. Saya berhasil mehindari menubruk mobil di depan, dengan sedikit bermanuver ke kiri.

Eh, tiba-tiba, brukkkkkkkk.... Betis kanan saya seperti dihajar benda keras yang luar biasa dahsyat. Motor dalam kondisi berhenti, tiba-tiba melaju tak terkendali, dan terdorong kencarng, jatuh ke kiri dan menubruk trotoar sedangkan saya terlempar. Kaki seketika tak berdaya, seperti mati rasa, saya takut, kaki patah.

Sekejap orang-orang sudah berkerumun, sebagian membopong saya agar berdiri, sebagain lagi memabntu mendirikan sepeda motor. Laki-laki yang saya anggap 'kurang ajar' tadi, ternyata menubruk saya dari belakang. Emosi saya sempat hampir bangkit, tetapi luluh oleh jeritan tangis bocah laki-laki dan ibu yang mengaduh di belakang saya. Mereka yang menyalib saya tadi, belakangan menubruk saya dari belakang. Betapa sialnya saya.

Satu lagi, Senin (22/10) sekitar pukul 24.00, saya menyaksikan mobil MPV terbakar hebat di ruas jalan tol dekat pintu Tebet. Ada empat orang personle polisi, dan kerumunan massa hanya menonton karena tidak dapat melakukan apa-apa terhadap amukan api. Pemilik mobil tentu saja menyayangi kendaraan itu, dan dia tidak ingin harta bendanya sirna begitu saja. Tetapi apa boleh buat, itulah sial.

Saya tak dapat melupakan tradisi Amang dan Inang (ayah & bunda), ketika baru membeli kerbo biasanya memecahkah telur ayam kampung tepat di kepala kerbo kemudian ditaburi beras, dan diperciki air pangurason (air jeruk purut yang diyakini suci). Hal yang sama dianjurkan ketika, anak-anaknya membeli kendaraan bermotor, sepeda atau mobil.

Saya menangkapnya sebagai sugesti barangkali. Kalau orang menganggap itu musrik atau berhala terserahlah, saya melihatnya sebagai bentuk peneguhan hati/sukma/kalbu, setelah melakukan ritual itu, kita akan lebih yakin berkendara. Dengan yakin, konsentrasi, dan tentu berharap penyelenggaraan illahi, maka kita akan jauh dari kecelakaan. Itulah ritual semacam tolak bala. Suatu upaya sinkronisasi fisik, psikis, dan roh terhadap alat yang kita gunakan demi manfaat optimum. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...